Bagaimana Kalau Sekarang?

515 17 0
                                    

Bab 52 - Bagaimana Kalau Sekarang?

(Cheryl)

"Bagaimana kalau kita mempunyai anak?" potong Nathan segera seolah sedang mencari macam-macam alasan untuk mengajakku ke dalam permainannya. Permainannya agar sukses meniduriku.

Aku menggeleng, "Berhentilah bercanda, Nath."

Lelaki itu ikut menggeleng dan memejamkan kedua matanya, "Aku ... tidak ingin menundanya lagi," ujarnya lalu menggodaku tubuhku lagi. Membelainya lembut sampai pada kancing bajuku yang masih memberi jarak akan hasratnya yang masih ditahan.

Sejujurnya aku terkejut dengan permintaannya yang tiba-tiba. Namun, kami memang sudah menundanya beberapa bulan dan Nathan tidak pernah memberitahu kapan dia siap atau alasan sebenarnya kenapa dia menunda. Maka dari itu aku terus menunggunya sampai Nathan akan memintanya lagi. Aku tidak menyangka sekarang adalah saatnya.

Aku menyentuh rahangnya dan mengusapnya lembut seolah dia adalah kesayanganku, "Nathan, kau yakin? Aku tidak ingin memaksamu kalau kau tidak ingin ... maksudku, kau tahu, 'kan? ...."

"Maaf aku tidak memberitahumu," katanya mengusap wajahku. Mengecup keningku cukup lama untuk mengumpulkan keberanian selanjutnya.

"Memberitahuku apa?" tanyaku masih dengan suara lemah.

"Jantungku," katanya membuat kedua mataku membulat.

"A-ada apa? Sakit lagi, ya?" Kecemasanku tak bisa bersembunyi ketika mendengar Nathan mengungkit soal jantungnya lagi.

Lelaki itu tersenyum masam dan menggeleng. "Jantungku adalah cacat turunan, Cher. Aku mendapat ini dari ibuku dan ... meski kemungkinannya 50 persen ... aku takut ... kalau ... anak kita, akan mendapat jantung yang sama."

Kedua mataku memanas mendengar penjelasannya. Dadaku bergemuruh sesak seolah ingin meledak ke luar. Rasa sesal dan benciku menguap terganti dengan perasaan sedihku. Nathan selama ini menyembunyikan hal sebesar ini dariku? Dan dia menanggungnya seorang diri?

"Kenapa kamu nggak bilang?" kataku kembali menerima derai air mata yang hangat ini membasahi pipi.

Aku bisa melihat dari sudut ini, Nathan pun sama sedang menahan tangisnya di balik kedua manik abu-abu itu. Tuhan, mengapa dia memendam ini sendirian?

"Aku tidak sanggup kalau anakku dan istriku ... harus merasakan apa yang keluargaku rasakan," katanya melanjutkan. "Mempunyai anak dengan jantung lemah itu tidak mudah, Cher. Ibuku sering menangisiku sehabis operasi dan kita harus memikirkan kondisi tubuhnya. Juga biaya operasi yang mahal. Belum lagi kalau nanti kita merencanakan terapi untuknya ...."

"Tapi kamu nggak bilang sama aku, Nath." Aku menarik kaosnya sebagai pelampiasan kekesalanku. "Kamu menganggap aku apa, Nath? Aku istrimu, 'kan? Apa aku ini orang asing bagimu?"

"Maaf," katanya sekali lagi dan aku terpaksa harus menghembuskan napas panjang. Masih tak percaya dia membuatku pusing dengan semua ini selama berbulan-bulan dan bahkan tak mengatakannya sedikit pun padaku.

Kugigit bibir dan menyentak tubuhku bangkit dari tempat tidur. Memberi jarak antara aku dan Nathan. Ini terlalu menyesakkan dan dia memilih untuk menepisku bagai orang asing. Apa dia ingin aku menjadi istri yang diam dan menurut saja ketika tahu suaminya memiliki masalah yang cukup besar seperti ini?

"Cher, maafkan aku," kata Nathan lagi meraih kedua tanganku dan membuatku tercenung seketika kepala lelaki itu sudah tenggelam di pangkuanku.

"Nathan," kataku mulai mengusap kepalanya dan punggungnya bergetar hebat akibat desakan air matanya yang mulai membasahi pahaku.

"Cher, jangan tinggalkan aku seperti itu lagi," bisiknya masih membaringkan kepalanya di pangkuanku. "Aku butuh kamu, Cher. Aku mau kamu di sisiku untuk menghadapinya. Aku mau kamu, Cher."

