Bacanya sambil play mulmed👆
**
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Anin yang seperti sudah tak bernyawa. Dirinya hidup. Tapi seolah ia sudah mati.
Sejak berita duka yang ia dapatkan semalam, Anin hanya terdiam sepanjang malam di dalam kamar orang tuanya usai menghabiskan seluruh air matanya.
Jenazah mamanya baru akan diberangkatkan pagi ini menggunakan pesawat.
Sedangkan dibawah sana, sudah ada orang tua Shone, orang tua Tofan, Sherin, Rino dan Valin. Ada juga beberapa tetangga dan karyawan-karyawan Afkar yang datang berbela sungkawa atas kepergian istri atasan mereka.
Sejak semalam Tofan memang tidak pulang dan memutuskan memberi kabar tersebut pada orang tuanya dan teman-temannya melalui sambungan telpon saja. Semuanya jelas syok mendengar kabar duka tersebut. Namun mereka sadar mereka tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan itu, karena Anin membutuhkan dukungan mereka.
Sedangkan orang tua Shone segera bergegas setelah sambungan telponnya dengan Anin terputus. Mereka memutuskan membelah malam sunyi dari Jakarta menuju Bandung untuk cepat menemui anak dan keponakan mereka.
Suara ketukan pintu dari luar tidak membuat Anin bergerak sedikitpun. Pandangannya kosong. Raganya seperti sudah tak berjiwa lagi. Wajahnya bahkan sudah terlihat pucat pasi.
Shone beserta mamanya masuk ke dalam ruangan tersebut dengan perlahan. Menatap nanar gadis yang duduk memeluk lututnya sendiri di atas kasur.
Dengan susah payah Naya-mama Shone- menahan tangisnya. Ia mendekat, duduk tepat di hadapan putri tunggal saudaranya. Sedangkan Shone hanya berdiri saja di sebelah Anin.
Tangan Naya terulur membelai lembut pipi Anin seraya tersenyum kecil. "Sayang, papa kamu butuh kamu di sana. Disaat-saat seperti ini kamu harus ada di sisi papa kamu." ucapnya lirih.
Anin sedikit melirik Naya, namun hanya sesaat. Tidak mungkin baginya untuk berangkat ke Kalimantan saat itu juga di saat jenazah mamanya sudah dalam perjalanan menuju Bandung.
"Saat ini papa kamu yang butuhin kamu sayang. Keadaannya parah. Dan di sana papa hanya ada Pak Kenan. Kamu mau ya?" bujuk Naya lembut. Ia tidak yakin ini akan berhasil atau tidak. Tapi setidaknya ia akan berusaha meyakinkan Anin untuk pergi menemani papanya di Kalimantan yang masih belum sadar juga setelah operasi.
Operasi Afkar berhasil. Namun setelah operasi itu selesai, Afkar mengalami koma hingga saat ini. Dan hanya ada Pak Kenan yang menemaninya di sana. Sedihnya lagi, Afkar tidak mengetahui bahwa istrinya kini sudah diberangkatkan menuju Bandung dalam keadaan tidak bernyawa.
Anin menggeleng lemah. Ia ingin melihat mamanya untuk yang terakhir kalinya. Ia rindu mamanya. Ia ingin memeluk mamanya untuk yang terakhir kalinya. Ia ingin mengantarkan mamanya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Sekali lagi ia tekankan, dirinya tidak mungkin tidak mengikuti pemakanan mamanya.
"Anin mau di sini. Mau, ketemu mama." ujar Anin lirih dan sedikit terbata. Namun pandangannya tetap lurus kedepan.
Air matanya kembali luruh tanpa suara. Sakit. Cukup sakit untuknya mendengar kabar bahwa mamanya akan pulang namun hanya sekedar jasadnya saja. Akan lebih sakit lagi jika ia tidak bisa menemui mamanya untuk yang terakhir kalinya apalagi sampai tidak mengikuti pemakamannya.
Naya masih tidak ingin menyerah. Bagaimana pun juga Afkar membutuhkan putrinya bersamanya.
"Anin, tolong ngertiin papa kamu sayang. Papa-"
"Enggak! Anin gak mau pergi! Anin mau ketemu mama!" sentak Anin menolak.
Shone tidak sanggup melihat Anin seperti itu. Namun tak banyak yang bisa ia lakukan saat ini selain diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Teen Fiction"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.