Suara gedoran pintu yang sangat tidak santai memaksa untuk dibuka membuat tidur Anin terusik, sangat terusik. Siapa lagi pelakunya jika bukan Shone, perusuh namun juga kesayangan Anin.
Dengan perasaan kesal Anin menyibakkan selimutnya lalu melirik jam yang ada di atas nakas yang masih menunjukkan pukul 5 lewat 28 menit. Entah apa yang diinginkan Shone dipagi buta seperti ini.
Dengan kesadaran yang belum penuh Anin melangkah gontai untuk membuka pintu kamarnya. Setelah membuka pintu ia langsung mendudukkan dirinya di lantai dan bersandar pada pintu dengan mata tertutup.
Shone menautkan alisnya lalu berjongkok di depan Anin yang kembali terlelap dengan posisi duduk.
"Tidur jam berapa sih? Bangun Nin, astaga." Ujar Shone seraya menepuk pelan pipi Anin yang tidak menunjukkan responnya.
Shone menghela nafasnya. Dengan inisiatif yang ada, peran Shone sebagai kakak yang baik kini muncul dalam dirinya. Ia menggendong Anin dengan gaya bridal style dan membawanya ke tempat tidur.
"Berat banget ih." Sungut Shone lalu menghempas tubuh Anin dengan kasar membuat sang pemilik tubuh mengerang kesal.
Dengan terpaksa Anin membuka matanya karena merasakan sakit disekujur tubuhnya akibat dihempas dengan kasar.
"Apa?" Sentak Anin dengan tatapan malas.
Shone duduk di tepi kasur sambil memainkan ponselnya. "Gue gak ke sekolah." Ujarnya tanpa menoleh dari layar ponselnya. "Gue suruh Tofan jemput lo yah?"
"Serah." Jawab Anin dan kembali menutup matanya dan membungkus dirinya dengan selimut.
Hari ini gaya gravitasi kasur Anin sangat hebat sehingga membuat Anin tidak bisa meninggalkan tempat tidurnya itu yang terasa nyaman. Jika saja hari ini dia tidak ada jadwal ulangan harian, mungkin Anin akan mengikuti Shone yang tidak pergi sekolah.
Shone berjalan ke arah jendela dan membuka gorden yang menghalau cahaya memasuki kamar monokrom Anin. Ponselnya ia letakkan di telinga guna untuk menelfon Tofan untuk memberitahu bahwa dia harus menjemput Anin berangkat ke sekolah.
Setelah beberapa menit berbicara ditelfon, Shone kembali ke kasur Anin lalu menyibakkan selimut tebal yang membungkus badan mungil si pemilik kamar.
"Tofan demam lagi. Lo berangkat sendiri aja ya? Kalau gue anterin ntar pulangnya lo gimana?" Sontak Anin membuka matanya lebar mendengar penuturan Shone yang mengatakan Tofan sedang demam.
"Demam lagi?" Walaupun dengan ekspresi datar, namun Shone cukup pandai menebak suara Anin yang tersirat rasa khawatir disana. Shone mengangguk mengiyakan lalu berdiri dari duduknya.
"Gak papa kan lo berangkat sendiri?" Tanya Shone dan dibalas anggukan oleh Anin.
**
Entah untuk yang keberapa kalinya Anin menghela nafas berat. Berjalan sendirian memasuki halaman sekolah membuatnya sedikit malas. Tanpa sepengetahuan Shone, Anin tidak menggunakan kendaraan untuk berangkat sekolah, alasannya sederhana, ingin merasakan udara pagi yang tenang tanpa polusi berlebih.
Anin melirikkan matanya kekanan saat menyadari ada seseorang yang berjalan disampingnya dalam diam dan entah sejak kapan. Orang itu tersenyum hangat padanya dan Anin hanya bisa memasang ekspresi datarnya. Tidak ingin menyunggingkan sebuah senyuman dipagi hari pada orang itu, seakan-akan jika ia membalasnya maka dia adalah orang yang paling berdosa di muka bumi ini.
"Sendiri aja?" Tanya Tio. Ya, orang itu adalah Tio. Orang yang telah ditolak mentah-mentah oleh Anin saat di taman waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Teen Fiction"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.