Kebun teh menjadi pilihan Anin dan teman-temannya kali ini. Kapan lagi bisa menghirup udara segar pagi hari tanpa polusi seperti itu yang jelas saja jarang terjadi di Bandung.
Shone yang sejak hari pertama liburan mengamati sekitar dapat merasakan hal yang berbeda dari setiap orang yang ikut bersamanya.
Mulai dari Sherin dan Rino yang sedikit lebih akur dan tak jarang mereka saling menjaili satu sama lain. Kadang juga mereka tertawa bersama-sama. Jika Rino mulai menjaili Sherin ataupun menggodanya seperti biasa, Sherin hanya menanggapinya dengan tawanya atau kembali mengolok pria itu. Hari ini mereka terlihat lebih akrab dan dekat membuat Shone memgulum senyum memperhatikannya.
Ada juga Valin yang selalu ceria kini lebih ceria lagi. Namun yang biasanya dia lebih manja terhadap Shone, hari ini Valin sibuk bersenang-senang membuat Shone merasa ia sedikit terlupakan. Tapi Shone tidak terlalu mempermasalahkannya, karena, kebahagiaan orang-orang itulah yang ia inginkan. Apapun itu dan bagaimanapun itu ia hanya berharap waktu terhenti saat ini juga hingga tak ada yang bisa merenggut moment ini darinya.
Terlebih lagi saat Anin dan Tofan mulai menciptakan suasana melankolis dengan saling kejar-kejaran di kebun teh tersebut sambil tertawa bersama membuat Shone ingin lebih lama berada di tempat itu.
Shone berjalan menyamai langkahnya dengan Sherin dan Rino yang memang berjalan di depannya. Pandangannya masih terpaku pada Anin dan Tofan yang masih sibuk mengelilingi kebun teh tersebut.
Sherin menolehkan kepalanya sekilas lalu mengikuti arah pandang Shone. Sedangkan Rino sekarang lebih sibuk ke ponselnya.
"Seneng gak sih liat Anin kaya gitu?" Celetuk Shone tiba-tiba.
Sherin mengangguk tanpa suara. Seulas senyum tipis tercetak di bibirnya.
"Setelah setahun lamanya." Guman Sherin pelan.
Shone tersenyum masih dengan pandangan mengikuti kemana Anin pergi. Mengawasi setiap langkah gadis itu dan merekam setiap tawa yang Anin lontarkan.
Rino menyimpan ponselnya di saku celananya lalu mengikuti arah pandang Sherin dan Shone.
"Seneng gak sih liat Anin kaya gitu?" Sahut Rino dengan mata berbinar dan senyum yang mengembang, "biasanya nih ya, gue dijutekin, dijudesin. Baru pertama kalinya loh gue liat Anin bisa ketawa. Kirain kotak tertawanya udah error." sambungnya.
Sherin meliriknya malas sambil menghela napas. "Orang kalo ngomong tuh didengerin jangan mainan hp makanya."
"Lah?"
"Yang lo bilang tadi itu udah gue bilang kali." Timpal Shone seraya berjalan meninggalkan Sherin dan Rino berniat untuk menyusul Valin yang kini asik membantu seorang yang sedang memetik daun teh.
Rino menggaruk tengkuknya yang sedikit gatal dan tersenyum kikuk."emang salah ya?"
"Iyalah, lo kan cowok. Dan cowok kan sel-"
"Selalu salah, iya gue emang cowok dan selalu salah di mata lo. Tau gue, udah biasa." Selak Rino cepat dan memanyunkan bibirnya, sedangkan Sherin berusaha menahan tawanya agar tidak lepas melihat ekspresi Rino saat ini.
Sherin membalikkan tubuhnya menghadap Rino dan berhenti melangkah, otomatis Rino juga ikut berhenti.
Tangan Sherin terulur mencubit kedua pipi Rino dengan gemas sambil tertawa, "lo lucu kalo ngambek."
Rino terpaku menatap bayangan dirinya di bola mata Sherin. Bahkan ia tidak meringis karena Sherin terus mencubit pipinya hingga memerah.
Berikutnya Rino tersenyum tipis saat tangan Sherin tidak lagi bertengger di pipinya. Masih menatap Sherin dengan tatapan yang tak bisa diartikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Teen Fiction"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.