Sedikit Bersabar

1.1K 51 5
                                    

Bab 3 – Sedikit Bersabar

(Cheryl)

Aku bangun besok paginya dengan perasaan yang tak pernah seburuk ini. Mengingat bagaimana malunya diriku saat makan malam. Serta penolakan ayahku yang kasar. Oh ya, aku berusaha untuk tetap menjalani aktivitas pagiku dengan normal. Mandi, sarapan, lalu mencuci piring. Aku tak banyak bicara sepanjang pagi itu terutama kepada ayahku yang sepertinya sama keras kepalanya.

 Aku tak banyak bicara sepanjang pagi itu terutama kepada ayahku yang sepertinya sama keras kepalanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Membuatku bingung harus bagaimana membujuk orang tua yang satu ini.

“Ibu tahu, kamu marah ayahmu soal malam kemarin,” kata beliau berdiri di sampingku, membantuku mengelap piring basah yang kucuci di wastafel. “Ayahmu hanya sedang banyak pikiran apalagi dengan mempersiapkan pernikahan Tante Lucy. Kalau tiba-tiba mendapat kabar anaknya juga akan menikah tentu saja Ayahmu panik. Kau tahu, ‘kan? Sifat posesifnya itu seperti apa?”

Aku membersihkan beberapa piring kotor lainnya dengan senyuman miris. Sifat posesif ayahku itu sudah melebihi seorang kekasih.

“Aku tahu kok, Bu,” kataku merasa sedikit bersalah sempat menggerutu akan hal itu, “hanya saja Ayah sudah kelewatan dramatisasinya! Ini malah nyuruh lepas cincin! Tepat di depan Nathan pula?! Gimana nggak malu coba, Bu?”

Brakkkk!!!

Tiba-tiba ayahku muncul membungkam pembicaraan kami dengan meletakkan sebuah gelas saking kerasnya di atas wastafel, “Kalau sudah begitu, harusnya kamu peka sedikit dan membatalkan lamaran itu,” tukas ayah melirikku tajam.

“Steve, jangan begitu pada putrimu,” kata ibu.

Ayah tetap bersikeras, “Paige, jangan bela Cheryl sekarang. Jika menurutku dia belum siap, maka dia belum siap!” Tiba-tiba telunjuk ayah mengarah padaku, “ Dan kalian masih belum tahu soal apa-apa soal menikah malah kebelet pengen nikah! Mungkin saja si Nathan itu hanya melihatmu karena nafsu! Sudahi saja! Kalian belum mendapat restuku! Hmph!”

Orang tua itu langsung memalingkan muka dan pergi dari dapur. Untung tadi Daryl mengajak Nathan untuk jalan-jalan pagi sebentar, karena jika dia mendengar perkataan ayahku, pasti mentalnya turun lagi. Kalau sudah begini aku jadi galau sendiri mau membujuk ayahku seperti apa.

“Cheryl,” panggil ibuku lembut, “bersabar saja sedikit lagi.”

Ah, rasanya ingin menangis saja. Padahal selama ini aku berusaha menjadi putri yang sebaik mungkin untuk kedua orangtuaku. Aku tidak mengerti salahku di mana. Aku hanya ingin menikah dengan laki-laki yang kucintai setelah sekian lama. Apakah itu salah?

“Kamu dengar tidak ayahmu bilang apa tadi?” tanya ibuku dengan seringai menggoda.

“Iya, beliau nggak mau menerima Nathanku jadi menantu!” kataku mengerucutkan bibir.

Wanita paruh baya itu terkekeh, “Ayahmu bilang dia ‘belum’ merestui kalian kok. Berarti dia masih mempertimbangkan keputusanmu. Beliau hanya masih belum mengenal calon suamimu. Bersabarlah dan sedikit-dikit bujuk dia. Ayahmu sangat menyayangimu, Cher. Pasti dia memikirkan yang terbaik untukmu.”

Aku membenarkan ucapan itu. Ayahku selalu menginginkan yang terbaik untukku.

Aku ingat, waktu kelas 3 dulu mengadakan acara drama kelas sebagai tradisi merayakan ulang tahun sekolah. Aku kebetulan turut serta sebagai pemeran “bunga yang bernyayi”. Tahun itu juga tepat saat Daryl lahir. Ibu masih harus di rumah sakit, dan di sini kami tidak mempunyai kerabat dekat.

Jadi, kupikir … ayah pasti akan menemani ibuku di rumah sakit dan dengan begitu, tidak akan ada yang datang melihat pertunjukan drama kelasku.

Namun, beliau ternyata datang. Bersama sebuah handycam di tangan kanan, beliau melambai dari kursi penonton. Aku tidak akkan pernah lupa bagaimana senyumannya saat itu. Ayah selalu ada di setiap momen kecil hidupku. Baik senang maupun sedih.

Aku ingat, ketika memutuskan kuliah di luar kota, ayah sangat marah sama seperti sekarang. Aku dan ayah bertengkar berhari-hari. Aku saat itu benar-benar marah dengan ayah yang kelewat posesifnya. Dengan sedikit bujukan ibu, ayah akhirnya luluh dan terpaksa mengizinkanku.

“Aku tahu,” kataku tersenyum dan memandang ibuku. Merasa lebih bersyukur karena beliau selalu mendukungku, “aku akan bersabar.”

Sama seperti sebelumnya, nasihat ibu yang menjadi peganganku agar tetap kuat.

***

Vote dan komen lah apabila karya tulis saya pantas untuk mendapat dukungan 😉

Once Twice Trice (TAMAT) | 1.4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang