Chapter 46

21 3 0
                                    

"Mama gak mau tau ya! Pokoknya Rendy harus pindah!"

Matahari sudah tenggelam di kala senja. Setelah insiden penyerangan di sekolah, Rendy kembali ke rumahnya lebih cepat. Masih sedikit menahan rasa sakit karena benturan benda tumpul yang mengenai punggungnya. Mama tidak terima atas perlakuan mereka yang menyerang Rendy. Namun, Mama juga sedikit menyalahkan Rendy karena sudah diberi tahu untuk pindah sekolah dari jauh hari.

"Biar aja, Ma. Rendy sudah besar. Biar dia yang menentukan arah hidupnya mau ke mana." ujar Papa membela Rendy.

"Belain aja terus! Dari sebelumnya kan Mama sudah kasih tau untuk gak sekolah di sana!"

"Lagian bukan salah Rendy juga, Ma. Namanya membela diri karena sekolahnya diserang ya wajar aja."

"Papa selalu belain, Rendy!"

"Loh? Papa hanya membela yang benar, Ma!"

Perdebatan antara Papa dan Mama terus berlanjut. Mama memaksakan kehendaknya untuk memindahkan Rendy dari SMA Trinusa yang terkenal bengal dan suka menyulut peperangan kepada sekolah lain. Baru saja, SMA Trinusa diserang oleh sekolah musuhnya, yaitu SMK Karya Bangsa. Letak sekolahnya hanya berjarak dua ratus meter dari SMA Trinusa.

"Ma, aku berantem bukan buat gaya-gayaan. Tapi buat ngelindungin temen-temenku." ujar Rendy.

"Ya tetap aja sekali berantem ya berantem!"

"Cukup, Ma! Mau sampai kapan Mama memaksakan kemauan sendiri tanpa berpikir kemauan anak kita!" Papa mulai marah.

"Kalian berdua sama aja! Kalau memang gak mau nurut sama Mama, gak usah jadi anak Mama!"

"Oh, jadi Mama mau seperti itu? Ya udah." Rendy beranjak dari tempat duduknya lalu naik dan masuk ke dalam kamarnya.

Rendy segera mengambil tas olahraganya yang tergantung di balik pintu kamar, Dengan cepat, Rendy memasukan seluruh pakaiannya ke dalam tas tersebut. Anita yang mendengar dan tahu persoalannya langsung mengambil inisiatif untuk mencegah Rendy pergi dari rumah.

"Loh, Ren. Mau ke mana?" tanya Anita.

"Pergi." ujar Rendy sambil mengemasi barang-barangnya.

"Jangan, Rendy!" Anita menahan tangan Rendy yang sedang mengemasi barang-barangnya.

"Lepasin, ah!"

"Nggak! Dengerin aku dulu!"

"Nggak mau!"

"Rendy! Dengerin aku!" Anita membentak Rendy dengan keras.

"..."

"Kalau kamu pergi, yang ada masalah ini akan semakin panjang, Rendy. Mama kamu cuma emosi aja. Nanti juga reda sendiri. Kasih waktu Mama untuk berpikir." ujar Anita.

"..."

"Oke, gak usah mikirin Mama. Pikirin Papa yang selalu ngebela kamu. Pikirin juga Tasya yang harus kamu jaga. Semua butuh kamu di sini Rendy."

"Siapa? Siapa yang butuh aku, Kak? Aku gak mau jadi anaknya Mama kalau seperti ini."

"Tasya butuh kamu. Papa butuh kamu. Bahkan, aku di sini juga butuh kamu. Cuma kamu yang bisa kasih aku hari-hari yang gak mendatar. Keisengan kamu bikin aku senang ada di sini, Rendy."

"..."

"Sekarang, kamu taruh lagi barang-barang kamu. Kamu tenangin pikiran kamu dulu. Besok, kita jalan-jalan ya. Aku temenin supaya kamu gak jenuh."

"Iya, Kak."

****

Sebuah bulan purnama yang bersinar terang kini telah berganti dengan matahari fajar yang menghangatkan. Langit yang gelap kini berganti menjadi berwarna biru muda. Anita mengajak Rendy ke suatu tempat di mana Anita juga sering menghabiskan waktu di tempat itu. Tempat di mana Anita dan Anna pernah bertemu.

