Shone berjalan terburu-buru dideretan kelas IPA, padahal jam istirahat sebentar lagi akan berakhir. Bukannya ingin mengunjungi Valin maupun Anin, tapi karena saat dari toilet matanya menangkap sosok yang ia kenal yang ia awasi sejak kemunculannya di kantin bersama Anin. Timbullah keinginan untuk mengikuti gadis ber name tag Lovelace itu.
Saat gadis itu baru ingin melangkah masuk di kelas XI A4, tangannya dicekal oleh Shone membuatnya tersentak kaget.
"S-shone?"
Shone melayangkan tatapan dinginnya dan melepas cekalannya pada gadis itu.
"Lolly, gue mohon," gadis yang dipanggil Lolly itupun menaikkan sebelah alisnya,
"Apa?"
"Berhenti usik kehidupan Anin." Jawabnya tegas.
Lolly tersenyum sinis lalu menatap tajam manik elang Shone, "kenapa lo semua nganggep gue ada di sini buat ganggu Anin lagi?"
"Karena hanya itu yang bisa lo lakuin."
"Shone, gue balik bukan untuk gangguin Anin. Gue mau, perbaiki semua sama Tio."
"Apa kata lu dah. Gue hanya minta satu dari lo dan Tio. Tolong, jangan libatkan Anin, lagi."
Tepat setelah menyelesaikan kalimatnya, bel tanda jam istirahat telah usai berbunyi. Shone berbalik arah dan melenggang meninggalkan Lolly yang kini menatapnya dengan kedua alis terangkat.
Lolly mengusap-usap dadanya seraya menarik napas berkali-kali.
"Shone kok makin ganteng ya?" Gumamnya tanpa sadar.
**
Sudah hampir 10 menit Tofan bersandar di depan kelas XI A3. Untuk apa dia disitu, jelas saja untuk menunggu Anin dan membawanya pulang bersamanya. Bukan karena keinginannya, tapi Shone-lah yang menitipkan sepupunya itu pada Tofan dengan sedikit paksaan.
Hampir seluruh penghuni kelas telah beranjak meninggalkan ruangan tersebut, termasuk Sherin yang sempat menyapa Tofan tadi. Cukup lama menunggu, Anin tak kunjung keluar. Tofan memutuskan untuk melihat ke dalam kelas tersebut untuk memastikan masih ada orang di dalam sana atau tidak.
Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu. Ruangan itu hanya tersisa satu orang saja, gadis yang tengah ia tunggu ternyata sedang menenggelamkan kepalanya diatas lipatan tangannya.
Kening Tofan mengkerut saat menyadari bahu Anin yang bergetar. Ia lalu menghela napasnya seraya berjalan mendekati Anin. Tofan yakin bahwa saat ini gadis itu tengah menangis, lagi.
Tofan mengambil posisi duduk disamping Anin, dengan ragu tangannya mengusap lembut rambut Anin membuatnya mendongak. Dan benar saja, wajah yang selalu menampilkan kedatarannya itu kini tengah dibanjiri oleh air matanya sendiri. Dan itu cukup membuat hati Tofan sedikit mencelos.
"T-tofan." Panggil Anin lirih dengan suara yang bergetar.
"Ayo pulang." Tofan berhenti mengusap rambut panjang itu dan mulai berdiri namun dengan cepat tangannya dicekal oleh Anin.
"Lo marah sama gue?" Tanya Anin masih dengan suara yang bergetar.
Tofan menoleh menatap mata lembab Anin dengan intens, "Ayo pulang." Ulangnya lagi tanpa menggubris pertanyaan Anin barusan.
Anin melepaskan cekalannya pada tangan Tofan lalu menunduk. "Lo pulang aja, gue masih mau di sini."
Helaan napas kasar terdengar dari Tofan, tanpa berkata apapun lagi dan tanpa memaksa Anin ia akhirnya keluar dari kelas itu menyisakan Anin yang kini menatapnya nanar. Hati Anin semakin ngilu dibuatnya, benar-benar disaat ia sedang menangis seperti ini tidak ada yang berada bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Teen Fiction"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.