Sudah seminggu lebih sejak Tio tersenyum ringan pada Anin sewaktu di kantin. Anin tidak mengerti, senyuman itu, tatapan yang terlihat seperti permohonan dari manik Tio membuat Anin terus memikirkannya.
Kata Tio ia harus bahagia.
Tapi bagaimana bisa? Disaat selama ini Anin tidak pernah benar-benar move on dari laki-laki itu, bagaimana bisa ia bahagia?
Anin mendengus keras. Menatap sinis ke arah langit yang selalu saja terlihat begitu cerah ketika malam hari.
Jika menurut Tio saat ini Anin sudah benar-benar melupakannya, maka itu adalah salah.
Jika Tio mengira selama ini Anin telah menguapkan semua rasa pedulinya, maka itu adalah salah.
Anin terlihat datar dimuka publik, namun tak pernah bisa untuk mengabaikan satu nama yang sudah melekat sempurna didua sisi. Otak dan hatinya.
Tentang sikap Anin sebelumnya yang selalu menghindari Tio, itu adalah salah satu cara membentengi dirinya sendiri. Belum move on bukan berarti ingin kembali. Anin hanya takut 'terjatuh' lagi. Anin hanya belum siap merasa 'sakit' lagi.
Dan tidak ingin jatuh di lubang yang sama.
Anin mengusap pelan kedua lengannya yang tertiup angin malam. Dingin menyapanya, bulan dan bintang menertawainya, dan kenangan menemaninya.
Ingin marah? Ya.
Tapi ia tak pernah bisa meledakkan segala kemarahannya saat lagi-lagi beberapa memori kembali terputar di otaknya.Lamunannya terhenti saat mendengar pintu yang menghubungkan kamarnya dengan balkon terbuka. Ia menoleh dn mendapati seorang Tofan tersenyum ramah padanya.
Anin sedikit tersenyum, membalas rasa hangat yang Tofan salurkan melalui senyumnya. Hanya dengan begitu, Anin akan terbiasa untuk terus berpura-pura merasa hangat dan nyaman dengan senyum Tofan. Mulai dari senyuman.
"Siap-siap gih, kita jalan." suara Tofan memecah keheningan yang diberikan oleh malam.
Anin mengernyit sesaat lalu menatap Tofan, "kemana? Lo datangnya kapan main muncul aja di kamar orang."
Tangan hangat Tofan mendarat tepat di puncak kepala Anin, mengusapnya lembut lalu merapikan anak rambut yang menutupi wajah polos Anin. Kekehan kecil lolos dari bibirnya. "Gak usah banyak nanya. Udah sana ganti baju lo yang lebih tebel, gue tunggu di bawah." ujar Tofan sebelum akhirnya ia berjalan meninggalkan Anin yang mengerucutkan bibirnya malas.
**
Keheningan masih menyelimuti kedua remaja yang sedang berada di dalam sebuah mobil. Tidak ada percakapan ataupun suara radio yang selalu menyiarkan lagu-lagu ataupun curhatan seseorang. Hanya ada suara deru mobil yang beradu dengan deru kendaraan yang lain.
Anin terlihat tenang. Seperti tak ingin tau kemana Tofan akan membawanya malam itu. Yang penting ia aman bersama Tofan.
Sebelumnya, Shone tidak mengijinkan Anin pergi berdua dengan Tofan dimalam hari seperti ini, kecuali jika dirinya ikut. Tapi bukan Tofan namanya jika tidak bisa meyakinkan Shone bahwa Anin akan aman bersamanya.
Tofan menepikan mobilnya di sebuah halaman parkir tempat yang ditujunya. Mata Anin terlihat sedang menyapu sekelilingnya. Memperhatikan keramaian tempat itu.
Pasar malam.
Anin menghela napas kecil saat sudah turun dari mobil. Ia kembali menatap sekeliling. Begitu ramai dan riuh. Anin tidak suka keramaian bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Dla nastolatków"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.