Pagi yang cerah dan suasana hati yang sedikit mencerah. Hari ini kebekuan dalam tatapan Anin sedikit melumer entah karena alasan apa. Terlihat dari wajahnya yang tidak begitu dingin seperti biasanya.
Anin berangkat kesekolah bersama Tofan dikarenakan Shone yang sudah bersama Valin. Anin baru tau bahwa Valin telah mengurus kepindahannya di Bandung sejak beberapa hari lalu, dan Valin juga telah tinggal di apartemen keluarganya setelah beberapa hari menginap di rumah Anin.
Tofan yang melihat perubahan Anin sekali lagi harus bertanya-tanya sendiri. Waktu itu Anin menelfonnya tengah malam hanya untuk mendengarkan puisi spontan yang Tofan lontarkan hingga ia tertidur. Pagi ini ia melihat Anin beberapa kali tersenyum walau senyum itu tipis bagai tisu yang terkena air akan robek.
Disimpannya helm fullface Tofan diatas motornya lalu berjalan bersisian dengan Anin.
"Lo aneh ya?" Suara Tofan terdengar sangsi.
"gue Anin, bukan aneh."
Tofan menaikkan kedua alisnya tanpa memutus pandangannya dari gadis itu. Mereka terus berjalan menyusuri koridor dan melewati kelas demi kelas untuk bisa sampai di kelas masing-masing. Untungnya kelas mereka hanya dibatasi oleh kelas XI IPA 2.
"Jangan liatin mulu, ntar nabrak atau jatoh gue gak tanggung jawab loh." Tukas Anin seraya mengusap wajah Tofan dengan tangannya.
Tofan mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya pandangannya lurus kedepan.
"Kalau jatuhnya ke hati lo sih gak papa, malah gue berharap bisa jatuh sejatuh-jatuhnya gitu."
Anin memutar bola matanya lalu memiringkan kepalanya ke arah Tofan.
"Masih pagi, Fan. Gak usah ngereceh."
"Gak ada tata tertib kok yang ngelarang."
"Iyain, biar Tofan seneng."
Tofan hanya cengengesan mendengar jawaban seperti itu dari Anin. Setidaknya Anin memikirkan agar Tofan bisa senang kala itu walaupun dalam bentuk candaan mungkin.
Setelahnya tak ada lagi yang bersuara. Hanya langkah kaki mereka yang mengisi keheningan kala itu. Sesekali pula mata Tofan dengan leluasa mencuri-curi pandang pada gadis disebelahnya. Jika diteliti dengan baik, Anin memang terlihat manis dengan kesederhanaannya dalam berpenampilan. Hal itu justru memiliki nilai lebih untuknya dari Tofan.
Tofan melirik jam tangannya lalu menoleh ke arah Anin. "mau langsung ke kelas atau kemana nih? Masih ada 35 menitan baru bel."
Anin terbelalak mendengar penuturan Tofan, pasalnya mereka terlalu cepat berada di sekolah pagi itu.
"Masih lama ya? Cepet banget sih berangkatnya." Sungut Anin.
Tofan berdecak kesal lalu menyentil pelan telinga Anin. "Lo yang maksa mau datangnya cepat-cepat gini."
Anin hanya diam tak mau menjawab. Tangan Tofan terulur mengusap lembut telinga kanan Anin yang sedikit memerah karena ia sentil. Tak ada tolakan dari Anin yang membuat kedua alis Tofan terangkat. Biasanya, jika gadis itu disentuh maka secepat kilat tangannya akan menepis siapapun tangan yang berani menyentuhnya.
Namun melihat raut wajah Anin, Tofan terkekeh sangat pelan dan berujar dalam hatinya.
Sok-sok an ngambek.
Tanpa ragu Tofan menautkan jemarinya dengan jemari Anin, membuat sang pemilik jari sedikit terkejut dengan perlakuan tiba-tiba Tofan. Anin melirik ke arah genggaman tangannya yang dirangkum oleh Tofan. Ada sedikit rasa hangat yang menjalar dalam tubuhnya, namun ia masih enggan untuk mengakui bahwa ia merasa hangat bersama pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Teen Fiction"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.