Dengan senyum merekah Tofan memencet bell rumah Anin. Rencananya ia akan membawa gadis itu menikmati udara sore kota Bandung dan membawanya kesuatu tempat.
Tak butuh waktu lama untuk pintu terbuka yang menampakkan Shone dengan penampilan acak-acakan sehabis bangun tidur. Tofan berdecak kesal, mengapa bukan Anin yang membukakannya pintu.
"Anin gak ada. Tadi ijinnya jalan-jalan ke pantai." Ujar Shone yang sudah menebak bahwa pria di hadapannya ini pasti mencari Anin bukan dirinya.
"Sama siapa?"
"Sendiri."
Sebelah alis Tofan terangkat. Lalu tanpa permisi ia bergegas berlari menuju mobilnya mungkin untuk menyusul gadis itu. Shone yang sudah mendapat kesadaran penuh akhirnya ikut berlari mengejar Tofan.
"Gue ikut!" Seru Shone sambil berlari.
Namun sayang, Tofan sudah memasuki mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi membuat Shone berdecak.
Shone mengacak rambutnya frustasi, ia baru sadar kesalahannya saat mengijinkan Anin pergi sendirian ke pantai. Jangan salahkan Anin yang saat minta ijin tadi disaat Shone setengah sadar menuju alam mimpinya. Jadi apapun yang dikatakan Anin kala itu Shone iyakan saja demi kenyamanan tidurnya.
Shone hanya bisa menghela pasrah, mungkin lebih baik jika Tofan saja yang menyusulnya dan dia hanya harus menunggu kepulangan dua orang itu di ruang keluarga.
**
Dalam mobil Tofan gelisah memikirkan Anin. Dia tau gadis itu butuh ketenangan untuk beberapa saat, tapi dengan datang ke tempat itu bukanlah hal yang tepat. Justru Anin hanya akan membuat dirinya jauh dari kata tenang.
Tiba di tempat yang dituju, Tofan segera memarkirkan mobilnya dan turun secepat mungkin. Langkahnya begitu cepat dan matanya berkeliling mencari sosok yang ia cari. Namun saat melihat dua orang sedang duduk bersama di tepi pantai, langkah dan pandangannya terhenti.
Seketika tubuhnya lemas, nyaris saja ia tak bisa menahan beban tubuhnya sendiri. Tofan melangkah mundur untuk bersembunyi dibelakang pohon kelapa yang terdapat di sana lalu mengamati kedua orang itu dari jauh. Memang dia tak dapat mendengar apa yang dibicarakan kedua orang itu, tapi setidaknya ia bisa melihat gerak-gerik keduanya.
Detak jantungnya berpacu, darahnya berdesir kala melihat Tio mengecup kedua mata Anin dan tersenyum tulus padanya. Yang membuat Tofan semakin membatu adalah Anin tidak melakukan penolakan apapun.
Cukup lama mengamati Tio dan Anin, Tofan berbalik dan bersandar pada pohon yang menopang tubuhnya lalu tersenyum miris.
Tofan tersadar peluangnya untuk masuk ke hati Anin sangatlah kecil. Bahkan hari ini, kekalahan sudah menyambutnya walau dirinya masih di ambang pintu.
Sebuah pilihan kini menyambut Tofan. Melangkah maju, atau berhenti dan berbalik arah.
Tofan mengusap kasar wajahnya lalu melangkah gontai menuju mobilnya. Sejenak ia berhenti dan berbalik menatap kembali Tio dan Anin yang sedang adu tatap melepas rindu, lalu melemparkan sebuah senyuman yang begitu miris.
"Waktunya lo bahagia."
**
Anin melangkah gontai memasuki rumahnya saat malam sudah menyambutnya. Matanya mengamati isi rumahnya yang besar namun terasa begitu kosong seakan hanya dia yang terkurung dalam bangunan tersebut. Kakinya terus melangkah menapaki satu persatu anak tangga menuju kamarnya. Namun langkahnya terhenti saat mendengar deheman dari Shone yang entah sejak kapan berada di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Teen Fiction"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.