Rendy dan Anita duduk di bangku sebuah taman di antara rumput-rumput yang hijau. Semilir angin pagi berhembus pelan membuat rambut Anita bergoyang. Sesekali Anita mengibaskan rambut panjangnya yang hitam lurus. Anita adalah sosok wanita yang sempurna bagi kaum adam yang melihatnya. Parasnya yang cantik dan lembut membuat semua mata dan hati pasti tertuju padanya.

"Kakak sering ke sini?" tanya Rendy.

"Dulu sih lumayan. Terakhir aku ke sini kapan ya? Waktu aku kesel sama kamu kalau gak salah." jawab Anita.

"Oh iya, aku juga gak sengaja ketemu Anna loh di sini." lanjut Anita.

"Masa sih?"

"Iya, katanya sih Anna gak jauh tinggalnya dari sini." ucap Anita sambil merapihkan rambutnya yang tertiup angin.

Rendy menghela napas panjang seraya menyandarkan kepalanya ke sandaran bangku taman. Menatap langit yang berhiaskan senyawa putih berterbangan dan berbentuk bagaikan kumpulan dari bola-bola kapas. Sesekali burung gereja berterbangan ke sana-sini serta bernyanyi mengikuti irama udara di pagi hari.

"Kamu gak apa-apa, Ren?" tanya Anita.

"Nggak, Kak." jawab Rendy.

"Nggak tau maksudku. Aku bingung." lanjutnya.

"Masalah kamu banyak ya?" tanya Anita kembali.

"..."

"Kamu tau kenapa aku pindah dan memilih tinggal sama kamu?"

"Iya aku tau dari Mama, Kak." jawab Rendy.

"Apa?"

"Karena orang tua kakak sering berantem, kan?"

"Bukan cuma itu. Aku mau cerita tapi kamu jangan cerita ke siapa-siapa termasuk Mama kamu dan Tasya." ujar Anita.

"Iya, Kak. Aku janji."

"Waktu pertama kali Papa dan Mama berantem, aku sedih dan memilih untuk kabur dari rumah. Kurang lebih aku kabur selama 2 bulan lamanya. Aku nyesel banget karena lebih mementingkan emosi ketimbang logika."

"..."

"Dua minggu aku kabur, uangku menipis. Aku cari pinjaman ke mana-mana. Dan akhirnya aku putus asa."

"Terus kakak gimana?" tanya Rendy.

"Aku dapat pekerjaan. Lumayan untuk bayar hutang dan nutupin kebutuhanku."

"Kakak kerja apa?"

"Aku jadi..."

"..."

"Budak seks." ujar Anita dengan lirih.

Tak terasa tiba-tiba saja air mata jatuh membasahi pipi Anita. Sesekali ia menghapusnya namun alirannya lebih deras. Dia tak kuasa menahan rasa sedih dan marahnya ketika bercerita bagaimana dia pada masa lalu.

"Aku terpaksa, Rendy. Aku terpaksa!" ujar Anita dalam tangisnya yang sudah pecah.

"Makanya, sekarang aku putuskan untuk tinggal sama kamu dan keluargamu. Bukan hanya ingin menghindar dari orang tuaku. Tapi juga aku ingin berhenti dari dunia gelapku. Kamu tau gak, aku seneng banget lihat kamu sekeluarga. Makan sama-sama, tertawa sama-sama. Aku iri dengan kamu dan Tasya." lanjutnya.

Rendy meraih tangan Anita dan menggenggamnya. "Kak, sekarang kan Kakak udah ada aku, ada Papa dan Mama, sama Tasya juga. Aku gak pergi ke mana-mana kok, Kak."

"Iya aku tau, Rendy. Itu lah kenapa aku gak mau kamu pergi menuruti emosimu. Karena aku sudah merasakan."

"Masalahku bukan karena Mama sih, Kak. Tapi, ada masalah lain yang mengganjal di hati aku."

"Masalah apa?"

"Masalah..."

Burung Kertas Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang