47-ayo bahagia

74 6 4
                                    

Dengan langkah ringan Anin menyusuri koridor yang benar-benar sepi. Derap langkah kakinya mampu memecah keheningan kala itu. Sorot mata yang sedingin embun itu menatap lurus ke depan.

Pagi yang masih menunjukkan pukul 6 lewat 45 menit itu adalah alasan mengapa sekolah masih sesepi kuburan. Anin terus melangkah, sendirian. Mengarahkan tubuhnya menuju kelasnya yang mungkin masih kosong.

Langkahnya kian melambat saat sebuah tubuh bergerak berlawanan arah dengannya. Tak bisa dipungkiri, jantungnya mulai berdegup tak teratur. Namun sebisa mungkin ia menguasai air mukanya agar tak terlihat gugup.

Tio berjalan santai dengan langkah lebar. Seakan mengikis jarak antara dirinya dan gadis yang berjalan di hadapannya. Semakin dekat, semakin membuat Anin sesak. Tio seakan merebut paksa semua oksigen segar pagi itu.

Anin terlihat begitu tenang dari raut wajahnya, namun jantungnya meronta menjerit ingin menerkam pria itu sekarang juga. Komuknya perlahan mengendur saat tubuh beraroma maskulin itu lagi-lagi melewatinya. Tanpa meliriknya(lagi).

Senyum getir tercetak jelas di bibir ranum Anin. Begini kah rasanya diabaikan? Sekalipun Anin membenci Tio, tapi tak bisa dipungkiri bahwa masih ada dan akan selalu ada rasa untuk pria itu. Ya, Anin yakin itu. Akan selalu ada.

Bahkan Anin yakin bahwa ia tidak bisa membenci seorang Tio apapun alasannya.

Sedangkn dari posisinya, perlahan langkah Tio ikut memelan. Tangannya mengepal, rahang yang mengeras dan mata yang ia tutup rapat sembari menarik oksigen serakus mungkin. Bukan hanya Anin yang kehabisan oksigen, bahkan Tio pun butuh bernapas bebas saat ini.

Tio memutar tubuhnya, menatap nanar punggung yang mulai menghilang di balik lorong yang sepi. Bersamaan dengan suara langkah kaki yang tak lagi terdengar, Tio tersenyum miris dan bergumam.

"Ayo bahagia, Nin."

Setelahnya, Tio berbalik arah dan melangkah dengan otak yang terisi 1 nama. Anin.

Sedangkan di sisi lain, Anin memasuki kelas masih dengan langkah ringan walau terasa berat. Tubuhnya seakan berpisah dengan jiwanya.

Benar saja, kelas masih kosong mengingat waktu belum menunjukkan pukul 7.

Langkahnya menyeret tubuhnya untuk segera duduk di kursinya. Keningnya mengernyit saat menyadari ada sesuatu di lacinya saat ingin menyimpan tasnya di sana. Dikeluarkannya sesuatu tersebut.

Napasnya tercekat. Ingatannya kembali menyelami lautan yang selalu ia selami. Bahkan untuk segala sisi dari lautan tersebut sudah ia hapal di luar kepala. Matanya memanas siap menumpahkan seluruh lahar panas yang ada. Degup jantungnya seakan seperti pesawat yang hilang kendali.

Dengan kesadaran yang masih tersisa, Anin menutup matanya rapat-rapat. Mencegah 'lahar panas' tersebut meluncur bebas. Dan mencoba mengendalikan degup jantungnya yang tak beraturan.

Dalam hati ia meyakinkan dirinya sendiri agar tak kembali terjatuh. Ia akan baik-baik saja. Akan membaik dengan perlahan. Dan akan selalu baik-baik saja suatu saat nanti.

Anin mengambil sebuah catatan kecil yang ditulis menggunakan sticky note berwarna biru muda dengan tinta hitam diatasnya.

Senyum getir tercetak di bibirnya saat membaca catatan kecil tersebut.

Kini ia merasa, perjuangannya baru akan di mulai.

Melupakan Tio dan menerima Tofan.





Pretty LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang