Perut Shone terasa begitu nyeri saat mendengarkan cerita dari Anin yang tadi dihukum oleh guru matematika karena membuat kegaduhan di dalam kelas saat guru itu tengah menjelaskan materinya. Shone terus memegangi perutnya sambil terpingkal-pingkal di atas karpet lembut dan tebal yang ada di ruang keluarga.
Anin hanya memandangi sepupunya itu dengan ekspresi datar namun sorot mata yang tajamnya melebihi silet.
Anin menceritakan bagaimana dirinya dan Sherin dipermalukan di hadapan teman-teman sekelasnya sebelum akhirnya mereka berdua di suruh meninggalkan pelajaran Ibu Hani saat itu. Anin yang mendapat bentakan dari Bu Hani hanya bisa diam tanpa merubah ekspresinya.
"Masa gitu? Lo disuruh nikah aja hahaha. Nikah noh sama Tofan, gak usah sekolah." Shone tidak bisa menghentikan gelak tawanya. Padahal menurut Anin itu adalah hal yang sangat tidak patut untuk ditertawakan.
Gadis itu mulai berfikir. Haruskah dia juga menceritakan semua yang terjadi di taman belakang sekolah kepada Shone?
Sekaku-kakunya Anin untuk berbicara, dia tidak akan bisa menyembunyikan cerita apapun dari sepupu kesayangannya itu. Karena memang Shone lah satu-satunya orang yang selama ini menjadi tempat Anin menumpahkan segala keluh kesahnya.
"Diem. Gue masih ada cerita." Ujar Anin dingin.
Shone dengan susah payah meredakan tawanya sambil masih memegangi perutnya yang mulai keram. "Sejak kapan lo jadi suka nge-dongeng gini?"
Dengan tatapan nan tajam, Anin menghela nafasnya. Biarkan saja Shone menertawainya, jika itu membuat pria itu bahagia maka Anin dengan rela menjadikan dirinya bahan tertawaan hanya untuk sepupunya itu.
"Tofan, untuk yang kedua kalinya.. emm.. pipi gue.. ck! Gue.. gue.. di-"
"Dicium Tofan." Dengan segera Shone menyelak ucapan Anin yang terbata-bata.
Anin membelalakkan matanya. "Tau?"
Shone menaik turunkan alisnya lalu naik ke atas sofa untuk duduk di samping Anin yang tengah bersila kaki. "Gue cenayang."
Sekali lagi tawa shone pecah melihat pipi Anin kini merona merah. Namun gadis itu masih dengan egonya yang tinggi untuk menutupi bahwa semburat merah itu bukan karena malu.
Anin menarik nafas lalu menghembusnya perlahan. Kemudian ia kembali menceritakan semuanya dari awal, dimana saat Tio datang memeluknya secara sepihak yang tidak dibalas oleh Anin.
Sebagai penyimak yang budiman, Shone manggut-manggut paham.
"Terus, Tofan, mau ngajak gue jalan." Ucap Anin sangsi.
Shone menaikkan sebelah alisnya. "kapan?"
Anin melirik ke arah jam yang menempel erat di dinding yang berada di atas televisi. "Kira-kira dua jam lagi.
"Terus lo nggak tidur siang dulu? Tidur dulu deh sejam aja. Gak boleh pergi kalau gak tidur." Ucap Shone memperingati.
Tanpa berkata-kata lagi Anin membaringkan tubuhnya di sofa tersebut. Kepalanya ia letakkan di pangkuan Shone senyaman mungkin, lalu mencoba memejamkan matanya.
"Jangan tinggalin gue, bang." Gumam Anin sebelum ia benar-benar tertidur di pangkuan Shone.
Shone tersenyum penuh arti. Tangannya terulur mengusap-usap puncak kepala Anin guna memberikan sedikit kenyamanan.
**
"Yakin gak mau dianterin? Di luar mendung loh." Tanya Shone meyakinkan.
Anin hanya menggelengkan kepalanya seraya memakai sepatu putihnya.
Sore itu Anin akan pergi bersama Tofan, entah kemana Anin tidak tau. Sebenarnya bisa saja Tofan menjemputnya, namun Anin bersikukuh tidak ingin di jemput. Katanya biar mereka bertemu saja di taman dekat rumah Anin, hitung-hitung menikmati udara segar di sore hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Teen Fiction"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.