Sudah hampir seminggu Anin, Tofan, Shone dan Sherin menjalankan aksi diam mereka. Namun diantaranya, hanya Shone yang sudah mulai kembali memperhatikan Anin, mengajaknya bicara ya walau hanya sesekali. Itupun percakapan yang mereka lakukan hanya sekenanya, jika memang ada yang perlu dibicarakan atau ditanyakan. Seperti, mama kemana? Papa belum pulang? Turun makan sekarang. Hanya itu yang selalu dikatakan Shone. Dibanding dengan hari-hari sebelumnya, untuk melirik adik sepupunya itu saja ia terlihat tidak berselera.
Berbeda dengan Tofan yang jelas terlihat sedang menjauh. Terbukti saat beberapa kali Anin mencoba untuk mengajaknya bicara Tofan malah tidak menggubrisnya. Terkadang juga ia bertingkah seolah memang tidak mengenal gadis itu. Soal antar jemput ke sekolah, Tofan sudah tidak melakukannya beberapa hari karena Anin yang mengatakan ingin berangkat sendiri saja dengan kendaraannya. Bukannya tidak ingin diantar jemput oleh Tofan, hanya saja ia tidak ingin jika berada di dekat Tofan namun hanya diselimuti rasa canggung antara keduanya. Dan Tofan dengan anteng menyetujuinya, tentu saja itu mempermudah aksinya untuk menjauh dari Anin.
Sedangkan Sherin, Anin tau jelas apa yang membuat sahabatnya itu menjauh dan mendiaminya. Hanya saja Anin masih belum siap untuk menceritakan tentang Tio yang juga ikut-ikut menjauh darinya. Ya, Tio adalah sebab utama mengapa semua orang terdekatnya menjauhinya. Hanya saja Anin tidak mengetahui bahwa itulah alasannya.
Dan semenjak hampir seminggu itu pula Anin hanya bertemankan dengan rasa penasarannya tentang alasan-alasan tersebut. Terkadang ia berpikir bahwa dirinya perlahan berubah entah menjadi siapa, karena yang ia tau, seorang Anin tidak akan pernah peduli tentang apapun bahkan tentang dirinya sendiri. Dan terbukti saat beberapa hari ia hanya sibuk menerka-nerka apa yang membuatnya sendiri selama beberapa hari terakhir.
Disinilah Anin sekarang, duduk di sofa balkon kamarnya seraya menatap malam yang mendung, dan bulan yang tertutup oleh awan hitam yang ingin menguasai langit malam itu seolah menggantikan posisi bintang-bintang yang kini juga tidak diperbolehkan untuk menampakkan dirinya.
Helaan napas beberapa kali terdengar dengan kasar.
Sesak.
Anin membenci rasa sesak itu.
Tapi ya, sesuatu yang kita benci sudah menjadi hal lumrah yang pasti dan akan selalu mengikuti kemana kita akan pergi. Dan mau tidak mau, dengan berat ataupun senang hati kita tetap harus merasakannya.
Apa yang dipikirkan Anin saat ini, hanya mendominasi tentang Tofan. Tentang bagaimana ia akan melakukan kebohongan yang pria itu inginkan jika mereka saling menjauh seperti sekarang ini.
Kebohongan yang tanpa sadar akan menjadi sebuah realita. Anggap saja itu adalah pretty lies. Kebohongan yang indah. Setidaknya itulah menurut Tofan.
Bahkan keraguan terhadap Tofan kini berkeliaran dalam benaknya. Tofan tidak mengerti bahwa perilakunya saat ini membuat Anin menjadi ragu menjatuhkan hatinya padanya. Sebuah penghambat. Dan pada akhirnya Anin akan tetap menjadi Anin yang beku, bahkan mengunci rapat-rapat hatinya dan membuang jauh kuncinya hingga tidak ada yang mampu membukanya, bahkan mendobraknya.
Pintu menuju balkon tersebut terbuka, membuat pikirannya meluap entah kemana bersama angin malam. Dan suara deheman membuatnya sadar dari lamunan yang menyesakkan.
Shone mengambil posisi duduk di sebelah Anin sambil ikut memandang ke arah langit mendung. Anin menoleh sekilas lalu kembali memandang ke arah yang sama.
Suasana yang awalnya dingin, kini menjadi sangat dingin. Keduanya diam. Larut dalam pikirannya masing-masing. Atau mungkin sedang memikirkan bagaimana cara membuka obrolan diantara mereka.
"Nin," Suara bariton Shone memecah keheningan. Jujur saja ia jengah dengan hanya berdiam seperti itu, tau sendirikan Shone adalah manusia yang tidak bisa diam. Ia akan berceloteh tentang apapun itu yang membuat orang akan memutar matanya dengan malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Teen Fiction"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.