Kerja Lembur (1)

696 26 0
                                    

Bab 36 - Kerja Lembur (1)

(Cheryl)

Rasanya sudah lama sejak terakhir kami bicara soal "anak dan masa depan". Aku tidak ingin banyak mengeluh soal mengapa Nathan masih ingin menunda dan meski aku juga menyetujuinya, ada terbesit di dalam diriku keinginan untuk membujuk Nathan.

Maksudku dia bahkan belum mengatakan dengan jelas kenapa dia ingin menunda.

Kalau dia mengeluh soal jam kerja kami, ya ... aktivitas kami bisa disebut sangat padat. Hari kerja kami dimulai pada pagi hari sampai pukul empat sore hari. Kecuali Nathan, yang kadang mengambil jam lembur dan bisa pulang sampai hampir tengah malam. Andai hamil nanti atau pun pasca melahirkan, aku mau melepas pekerjaan guruku sementara waktu untuk fokus mengurusi anak.

Lalu apa yang Nathan khawatirkan?

Mataku melirik pada sosok Nathan yang sedang mencuci piring di dapur, di saat yang sama ketika aku duduk di ruang tengah. Bermesraan bersama laptopku dan beberapa berkas penilaian siswa yang berserakan di sofa.

Bagaimana pun aku memikirkan alasan Nathan, sebenarnya lelaki itu sungguh baik sekali ketika menjadi suami. Aku tidak ingin terlalu memuji Nathan, nanti dia malah terlalu percaya diri dan meledekku.

Namun sungguh, selama selang hampir enam bulan pernikahan kami, aku lega Nathan bahkan mau membantu beberapa pekerjaan rumah meski dengan pekerjaan kantornya yang bisa dibilang tidak sedikit.

Aku dan Nathan memang sudah lama bersepakat pada pembagian tugas di rumah. Pertama, Nathan bertugas mencuci pakaian tiap akhir pekan dan aku membersihkan rumah. Kedua, setiap malam kami bergantian menjadi yang bertugas memasak makan malam dan mencuci piring. Dan kebetulan malam ini adalah giliran Nathan mencuci piring, sementara aku sudah sejak setengah jam tadi, berkutat pada laptopku untuk menyelesaikan pekerjaan di sekolah yang belum terselesaikan.

Untuk besok setidaknya, aku sudah harus mempersiapkan pembahasan soal kuis dan ulangan harian untuk 3 kelas sekaligus. Ada pula data-data nilai murid yang belum kumasukkan semua. Aku harus menyelesaikan ini semua sebelum ada pendataan nilai dan tenggatnya besok pula.

Aku akan mengakui kalau aku termasuk orang yang ceroboh dan agak malas dalam bekerja. Hanya saja sejak menikah, terutama setiap malam, tubuhku terbagi menjadi 2 plilihan. Berada di atas ranjang bersama suami, atau di ruang tengah sembari mengerjakan pekerjaan yang belum selesai. Dan jika kau berada di posisiku posisiku, apa kau bisa menolak godaan Nathan? Godaan yang luar biasa begitu membutakan sampai dia selalu sukses merayuku hingga berakhir dalam pelukannya.

Entah aku yang tak bisa menolaknya atau dia yang terlalu pandai memancing gairahku. Apa pun itu jujur saja aku senang dengan perhatiannya. Aku menikmati sentuhan lembutnya di tubuhku. Dia selalu berhasil merayuku dan membuatku berakhir kelelahan, hampir tak berpakaian dalam beberapa malam. Hanya saja, untuk malam ini saja, aku harus menolak rayuan itu.

"Kau sibuk sekali," bisik Nathan mengambil posisi duduk di sampingku, di atas sofa setelah selesai dengan tugas mencuci piringnya. "Apa layar laptop itu lebih menarik dari pada suamimu?" sindirnya tanpa peringatan sudah mengalungkan lengannya di pinggulku dari belakang.

Aku hampir memekik kaget ketika merasakan kedua lengan lelaki itu dengan jahilnya mengelus perutku dari balik bajuku, "Nath! Jangan begitu! Aku harus menyelesaikan ini besok!"

Bukan Nathan namanya jika dia mengabaikan peringatanku, dan sebelum bisa kucegah, dia lalu melorotkan pelan kaos yang kupakai hingga membuat bahuku menjadi sasaran kecupan lembutnya. Dia menyingkirkan rambut coklatku yang menyembunyikan bagian tubuhku yang menjadi favoritnya.

"Nath!" sahutku ketika kurasakan tekuk leherku mendapat gigitan kecil nan gemas darinya. Sentuhan yang selalu berhasil membuatku menegang seketika dan membuatku tak berkutik selain meremas tepian sofa.

Aku berusaha tak mengeluarkan suara, terutama ketika tangan nakalnya tak henti memancingku di bagian-bagian sensitifku.

Dia membuatku terbakar dan tenggelam dalam kabut nafsu. Napasku sudah dibuat terengah-engah ketika dia sukses membalikku tubuhku menghadapnya dan mengangkatku begitu ringannya, untuk jatuh ke pangkuannya. Terkunci dalam dekapannya, terperangkap dalam pesonanya sekali lagi.

Meninggalkan laptop terbuka dan semua berkas yang tertinggal.

Aku ingin mengomelinya sebelum ia bertindak terlalu jauh, namun dia terlalu cepat, Tuhan. Dia terlalu cepat dan membungkam bibirku dalam satu raup. Aku tidak ingin menjelaskannya dengan rinci, tetapi sungguh ... hanya ciumannya saja membuatku meleleh. Tubuhku melunglai dan malah mengikuti permainan bibirnya.

Napas hangat kami menyapu wajah satu sama lain dan aroma mint dari mulutnya membuatku mabuk. Membuatku tersenyum, dia tahu aku suka menciumnya setelah selesai menyikat gigi.

Ketika bibir kami melepas satu sama lain, kami akhirnya bisa bernapas dan saling mengunci tatapan. Kening yang menyatu denganku dan ujung hidung kami yang saling menggelitik.

Kemudian tangan jahil lelaki ini mulai menyingkap ke dalam kaosku.

Aku mendesis tak nyaman, "Nath, kumohon, bisakah kita melakukannya nanti saja?" Kedua mataku terpejam, menahan hasrat kala kecupan lembutnya mendarat di pundakku yang sudah terekspos setelah dia tadi melorotkannya.

"Apa kau harus bekerja?" Detik selanjutnya Nathan berhenti dan menenggelamkan wajahnya di antara perempatan pundak dan leherku. Membuatku kembali terbakar dan merintih ketika merasakan gigitan kecilnya memberi jejak di kulitku. Kurasa aku akan pingsan jika tidak berpegangan padanya.

Tuhan, dia begitu ahli memperdayaiku.

Aku berusaha mengatur napas sembari memfokuskan pikiranku pada pekerjaanku yang belum selesai, "Aku sudah bilang, 'kan? Aku suka mengajar."

Nathan kemudian bergerak menoleh padaku, "Iya aku tahu," katanya merengek dengan nada yang lebih memelas, "hanya saja, aku tidak tega melihatmu bekerja selarut ini, kau itu guru, Cher. Bukan pegawai kantor."

Aku terkikik geli mendengar suaranya menyembunyikan maksud keinginannya. Aku tahu dia ingin meniduriku, tetapi dia juga tak ingin memaksaku ketika aku tak menginginkannya. "Aku tidak apa-apa. Nathan tidur saja dulu, aku akan menyusul ke kamar," kataku sebelum kami nanti akan berdebat dan berakhir ditidurinya.

Nathan diam sebentar dan mengecup ringan kulit pundakku, "Jangan terlalu larut," ujarnya masih enggan melepas pelukannya di pinggulku, "aku tidak ingin kau sakit karena ini."

Aku mengangguk pelan dan bernapas lega ketika dia menurunkanku dari pangkuannya. Dia memandangku dan beralih pada setumpuk pekerjaan yang tersisa di atas sofa dan meja di sampingku. Lelaki itu menghela napas lalu mulai berjalan menuju pintu kamar, dan menghilang di baliknya.

Ketika sosoknya menghilang, tanpa sadar aku menyentuh bibirku sendiri dan bekas gigitan yang ia berikan di kulit leherku. Astaga, aku hampir saja jatuh dalam pesonanya tadi! Tubuhku bahkan masih meremang hebat ketika kembali mengikuti jejak sentuhannya yang membuatku lumpuh.

Untung dia mengizinkanku kali ini, kalau tidak dia pasti sudah menyeretku kembali ke tempat tidur untuk mendapat "jatah"-nya.

Kuperbaiki posisi kaosku yang awut-awutan bekas percintaan singkat tadi, dan kuikat rambutku menjadi satu bundel. Baiklah, sekarang aku bisa konsentrasi. Semuanya harus selesai malam ini, bahkan jika harus bergadang sekalipun.

***

Vote dan komen lah apabila karya tulis saya pantas untuk mendapat dukungan 😉

Continue

Once Twice Trice (TAMAT) | 1.4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang