Ragu

332 18 0
                                    

Ragu

(Cheryl)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Cheryl)

“Jadi, aku bertanya setelah dia datang, bagaimana rasanya melahirkan anak sapi?” kata Marianne bercerita padaku sembari membantuku mencuci piring di nakas. “Lalu Nathan memberiku wajah aneh ini, seperti wajah orang yang baru diberkati Tuhan dan dia menjawab, Alfred baru saja menamai sapi itu dengan nama Nate. Dari namaku!”

Marianne tertawa lagi dan aku hanya mengulum senyum.

Meski sudah akrab begini, aku sebenarnya sedikit merasa tak enak dengan Marianne. Terutama karena dia adalah kakak Nathan—alias kakak iparku—dan dia tahu soal surat cerai yang kukirim pada adiknya. Lalu ketika dia datang kemari, dia melihat aku sedang mencium Nathan tepat di dalam kandang kuda! Bisa kau bayangkan betapa malu dan canggungnya aku sekarang? Aku merasa seperti wanita aneh yang mempermainkan perasaan adiknya.

Dan rasanya bertambah buruk ketika Marianne mengajakku ngobrol seperti ini, seolah yang kemarin itu tidak terjadi apa-apa.

“Ngomong-ngomong kenapa kamu tiba-tiba ingin ke rumah sakit?” tanya Marianne mengalihkan pembicaraan.

Aku mengelap piring basah itu dengan ragu, “Aku hanya … ingin konsultasi.”

“Konsultasi apa?”

“Konsultasi biasa.”

Marianne diam.

“Aku serius!” jawabku.

“Ada apa sebenarnya, Cher?” tanya Marianne lebih menuntutku untuk menjawab dengan jelas.

Aku menghela napas dan mengelus perutku sendiri yang sudah membulat sebesar buah semangka. “Kadang-kadang ketika bayinya menendang, aku mulai merasa nyeri di sini. Kau tahu? Nyeri seperti ketika menstruasi.”

“Apa Nathan tahu?” tanya Marianne lagi.

Aku menggeleng, “Aku mulai mengalaminya ketika memasuki minggu ke 30.”

Marianne menghela napas, “Kau bilang kemarin dia masih ayah anak itu, ‘kan? Lalu sekarang?” Wanita itu mengangkat bahu dan menatapku bertanya-tanya.

“Marianne, ada banyak hal yang lebih penting dibanding Nathan harus repot-repot mencemaskanku,” kataku merasa tercekik dengan kata-kataku sendiri. “Jangan bilang aku tidak tahu, oke? Aku tahu apa yang sudah Nathan korbankan hanya untuk menemuiku. Dia meninggalkan kota. Dia meninggalkan semua pekerjaan pentingnya di sana … hanya untuk menjemput istrinya yang cengeng dan sedang hamil tua!”

Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian memejamkan mata sebentar. Oh Tuhan, hormonku kembali membara bersama emosi. Bagus sekali. Sekarang aku adalah wanita yang memarahi kakak iparnya sendiri tanpa alasan.

“Maaf, aku memang menyebalkan ketika hamil,” kataku menghela napas perlahan lalu memilih duduk di meja makan dan mengistirahatkan tubuhku yang baru saja berdiri selama 20 menit.

Once Twice Trice (TAMAT) | 1.4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang