Anin duduk di tepi kasur sambil memegangi bingkai foto yang menampilkan wajahnya dan Shone yang begitu ceria. Anin ingat itu adalah foto terakhir mereka saat semuanya masih baik-baik saja satu tahun yang lalu. Diusapnya foto tersebut sambil tersenyum sendu. Jauh dari lubuk hatinya, ia begitu merindukan dirinya yang dulu, dirinya yang begitu hangat terhadap orang-orang disekitarnya.
Terus ditatapnya foto itu hingga berbagai 'seandainya' muncul di benaknya.
Seandainya semua baik-baik saja, kalian tidak harus menghitung berapa kali gue senyum ataupun ketawa dalam seminggu.
Seandainya hari itu tidak terjadi, kehangatan masih ada dalam diri gue.
Seandainya..
Suara pintu yang dibuka terdengar, membuat 'seandainya' dalam pikiran Anin terhenti begitu saja. Shone muncul dari baliknya sambil tersenyum lebar, ia tau maksud kedatangan sepupunya itu untuk memanggilnya sarapan.
Dengan langkah ringan Shone mendekati Anin, lalu duduk berhadapan dengannya. Matanya menangkap bingkai foto yang berada digenggaman Anin, membuatnya tersenyum miris kemudian meraih foto tersebut dan menatapnya sendu.
"Kita emang tinggal bareng, tapi nggak tau kenapa gue selalu merasa rindu sama lo, gue selalu merasa lo jauh, Nin." Ucap Shone selirih angin tanpa menolehkan pandangannya dari foto tersebut.
Anin terdiam, masih memutar otaknya untuk membalas ucapan Shone, namun otaknya tak mampu memberikan kalimat tepat tersebut.
"Maaf.." jawab Anin tak kalah lirih. Dari sekian banyak kata hanya itulah yang mampu ia keluarkan dengan suara yang hampir lenyap.
Shone mengangkat kepalanya dan melihat wajah Anin yang kini menunduk. Dengan lembut Shone meraih dagunya lalu tersenyum. "Ayo, gue yang akan bantu lo buat temuin diri lo yang dulu. Perlahan tapi pasti."
Anin tersenyum, kali ini senyumnya begitu tulus hingga mampu membuat Shone terpekur untuk sesaat. Karena hari itu, untuk pertama kalinya setelah satu tahun yang lalu, Anin tersenyum begitu tulus tanpa beban, pertama kalinya setelah satu tahun yang lalu Shone kembali menemukan lengkungan garis itu dibibir Anin.
Setelah mendapat fokusnya kembali, Shone merangkum tubuh ramping di depannya itu, mendekapnya dengan perasaan hangat yang menjalar didadanya kala melihat Anin kembali memberikannya senyuman itu.
Anin membalas pelukannya. Pelukan yang selalu ia inginkan saat ia jatuh, pelukan yang membuatnya tenang dan merasa aman, pelukan yang menjalarkan kehangatan dalam tubuhnya, dan pelukan yang hanya bisa ia dapatkan dari Shone, sepupunya.
Dengan gerakan lembut Shone mengusap-usap rambut Anin dan membisikkan kalimat yang membuat Anin merasa ialah adik yang paling beruntung di dunia ini.
"Lo itu kesayangan gue, bahkan Valin pun belum bisa masuk hati gue seutuhnya kalau lo kaya gini. Selama lo gak merasa bahagia, maka selama itu juga hanya lo fokus gue. Lo ngerti kan?" Secara otomatis Anin mengangguk begitu saja, masih menikmati sentuhan-sentuhan lembut di kepalanya.
Shone menghela napas pelan lalu melanjutkan ucapannya, "sering-sering senyumin gue kaya tadi ya? Gue ngerasa rindu gue terbayar walau sedikit."
"Makasih ya bang." Gumam Anin masih dalam dekapan Shone.
Dengan lembut Shone mengurai pelukannya untuk menatap wajah Anin. "Untuk apa?"
"Karena lo udah jadi abang gue. Karena lo udah sabarin gue gimana pun cueknya gue, karena lo selalu merhatiin gue dalam keadaan apapun. Pokoknya, thanks for everything." Shone bisa menemukan nada ketulusan dari setiap kata yang terlontar dari bibir ranum Anin membuatnya tersenyum penuh arti dan kemudian mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Teen Fiction"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.