Suara ketukan pintu yang tidak santai membuat tidur siang Anin terganggu. Di luar sana Shone menggedor sambil teriak teriak. Padahal pintu kamar Anin sedang tidak terkunci.
Anin melempar gulingnya dengan gemas, lalu berdiri dan menghampiri Shone di luar sana. "Apasih?!" gertaknya membuat Shone terkekeh.
"Gue mau jenguk Valin, kasihan dia sendirian. Mau ikut nggak? Ya siapa tau aja gue lama."
Anin berpikir sejenak lalu menghela napas. "Lo mau jadiin gue pajangan kalo ikut bareng lo?" tanyanya sinis.
"Astaghfirullah, mana tega sih gue. Ajakin yang lain deh biar rame sekalian."
Anin berdecih malas. Saat sore-sore seperti ini sudah memasuki waktu magernya alias malas gerak. "Gak ah, lo aja. Mager."
Shone menghela napas. Sebenarnya ia tidak ingin meninggalkan Anin sendirian di rumah sebesar itu. Apalagi pesan mama papanya untuk selalu menjaga adik sepupunya itu.
"Kalau gue lama gimana? Ikut aja deh, masa iya gue ninggalin lo sendirian." bujuk Shone.
Anin berjalan masuk kembali ke kamar dan merebahkan dirinya di kasur empuknya, membuat Shone juga ikut masuk untuk kembali membujuk Anin. "Gue panggilin Sherin aja, gimana?" tawar Shone sambil duduk ditepi kasur.
"Nggak usah. Udah sana lo pergi."
Akhirnya Shone menyerah. Tidak ada yang bisa memaksa Anin jika sudah mengatakan tidak. "Yaudah gue pergi. Mandi gih, terus makan." Shone bangkit berdiri lalu mengusap pelan kepala Anin sebelum akhirnya beranjak keluar dari kamar itu.
Sedangkan Anin hanya berdehem malas menanggapinya. Anin selalu merasa bahwa Shone selalu berlebihan dalam urusan menjaganya, tapi kadang ia juga bersyukur memiliki sepupu seperti Shone yang sudah terlihat seperti saudara kandungnya. Yang selalu memprioritaskan dirinya diatas segalanya.
Anin mengubah posisinya menjadi terlentang. Memandang langit kamarnya dengan tatapan kosong.
"Kalau aja semua cowok kayak bang Shone. Kan adem dunia ini."
**
Saat sedang malas-malasan di sofa ruang keluarga sambil menonton tv, suara pintu yang diketuk membuat Anin mendesis malas. Ia menggerutu mengira itu adalah Shone. "ngapain juga sih gak bawa kunci cadangan aja. Ganggu banget." omelnya sembari membukakan pintu utama tersebut.
Alisnya terangkat saat melihat Tofanlah yang berdiri di depan pintu sambil tersenyum 5 jari. Dengan masing masing tangan menenteng plastik putih berisi banyak cemilan yang membuat Anin langsung ikut menyengir.
Tofan sempat tertegun. Namun langsung tersadar saat Anin menyeretnya masuk dan duduk di ruang keluarga. Berdua.
Setelah kembali dari mengunci pintu, Anin duduk sila menghadap Tofan. "Jadi, lo bawa apa buat gue?" tanya Anin sambil melirik plastik putih yang tergeletak manis di meja depan mereka.
Tofan mengangkat sebelah alisnya menatap Anin. "Lo kira, gue bawain itu buat lo?" tanya Tofan sambil menunjuk plastik tersebut dengan dagunya.
Wajah Anin seketika berubah menjadi datar. Ia mengubah posisinya menjadi bersandar pada sandaran sofa. Tofan yang melihat Anin seperti itu langsung terkekeh pelan dan menepuk nepuk kepala Anin.
"Bercanda, Nin. Nih, gue bawain cemilan banyak banget. Harus dihabisin pokoknya." ujar Tofan sambil membuka plastik tersebut dan mengeluarkan semua isinya di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Roman pour Adolescents"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.