Sherin menghempas tubuhnya di sofa ruang keluarga. Hanya ada dirinya dan udara di sana.
Helaan nafas pun terdengar dengan berat. Namun sedetik berikutnya seulas senyum tercetak dengan indah.
Setelah menghabiskan waktu seharian untuk bersenang-senang dengan keluarga Anin dan teman-temannya, mereka memutuskan untuk bersiap-siap karena akan pulang sore itu juga. Dan Sherin tidak memerlukan waktu yang lama untuk bersiap-siap, jadi dia memutuskan untuk menunggu yang lainnya di ruang keluarga tersebut.
Matanya memandang dinding kosong di hadapannya. Seperti menerawang sesuatu yang membuatnya tersenyum hari ini.
Sherin ingat, saat Shone meraih tangannya dan menyeretnya pergi dari keramaian untuk melihat pemandangan yang lebih indah dari kebun teh.
Kalau kalian bertanya apakah Valin mengetahuinya atau tidak, marah atau tidak. Jawabannya adalah Valin mengetahuinya dan Valin tidak marah. Kenapa? Karena dia lah sendiri yang mengusulkan ide tersebut.
Saat Valin memperhatikan Sherin yang mulai bosan dengan kebun teh yang terus ia pandangi, Valin dengan baiknya menawarkan Sherin untuk pergi bersama Shone melihat sisi lain kebun itu. Tentu saja dengan senang hati Sherin sangat ingin mengiyakannya. Namun mengingat status Valin dan Shone, bahkan dengan perasaannya, Sherin dengan berat hati menolaknya. Hingga Shone meraih tangannya dan menariknya paksa untuk ikut dengannya.
Sherin masih memberikan tatapan kosong pada dinding putih bersih yang ia pandangi sejak duduk di sofa. Seakan menceritakan apa yang membuatnya tersenyum hari ini.
Ia ingat, bagaimana Shone menatapnya tadi dan berbicara padanya. Ia ingat, bagaimana Shone berhasil membuat jantungnya kegirangan. Ia ingat, bagaimana Shone tersenyum padanya sambil mengatakan, "Lo tau kalau lo itu cantik?" Dan dengan polosnya Sherin menggeleng.
Shone tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke arah langit yang begitu dekat dengannya. "Lo itu cantik. Sama cantiknya dengan langit itu."
Pipi Sherin seakan terbakar dengan kalimat Shone. Entah ini dosa atau tidak, tapi Sherin telah merasa nyawanya seakan melayang menembus langit yang katanya sama cantiknya dengannya. Sherin telah dibuat terbang oleh pacar sahabatnya sendiri. Baiklah ini dosa, pikirnya.
Shone terkekeh kecil saat melihat Sherin yang hanya menunduk malu. "Gue ngomongnya itu fakta, bukan mau gombal atau sekedar buat lo ngerasa senang. Tapi jangan baper ya? Soalnya lo kan tau gue udah berstatus milik orang hehe."
Berstatus milik orang.
Milik orang.
Hehe.
Iya, Shone milik orang. Milik Valin. Milik sahabatnya Sherin. Dan itu fakta, fakta yang akurat. Fakta yang membuat Sherin langsung kicep gak berani respon apa-apa.
Baru saja dibuat menembus langit, kini langit seakan runtuh tepat di kepalanya. Dasar langit jahat.
Sherin menghela nafas pelan, takut Shone mendengar helaan nafas yang lebih terdengar seperti kekecewaan. Dengan sedikit paksaan ia tertawa pelan, "ya enggak lah. Sama Rino aja yang digombalin tiap hari gak bisa baper gue, apalagi sama lo yang udah punya pawang coba."
Shone tersenyum tipis lalu mendaratkan tangannya di bahu Sherin yang membuat si empunya bahu tiba-tiba merasa jantungnya sedang maraton.
"Lo sendiri mau naruh hatinya sama siapa?" Tanya Shone sedikit menggoda.
Sherin terdiam, seakan pertanyaan itu membuatnya sadar bahwa ia harus menempatkan hatinya ditempat yang benar.
Sedikit senyum ia cetak untuk menutupi kecanggungannya, "nggak sama siapa-siapa. Gue males berurusan dengan perasaan. Entar dikecewain terus nangis, galau, nyesel dan semacamnya lah. Enggak, gue belum siap." Jawabnya bergumam.
Sherin menghela nafas berat, kalimatnya barusan menyadarkannya bahwa ia sudah kalah atas nama perasaan. Tak ada awal yang baik untuk memulai mengembangkan perasaannya, bahkan waktu sepersekian detikpun tak pernah ia miliki hanya untuk membuat perasaannya ditoleh oleh Shone. Ia kalah telak dengan fakta yang ia lihat, Shone memiliki Valin di hatinya.
Sherin tersenyum kecut. Pandangannya kini beralih dari dinding menuju lantai dengan karpet berbulu tebal yang nyaman.
Jika pada dinding kosong ia menceritakan dalam diam alasan yang membuatnya tersenyum, maka, pada karpet berbulu tebal itulah ia menceritakan kekalahannya yang membuatnya menghela nafas dengan berat.
Raut wajah Sherin berubah sendu saat mengingat perasaannya ini salah. Menyimpan perasaan untuk Shone adalah suatu kesalahan. Menyimpan perasaan untuk Shone dalam diam adalah sakit yang hanya ia rasakan. Menyimpan perasaan untuk Shone adalah posisi terpahit yang pernah ia tempati. Dan menyimpan perasaan untuk Shone adalah awal dari rasa kecewa yang berkepanjangan.
**
Tbc.
Setelah sebulan gaada update, akhirnya update dengan hanya 672 words saja :(((((((
Btw, Chaptnya khusus Sherin lagi ngegalau ajee. Idenya mentok bung, kehalang sama tugas wqwq #curcol
Maafkan jika chapt ini lagi lagi gaje.
Kritik dan saran dalam bentuk apapun diterima author qoq❤
Apalagi votenya😂See you in the next chapt readers yang mungkin masih menyimpan Pretty Lies ini di library & reading list💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Teen Fiction"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.