Kedua matanya kembali mengeluarkan air mata. Membuatku terdiam, sebab ini pertama kalinya Nathan memperlihatkan sisi lemahnya padaku. Kembali kuusap punggung lelaki ini dan sesekali kutundukkan tubuhku hingga bisa mengecup bahu bergetarnya.

Dia pasti kelelahan karena mencariku kemarin. "Maafkan aku, Nath."

Maaf, sayang. Aku sudah membuatmu kelelahan begini. "Aku akan tinggal bersamamu," kataku mengusap rambut hitamnya dengan penuh kasih. "Aku akan menghadapinya bersamamu. Rasanya sakit, 'kan kalau sendirian? Jadi, kali ini kamu harus tanggung resikonya kalau menikah denganku. Aku tidak akan membiarkanmu menanggunya sendirian."

Kepala Nathan bergerak, hingga kedua mata kami bertemu. Saling mengunci dalam diam. Tak ingin terpejam barang sekali pun. Ketika memikirkannya pun ,ata kami selalu saja saling menarik satu sama lain sejak dulu pertama kali menemukannya. Sejak SMP ketika kami masih malu-malu. Lalu saat kuliah ketika kami saling ragu terhadap perasaan masing-masing. Lalu ketika kami menikah dan meneguhkan perasaan kami.

"Kamu adalah jantungku, Cher," katanya dan membuatku ikut tergerak menunduk, lalu mengecup puncak kepalanya.

"Kau adalah jantungku juga," kataku dan menangkup wajahnya di kedua tanganku. "Kita tidak perlu terburu-buru. Kalau kau tidak siap ...."

Nathan kembali menggeleng, memotong ucapanku, "Aku memang ingin melihat wajah anak yang terlahir dari setengah diriku dan setengah dirimu. Sehat maupun sakit. Aku akan menyayanginya dan menjaganya," Kurasakan kemudian telapak tangan lelaki itu jatuh di perutku, membelainya begitu lembut hingga aku memejamkan mata menahan godaannya yang keterlaluan.

"Aku ingin kau mengandung anakku, sayang," ujarnya.

Aku terdiam mendengar ucapannya. Terdengar seperti sebuah do'a. Kuharap Tuhan akan mengabulkan keinginan kecil ini.

"Kau berhutang 2 minggu padaku. Aku menginginkanmu, Cher."

Oke, aku tidak menyangka dia masih sempat memikirkan itu di saat seperti ini. Nathan langsung bangkit dan merebut bibirku untuk menjadi miliknya seorang. Aku berusaha mendorong lelaki itu menjauh. Tak menyerah, kali ini Nathan nekat menelusuri kancing bajuku dan membukanya perlahan. Aku tahu tak akan sanggup menolaknya.

"Kau curang, apa kau tahu itu?" bisikku mendesis merasakan sentuhannya pada kulitku.

Nathan hanya menyeringai, "Aku suamimu yang curang dan aku berjanji akan merawatmu sampai sembuh," Kepalanya berpindah ke perutku dan mengecupnya begitu lembut, "dan kau harus membantuku membuat proyek si junior ini."

Dia bahkan menyebutnya "proyek junior", lanjutku tersenyum dalam hati.

"Nath," Sekali lagi sebuah kalimat memperingatkannya agar berhenti.

"Apa?" kata lelaki itu tak sabar.

Oh, Tuhan. Hidungku terasa gatal, "Ha ... hatchu!" Suara bersin itu terlepas sampai seberang ruangan.

"Oke, sekarang kau kena flu," ujar Nathan lalu mengambil tisu di nakas untuk menyapu hidungku.

Kami berdua langsung tersentak dan tertawa. "Oh, Tuhan," kataku tak bisa menahan senyum dan bersandar di dada Nathan. Kurasakan lelaki itu mendekapku dan kembali mengusap perutku di balik baju tidur.

Aku menggeleng, "Nath," panggilku lemah.

"Iya, akan kutunggu sampai kamu sembuh," katanya lalu bergerak meraih nampan berisi bubur buatannya. "Lalu kita lanjutkan proyek junior ini." Nathan mengecup pipiku dan kembali membuatku tersenyum.

Dalam hati berjanji, akan memberinya kebahagiaan semampuku, di sepanjang hidup ini. Atas kasih dan cinta yang ia berikan padaku untuk pernikahan ini. Aku tidak ingin dia merasa tersiksa lagi. Dan kuharap Tuhan pula sejalan dengan pemikiranku.

***

Continue

Once Twice Trice (TAMAT) | 1.4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang