Chapter 01

134 9 0
                                    

"Eh, sorry. Di sini kosong?"

Seorang murid laki-laki berdiri tegap tepat di samping Rendy yang sedang tertidur merebahkan kepalanya di atas meja. Rendy langsung membuka mata dan memberinya jalan untuk duduk di samping.

"Kosong. Duduk aja." jawab Rendy.

"Oh, iya. Kenalin. Gue Danu." sambil mengajak Rendy berjabat tangan lalu duduk di samping Rendy.

"Rendy."

Hari ini adalah hari pertama di mana Rendy dan teman-temannya resmi memakai seragam putih abu-abu. Tapi, memang sudah sifatnya yang cuek dan pasif membuat dia malas untuk berkenalan dengan teman-teman sekelasnya. Rendy hanya duduk sambil merebahkan kepalanya di atas meja. Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Rendy bangkit dari tempat duduknya dan beranjak pergi meninggalkan Danu.

"Eh, mau ke mana lo?" Danu bertanya seraya memegang lengan Rendy.

"Toilet. Biar gak kebelet pas belajar. Mau megangin punya gue?"

"Idih, najis banget lo. Ya udah sana."

Rendy berjalan perlahan keluar dari kelasnya menuju toilet pria yang tak jauh dari kelasnya. Setelah keluar dari toilet, dia melihat ke arah gerbang sekolah. Karena penasaran, Rendy memberanikah diri untuk turun melihat. Padahal dia sendiri tahu bahwa guru yang akan mengajar sudah berjalan menuju kelasnya.

"Pak! Tolong buka gerbangnya! Saya cuma terlambat sekian detik aja!"

Suara teriakan dari murid perempuan berhijab putih yang terlambat dari luar gerbang terdengar oleh Rendy yang sedang berjalan menghampiri gerbang sekolah. Perlahan suara itu menghilang, tetapi perempuan itu masih berdiri menutup wajahnya yang sedang menangis kebingungan.

"Astaghfirullah!" perempuan itu kaget karena Rendy memegang bahunya secara diam-diam.

"Ngapain lo nangis di situ?" tanya Rendy.

"Pake nanya lagi! Gue dikunciin gak boleh masuk gara-gara telat!"

"Siapa suruh telat?"

"Ngeselin amat sih. Udah sana pergi lo!" bentak perempuan itu kepada Rendy.

"Bener nih? Gak mau dibantuin?"

Perempuan itu masih berdiri mematung sambil menutupi wajahnya yang basah karena air matanya. Dia hanya bisa diam dalam isak tangisnya yang tak kunjung henti. Rendy berbalik arah bersiap meninggalkan gerbang sekolah yang sudah terkunci rapat.

"Sekarang, lo pergi ke gerbang belakang sekolah. Gue tungguin di sana kalau memang mau dibantu. Lima menit lo gak datang, gue naik ke kelas." ucap Rendy lalu pergi meninggalkan perempuan itu.

Tanpa pikir panjang, perempuan itu berlari-lari kecil menuju gerbang belakang sekolah. Di sana sudah ada Rendy yang menunggu berdiri di depan gerbang belakang sekolah yang tepatnya berada di samping Masjid sekolah.

"Tas lo sini." Rendy mengulurkan tangannya dari bawah kolong pagar lalu mengambilnya. "Sekarang, lo panjat pagarnya. Cepetan, sebelum ada guru datang!"

"Manjat?" perempuan itu bertanya sedikit kaget.

Perempuan itu sudah tidak punya pilihan lain. Akhirnya dia lebih memilih memanjat pagar gerbang itu yang tingginya kurang lebih lima meter. Tapi, ada keraguan yang terpancar dari raut wajahnya. Sesekali dia melirik Rendy yang sedang melihatnya bersiap memanjat pagar.

"Ngapain lo liatin gue? Mau ngintip? Ngadep sana!" perempuan itu menyuruh Rendy untuk melihat ke arah sebaliknya.

"Lo buta? Gue pakai rok!"

"Iya iya." ucap Rendy seraya membalikkan tubuhnya.

Rendy sesekali melihat jam tangannya. Sudah lebih dari ima menit, tetapi perempuan itu belum juga berhasil memanjat pagar. Rendy pun gelisah karena sudah pasti dia akan mendapatkan siraman rohani dari sang guru mata pelajaran pertamanya.

"Aduh.. Aduh!" perempuan itu menjerit.

"Kenapa sih?"

"Rok gue nyangkut! Ngadep sana!" bentak perempuan itu.

"Hah?"

Rendy tak sengaja menoleh ke arah perempuan itu. Tapi, nasib sial bagi keduanya. Perempuan itu terjatuh tepat menindih tubuh Rendy. Alhasil keduanya terjatuh ke tanah dan meringis kesakitan. Rendy pun bangkit dan membersihkan debu-debu yang menempel di kemejanya. Sedangkan murid perempuan berhijab putih itu masih duduk kesakitan dengan sedikit mengeluarkan air mata.

"Aduh, sakit!" perempuan itu meringis menahan sakit.

"Lo gimana sih!" keluh Rendy.

"Lo yang gimana! Sempat-sempatnya lo ngintip celana dalam gue!" bentak perempuan itu.

"Dih, siapa yang ngintip! Udah dibantuin bukannya terima kasih malah marah-marah! Bodo amat! Gue balik dulu ke kelas!" Rendy berjalan meninggalkan perempuan itu sendirian dan melambaikan tangan. "­Bye!"

Rendy berjalan dengan tergesa-gesa menuju kelasnya. Menaiki anak tangga satu persatu dari lantai dasar menuju lantai tiga sekolah ini. Dan benar saja, sudah ada guru yang sedang mengajar. Rendy mengetuk pintu lalu izin untuk masuk ke dalam kelasnya.

"Permisi, Pak."

"Dari mana kamu?" tanya guru itu sambil memegang buku pelajaran yang ada di atas telapak tangannya.

"Toilet, Pak."

"Lama amat."

"Mules, Pak."

"Ya udah sana duduk."

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki menderu di koridor depan kelas Rendy. Semua mata tertuju pada murid perempuan berhijab putih yang sedang berlari tergesa-gesa dan masuk ke dalam kelas. Bukan kelas tetangga sebelah, tetapi kelas yang ditempati Rendy dan Danu.

"Haduh! Ini siapa lagi!" guru yang sedang mengajar langsung membuka kacamata plus miliknya dan menatap murid perempuan itu dengan napas yang tidak beraturan.

"Ma... Maaf, Pak." kata perempuan itu terbata-bata.

"Kamu terlambat kenapa bisa masuk? Bukannya sudah jelas peraturan sekolah jika terlambat maka murid dipulangkan?" guru itu memberikan pertanyaan jebakan yang sudah pasti serba salah jika dijawab. Jika berkata jujur, hukuman semakin berat. Kalaupun harus berbohong, haruslah masuk akal.

"Saya tadi... Anu pak."

"Anu apa?"

"Saya dhuha dulu, Pak. Sebelum masuk. Iya gitu, pak. Hehehehe." jawab perempuan yang belum diketahui namanya itu.

Rendy menatap perempuan itu dengan tatapan sinis. Lalu, perempuan itu berbalik menatap Rendy seakan tidak percaya jika dia satu kelas dengan lelaki yang paling menyebalkan dalam hidupnya. "Mampus gue." kata-kata yang terucap dari pergerakan bibir perempuan itu.

"Bohong!" guru itu membentak sambil menggebrak meja belajar di depannya dan membuat perempuan itu kaget.

Rendy dengan spontan berdiri, "Bener, Pak. Saya liat kok tadi. Dua belas rakaat loh, Pak."

"Kok kamu tau? Kamu itu mules atau ngintipin dia sholat?" guru itu bertanya keheranan.

"Oh, iya iya. Jadi, kamu yang bohongin saya. Sini kamu!" guru itu memanggil Rendy dan Rendy maju ke depan menghadap sang guru.

"CIEEEE..." sahutan dari murid sekelas mewarnai langkah kaki Rendy menuju sang guru.

"Sekarang, kamu duduk di tempatmu." perintah sang guru kepada perempuan itu. "Kamu!" sambil menunjuk Rendy, "Berdiri disana!" guru itu menunjuk pintu kelas yang terbuka.

Dan sekarang justru Rendy yang kena batunya. Sepertinya memang serba salah membantu perempuan itu. Ujung-ujungnya pasti perempuan itu terlepas dari masalahnya dan masalahnya berpindah tangan.

Burung Kertas Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang