29-menjauh

104 16 0
                                    

"Heh, napa lo? Sakit?" Sherin melongo saat melihat Anin dengan lesunya memasuki kelas dan sedikit membanting tasnya di meja, lalu melakukan rutinitasnya setiap berada di kelas, yaitu menenggelamkan kepalanya diantara lipatan tangannya.

Yang ditanya tidak menjawab, seperti biasa hanya memberi isyarat dengan gelengan kecil yang menandakan bahwa ia tidak apa-apa.

Helaan nafas kasar keluar dari mulut Sherin, lama-lama ia juga jengah dengan sikap Anin yang seperti ini.

"Nin, lo kenapa sih? Cerita sama gue. Lo ngakunya gue sahabat lo, tapi apa-apa gak mau cerita. Gue kan gak bisa nebak tuh apa yang ada dipikiran lo, sekali-kali lah lo habisin semua stok kata-kata lo sama gue, jangan ngomongnya cuma satu dua kata, kalau enggak satu dua kata malah geleng-geleng atau ngangguk aja. Gak selalu gue bisa ngerti semua bahasa tubuh lo. Berasa sahabatan sama patung kucing tau gak gue, yang kepalanya ngangguk mulu gak bisa ngomong."

Katakanlah Sherin sekarang sedang mengomel, bukan mengomel. Justru nada bicaranya yang awalnya biasa-biasa saja kini menjadi lebih tinggi menggambarkan ia sudah tidak bisa menahan emosinya terhadap sikap Anin yang selalu diam saja tak ingin bercerita. Lalu untuk apa Sherin menjabat sebagai sahabat Anin jika ia tidak mengetahui semua masalah sahabatnya itu? Bukannya sahabat tempat berbagi keluh kesah atau apapun itu? Ayolah Anin, tingkat kepedulian Sherin termasuk ideal untuk seorang sahabat.

Anin menegakkan tubuhnya lalu melempar tatapan tajam pada Sherin. Sungguh hari ini ia tidak ingin memperdebatkan masalah apapun itu, namun perkataan Sherin telah menyulut emosinya hingga semua umpatan siap keluar dari bibir mungilnya, namun sebisa mungkin ia menahannya jika tak mengingat yang didepannya saat ini adalah Sherin, sahabatnya.

"Gue malas debat." Jawabnya singkat.

"Yaudah, lo sahabatan gih sama tembok. Lo diem dia juga diem, setidaknya gue masih mau nanya lo kenapa, Nin." Sherin menarik napas panjang lalu beranjak dari duduknya meninggalkan Anin bersama pikiran-pikirannya yang sama sekali tidak dimengerti Sherin.

Anin menghela napasnya kasar. Baiklah, kemarin Tio, di rumah Shone, lalu Tofan, dan sekarang Sherin juga meninggalkannya.

Anin tersenyum kecut membayangkan sekarang semua yang dekat dengannya kini mendiamkannya. Bahkan untuk menyalahkan siapa Anin juga tidak tau. Sikap diam Shone dan Tofan yang tanpa alasan cukup membuatnya bertanya-tanya. Dan sekarang Sherin yang berhasil mengeluarkan semua keluhannya terhadap sikap Anin yang sama sekali tak ingin bercerita tentang apa yang sedang dipikirnya.

Sekali lagi, Anin merasa tidak ada yang mampu memahaminya dan bertahan dengannya dalam keadaan apapun.

**

4 jam lamanya Anin dan Sherin duduk bersebelahan dalam keadaan diam. Memperhatikan guru yang tengah mengoceh panjang lebar menjelaskan tentang bagaimana gangguan pada sistem saraf manusia dan blablabla. pikirnya, sarafnya kini sudah tertanggu jadi mereka harus mempelajari materi tersebut dengan baik. Entah bagaimana, pelajaran biologi saat ini sangat menarik untuk kedua gadis yang tengah diam-diaman tersebut.

Bel istirahat bunyi bersamaan dengan selesainya penjelasan guru tersebut, membuat semua murid bernapas lega dan bersorak layaknya anak kecil yang mendapat hadiah mainan dari orang tuanya. Lain halnya dengan Anin dan Sherin, tak ada helaan napas ataupun sorakan seperti yang lainnya.

Sherin membereskan seluruh bukunya dan dimasukkan ke dalam laci mejanya, begitu pula Anin. Tanpa sepatah katapun keluar dari mulut keduanya, Sherin beranjak keluar kelas meninggalkan Anin yang tengah menatapnya dengan ekspresi yang tak terbaca.

Anin menghela napas dengan kasar, biarkan saja jika semua orang ingin meninggalkannya sendirian. Kalau memang perlu, ia akan mencoba untuk pindah saja ke mars agar bisa hidup sendirian dan lari dari kenyataan. Seandainya itu bukan hal yang absurd, sudah ia lakukan sejak dulu.

Pretty LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang