46-Malam dan bintang

80 7 2
                                    

Anin tidak pernah menyangka, kedekatannya dengan Tofan sampai ketahap seperti ini. Dengan cara yang sangat tidak masuk akal menurutnya. Tapi mungkin dapat membantunya, entahlah.

Terdengar sedikit kejam tapi ia membutuhkannya.

Anin tidak pernah mengerti, bahwa melepaskan seseorang tidak harus mencari pengganti. Ia hanya perlu ikhlas dan merelakan. Hanya itu.

Tapi Anin melangkah terlalu jauh. Ia berharap kedekatannya dengan Tofan bisa membunuh Tio dalam pikirannya. Itu saja.

Anin menoleh saat menyadari kehadiran Tofan di sampingnya.

Malam itu, seperti hari-hari biasanya, Anin sedang berdiam diri di taman belakang rumahnya. Menatap objek favoritenya tentu saja. Malam dengan bintang.

Ia sedikit tersenyum pada Tofan lalu kembali memandang lurus ke langit. Tofan sama sekali tidak ingin mengikuti arah pandang gadis itu, karena menurutnya, wajah Anin lebih tenang dibanding dengan langit gelap beserta ribuan bintang tersebut.

"Lo suka banget liat bintang malem-malem gini?" tanya Tofan memecah keheningan.

Anin menoleh, dan sedikit terkekeh. "Emangnya ada bintang kalau siang?"

Tofan mendengus geli lalu ikut memandang ke langit. "Ada, gue liatnya setiap waktu."

"Ohya? Mata lo kelainan tuh." ejek Anin sambil tersenyum simpul.

"Gak tuh. Iya gue liat bintang tiap waktu. Setiap gue liat lo, lo kaya bintang, hehe." Tofan mengusap tengkuknya sambil terkekeh, merasa geli sendiri dengan ucapannya barusan.

"Lo tau gak, Fan. Lo itu RECEHHH." Anin tertawa melihat wajah Tofan yang menjadi canggung. Lucu juga bikin Tofan gagal gombal, hehe.

Tofan ikut terkekeh namun sedikit canggung. "Gue kan lagi usaha, Nin."

"Iyaiya, percaya deh."

Lagi-lagi Tofan memandang wajah Anin yang begitu tenang. Akhir-akhir ini Anin sering menunjukkan senyumnya pada Tofan, bahkan sudah berani tertawa walau tidak begitu lepas.

"Gue penasaran deh, gimana caranya sih si Tio bisa ngambil hati lo dulu."

Sedetik berikutnya Tofan merasa tegang sendiri dengan ucapannya setelah berhasil membuat Anin menoleh penuh kearahnya dengan raut wajah yang meredup.

Merasa suasana kini semakin canggung bagi Tofan, ia mengusap tengkuknya lalu tersenyum kikuk. "Maaf." ucapnya tulus dengan suara rendah.

Anin menunduk dan tersenyum miris. Kemudian ia menghela napas berat dan kembali mengangkat pandangannya. "Lo mau tau?" tanyanya dengan sedikit tersenyum.

"Eh?"

"Gue gak tau sih sebenarnya, kenapa dan bagaimana awalnya Tio bisa rebut hati gue." Jeda Anin seraya menarik napas dalam. Tofan hanya diam memilih untuk mendengarkan saja. "Tapi, yang perlu lo tau, gue dulu gak kaya gini. Maksudnya, gue gak sedingin ini. You know lah semua pasti punya sebab-akibat."

"Gue deket sama Tio sejak SMP loh. Waktu itu pas kelas 2." Anin kembali menatap langit sambil tersenyum simpul. Kali ini, tidak terasa begitu sesak saat menerawang ke masa lalunya.

"Gue gak ngerti gimana awal kedekatan kita, tapi ya itu, semakin hari gue nyaman sama Tio. Dan gue dengan gampangnya merasa kalau Tio juga suka sama gue. Ya gimana ya, perhatiannya itu yang buat gue mikir kaya gitu. Yang gue tau waktu itu, Tio deketnya cuma sama gue." lagi lagi Anin menjedanya, mencoba mengingat-ingat bagaimana semua itu terjadi.

"Ck, intinya aja kali ya. Semuanya dari rasa nyaman, Fan. Gue rasa nyaman sama dia waktu itu."

Nyaman? Jika Anin menyukai Tio karena rasa nyaman, apakah ia juga bisa menyukai Tofan karena rasa nyaman juga?

Pretty LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang