Sherin yang sedari tadi ingin bertanya ada apa dengan Anin hanya bisa mengurungkan niatnya ketika gadis itu langsung berdiri saat guru yang telah selesai mengajar sudah keluar.
Langkahnya begitu lemah dan tatapannya kosong. Sherin mengikuti Anin dari belakang tanpa suara. Ia tau mood sahabatnya itu sedang tidak bagus kala ini maka Sherin sebagai sahabat yang baik hanya bisa tutup mulut dan terus mengawasi Anin yang berjalan menuju taman halaman belakang sekolah.
Langkah Anin terhenti saat baru akan menginjakkan kakinya di rerumputan taman tersebut, otomatis langkah Sherin juga ikut terhenti.
"Gue mau sendiri, Rin." Ujar Anin tanpa berbalik dan melanjutkan langkahnya.
Sherin menatap punggung lemah itu dari belakang. Ia mengerti seberapa bimbangnya Anin saat ini yang dihadapkan dua pilihan mengenai perasaannya.
Untuk menuruti permintaan Anin, Sherin akhirnya berbalik badan namun harus terlonjak kaget saat sudah mendapati Tofan, Rino, Shone dan Valin ada dihadapannya. Yang membuatnya heran adalah, ada Valin yang sudah menggunakan seragam yang sama dengannya.
"Valin lo udah masuk? Di kelas mana?" Tanya Sherin membuka percakapan.
"Sekelas sama gue. Tenang aja gue gak akan macam-macam dibelakang lo." Alih-alih Valin yang menjawab, justru Rino lah yang berceletuk membuat mata Sherin berputar.
"Anin kenapa, Rin?" Tanya Shone sambil melihat Anin yang tengah terduduk di bangku taman sendirian.
Bukannya langsung menjawab, Sherin malah melirik ke arah genggaman Shone dan Valin yang begitu erat. Sampai akhirnya ia kembali mengambil fokusnya dan menjawab pertanyaan Shone.
"Gak tau, dari pertama masuk kelas udah kaya gak mood gitu."
Tofan menghela nafasnya lalu akhirnya melangkahkan kakinya untuk menyusul Anin, hingga suara Sherin kembali menghentikan langkahnya sesaat.
"Dia mau sendiri katanya, Fan."
Tofan tidak mempedulikannya. Dia harus berada disamping gadis itu sekarang juga, bukan malah membiarkannya sendiri tenggelam bersama fikiran yang mengganggunya. Lagipula, Anin pernah memintanya untuk selalu ada bersamanya. Dan saat ini Tofan akan menuruti permintaan gadis itu.
Langkahnya semakin dekat pada bangku yang diduduki Anin. Sesaat ia berhenti tepat dibelakangnya hanya untuk menarik nafas sekali lalu beranjak duduk di samping Anin.
Anin menoleh dengan tatapan sendunya, membuat hati Tofan sedikit sesak. Mata itu, mata yang selalu memancarkan sorot tajam padanya sekarang menjadi sorot mata yang lemah dan begitu menyedihkan.
"Gue mau sen-"
"Gue gak akan biarin lo sendiri." Tofan menggeleng seraya mengusap sebelah mata Anin dengan lembut. Persis dengan yang dilakukan Tio saat di uks.
"Lo ingat saat lo bilang gue harus selalu ada buat lo? Kenapa sekarang lo malah nolak gue ada di sini?"
Anin tidak menjawab, ia hanya menatap manik Tofan yang memancarkan pengharapan di sana. Sedangkan dalam manik matanya sendiri dapat Tofan lihat bahwa ada keputus-asaan dari tatapan Anin. Ada rasa ingin menyerah di sana.
Tofan tersenyum tulus lalu merangkum tubuh mungil itu dalam dekapannya. "Jangan kaya gini. Gue gak suka liat lo sedih, gue sayang lo, Anin." Bisik Tofan lembut tepat ditelinga kanan Anin.
Anin langsung mengalungkan tangannya di leher Tofan dan semakin menenggelamkan wajahnya pada lekukan leher Tofan, membalas pelukan itu saat ini mungkin bisa membuatnya lebih tenang, pikirnya.
Saling mendekap seperti ini membuat kehangatan dalam diri Tofan menyebar begitu saja tanpa arah, bibirnya menyunggingkan seulas senyum tulus seraya mengusap lembut punggung Anin. Saat pelukannya terbalaskan, Tofan sangat yakin bahwa Anin kembali larut dalam kebimbangannya hingga dia juga kembali mengeluarkan cairan beningnya yang begitu berharga menurut Tofan. Anin kembali menangis, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Lies
Novela Juvenil"Terus saja memaksaku merebut hatimu. Namun ternyata, perjuanganku hanya luka baru bagimu." -Tofan.