30-still care

112 19 2
                                    

Tofan masih enggan menggubris perkataan Rino yang tiba-tiba saja menjadi lebih sedikit bijak. Sebenarnya ia berusaha untuk mencerna kalimat-kalimat itu dan hatinya sedikit mengatakan bahwa gadis itu memang sedang membutuhkannya. Tapi ya, namanya laki-laki tetap akan bertahan dengan logika dan egonya. Hingga akhirnya Tofan mengendikkan bahunya tanda tak peduli dan terus mengayunkan kakinya memasuki kantin yang mulai penuh oleh manusia-manusia yang membutuhkan asupan untuk kebaikan lambung mereka.

Tofan mengedarkan pandangan mencari tempat yang kosong. Beruntung ia mendapati Shone, Valin dan sherin berada di meja pojok kantin yang masih menyisakan tiga kursi kosong. segera mereka melangkah ke arah tiga orang tersebut. Ada yang sedikit mengganjal perasaannya saat sudah duduk bergabung bersama Shone, Valin dan Sherin.

Pikirannya sekarang tertuju pada Anin. Tofan tau benar bahwa sekarang gadis itu berada di perpustakaan. Ingin sekali Tofan tadi menariknya agar ikut bersamanya ke kantin, namun egonya mencegatnya.

Sebelum duduk, terlebih dahulu Rino pergi untuk memesan makanan yang selalu menjadi santapan mereka berdua tanpa diperintah lagi.

"Anin mana yah?" Tanya Valin entah untuk yang keberapa kalinya, namun tak ada yang ingin menjawab.

Mata Valin menatap Tofan penuh selidik membuat Tofan akhirnya risih juga.

"Apaan."

"Anin mana? Gak lo buang ditengah jalan kan?"

"Tau." Jawabnya cuek.

Rino datang membawa pesanan mereka dan langsung diletakkan didepan Tofan. Tofan hanya memandang makanan tersebut tanpa minat. Pikirannya dipenuhi oleh Anin, apakah gadis itu tidak lapar hingga saat jam istirahat hanya perpus yang menjadi tujuannya. Bagaimana jika ia kelaparan namun tidak ingin pergi untuk membeli makanan, apakah ia akan memakan novel-novel yang berjejer di perpus?

Sama halnya dengan Tofan, Shone dan Sherin juga ikut memandangi makanan mereka dengan lesu, seakan-akan jika ditatap seperti itu makanan tersebut akan masuk sendiri ke dalam lambung mereka. Baiklah, Anin benar-benar telah mengganggu pikiran ketiga remaja ini.

Sedangkan Valin dan Rino yang tidak tau menau tentang apapun hanya saling bertukar pandang. Mereka sama-sama merasakan aura yang mencekam di meja tersebut. Maka Valin lebih memilih berkutat bersama mie ayam yang telah ia pesan, begitu pula dengan Rino.

Makanan Tofan sama sekali tidak berkurang, sejak tadi ia hanya mengaduk-aduk makanan tersebut tanpa melahapnya. Sedangkan makanan Shone dan Sherin telah berkurang walau sedikit.

Dengan geram Tofan mengacak rambutnya frustasi dan mendapat tatapan horor dari keempat orang yang tengah bersamanya. segera ia berdiri dari duduknya dan pergi entah kemana.

Keheningan masih terjadi di meja tersebut sampai akhirnya Tofan kembali membawa sekantong plastik putih dan sebotol air mineral.

"Gue pinjem Valin." Ujarnya sambil menarik pergelangan Valin untuk berdiri, Shone hanya mengangguk meng-iyakan.

"Eh eh jangan pegang-pegang. Lo mau liat Shone ngamuk?" Tukas Valin seraya menepis tangan Tofan.

"Lo marah Valin gue tarik gini?" Tanya Tofan pada Shone dan Shone menggeleng.

"Bawa gih bawa." Usir Shone cuek.

Valin mengubah wajahnya menjadi sedih, ralat, sok sedih. Lalu menatap Shone dengan tatapan merengek namun sama sekali tidak mempengaruhi pria itu.

"Bantuin Tofan bentar, Lin." Ujar Shone akhirnya membujuk Valin.

Sebenarnya Shone mengerti apa yang ada dipikiran Tofan saat ini, secuek apapun sikap Tofan sekarang, ia tidak akan bisa berhenti untuk peduli pada Anin.

Pretty LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang