20-isak

126 31 7
                                    

Tofan mengetuk pintu Anin sekali lalu tangannya bergerak membuka pintu kamar gadis itu secara perlahan. Dia menyembulkan kepalanya untuk memastikan Anin ada di dalam, matanya melihat Anin sedang duduk termenung di sisi kasurnya dengan tangan yang memegang handuk kecil.

Tanpa basa-basi lagi Tofan melangkah masuk menghampiri gadis itu yang sepertinya tidak menyadari kehadiran Tofan.

Tofan duduk di samping Anin, tangannya mendarat di bahu gadis itu membuat lamunannya buyar seketika.

"Kenapa? Ada sesuatu?" Tanya Tofan mencoba untuk selembut mungkin.

Anin menoleh, mendapati Tofan kini tersenyum kepadanya. Dengan lamat Anin memperhatikan senyum itu, begitu tulus dan menenangkan.

"Maafin gue soal tadi sore." Ucap Anin lirih lalu menunduk.

Tofan meraih dagu Anin hingga gadis itu mendongak menatapnya. "Jangan minta maaf, gue ngerti keadaan lo sekarang. Lo hanya mau dia gak gangguin lo lagi makanya lo nurutin apa yang dia mau tadi kan?" Anin mengangguk pasrah. Yang dikatakan Tofan memang benar adanya, dia hanya tidak ingin Tio terus-terusan mengganggunya.

Tiba-tiba air mata Anin mengalir begitu saja dari matanya yang sayu. Hal itu membuat Tofan terpaku. Dia tidak ingin melihat Anin menangis seperti ini hanya karena masa lalunya, karena ia sudah berjanji akan membuat hidup Anin kembali seperti dulu.

Tangan Tofan terulur menghapus air mata yang membasahi pipi mulus Anin. "Jangan nangis, I'm here."

Tofan menarik gadis itu ke dalam dekapannya dan mengelus pelan pundak gadis itu untuk memberikannya ketenangan. Tidak ada penolakan dari Anin, ia justru semakin menenggelamkan wajahnya ke dada Tofan mencari posisi senyaman mungkin. Isakannya begitu jelas dipendengaran Tofan membuatnya semakin mengeratkan pelukannya.

Anin menumpahkan semua perasaannya dalam dekapan hangat Tofan. Selama ini dia tidak pernah terisak seperti itu di hadapan siapapun termasuk Shone maupun Sherin. Anin selalu terlihat kuat dengan pertahanannya, dengan hati beku dan sifat dinginnya ia berhasil menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

Namun saat ini, ia ingin membagi pilunya bersama Tofan, bersama pria yang sedang berjuang membantu Anin keluar dari jeratan masa lalu yang terus membayanginya.

Pintu kamar Anin terbuka, menampilkan wajah Shone yang terdiam di ambang pintu melihat Anin yang terisak di dalam dekapan Tofan. Dia mengayunkan kakinya mendekat ke arah dua remaja itu lalu duduk di sebelah Anin. Tangan Shone dengan cekatan mengelus lembut rambut Anin yang masih sedikit basah.

"Anin gue kenapa?" Tanya Shone selembut mungkin. Di saat-saat seperti ini Shone dapat berubah menjadi seorang kakak yang profesional. Melupakan sifatnya yang bobrok dan menjadi dewasa untuk menenangkan sepupu kesayangannya.

Bukannya menjawab Anin justru tambah terisak dan mengeratkan pelukannya. Tofan dan Shone saling pandang. Mereka tidak mengerti harus melakukan apa untuk membuat gadis yang mereka sayangi itu agar tidak terisak seperti itu.

"Jangan biarin gue ketemu sama Tio lagi." Ucap Anin disela-sela isakannya. Hatinya begitu ngilu mengucapkan nama pria itu. Pria yang dulunya dia prioritaskan, dia sayangi, dan selalu membuatnya tersenyum. Namun juga membuatnya kehilangan senyum, tawa, bahkan semua warna dalam hidup Anin dan hanya menyisakan hitam dan putih.

Shone tersenyum. "Ngapain khawatir? Ada gue yang jagain lo. Dan yang terpenting ada Tofan yang mau berjuang buat lo."

Tofan ikut tersenyum lalu mengurai pelukannya. Ia merapikan rambut Anin yang menutupi wajahnya lalu mengelap air mata yang membasahi wajah polos Anin menggunakan kedua tangannya.

"Jangan buang air mata lo demi hal yang menyakitkan. Lo hanya perlu tarik nafas sedalam-dalamnya saat bayangan itu muncul lagi dibenak lo. Karena itu adalah patah hati terhebat saat lo berhasil untuk nyimpen air mata itu untuk hal yang lebih pantas lo tangisin." Jeda Tofan seraya menghela nafasnya pelan. "Liat gue. Lo mau gue dapetin hati lo kan? Lo mau gue cairin es dalam hati lo itu kan? Lo mau coba balas perasaan gue kan?" Tofan tersenyum lalu mengusap lembut pipi Anin. "Kalau gitu berhenti tangisin dia. Itu sama sekali gak membatu, Nin. Lo harus tersenyum untuk menutupi luka itu. Lo mau lakuin itu buat gue?"

Pretty LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang