Chapter 62 (Side Story)

72 3 0
                                    

"Setelah lulus nanti, kamu mau lanjut kuliah di mana, Va?"

Rheva bangkit berdiri, "Aku mau lanjut di UGM, atau UNDIP." ujar Rheva seraya membersihkan tangannya dari kotoran.

"Pamit dulu ya sama Papa." lanjut Rheva.

Saat itu, matahari sedang tinggi-tingginya di atas langit. Ia menatap tepat di atas kepala Rendy dan Rheva. Hari demi hari mereka lalui, tak terasa waktu ujian nasional untuk Rheva sudah selesai. Hanya menunggu pengumuman kelulusan yang menanti Rheva.

Setelah ujian berakhir, Rendy menjemput dan mengantar Rheva ke makam papanya yang memakan waktu tempuh sekitar setengah jam dari sekolah mereka. Tak lupa juga Rheva membersihkan makam papanya sampai rela telapak tangan yang halus menjadi kasar dan kotor terkena tanah.

"Pa, aku sama Rendy pamit ya." ujar Rheva.

"Om tenang aja. Rheva aku jagain. Om yang tenang di sana ya." ujar Rendy.

"Yuk, Ren!" Rheva menggandeng tangan Rendy.

"Ayo."

Mereka berjalan perlahan menyurusi makam menuju tempat di mana motor pabrikan negeri sakura milik Rendy diparkirkan. Setelah sampai di tempat parkir, Rendy segera menyalakan motor yang memiliki dua cabang leher pipa pembuangan yang menempel pada mesinnya. Suara mesin dengan isi silinder dua ratus lima puluh itu mengeluarkan suara yang khas.

"Kamu tahu gak sih, aku sempet ngira ini motornya Rian." ujar Rheva.

"Iya sih mirip."

"Kamu bikin prestasi apa dapet motor kayak gini?" tanya Rheva.

"Mana aku tahu. Tiba-tiba aja pas aku pulang, Papa udah beliin buat aku." jawab Rendy.

Lampu pengatur lalu lintas di sebuah perempatan menyala merah. Semua kendaraan yang patuh akan lalu lintas berhenti tepat di belakang garis stop. Namun, tetap saja ada yang menerobos lampu merah tanpa mempedulikan keselamatan diri. Bahkan, terlihat ada seorang pengendara yang hampir saja tertabrak oleh kendaraan dari arah lain.

"Kamu gak ikutan nerobos, Ren?" tanya Rheva.

"Kalau aku gak sayang sama kamu, udah aku terobos nih." jawab Rendy.

"Sayang sama aku, apa sama motornya?" tanya Rheva sedikit meledek.

"Dua-duanya, Va. Hahahahaha!" jawab Rendy sambil tertawa.

"Hahahahaha... Asal jangan cinta aja sama aku." ujar Rheva.

"Kenapa?"

"Di hati kamu kan cuma ada satu nama yang gak bisa diganti sama siapapun." ujar Rheva.

"Bisa aja kamu."

Tak terasa waktu yang mengalir. Lampu lalu lintas kini berubah menjadi hijau. Semua kendaraan seakan seperti berlomba adu kecepatan layaknya sebuah kompetisi. Tapi, untungnya Rendy tidak terpacing emosi dan lebih memilih untuk berkendara dengan aman.

Tiga puluh menit kemudian, sampailah Rendy di kawasan pinggir pantai yang ada di daerah utara dari kota Jakarta. Tempat yang saat itu sedang sepi pengunjung. Dan kebetulan hanya ada Rendy dan Rheva di sana.

"Oh, jadi ini tempat kamu nenangin diri." ujar Rheva sambil duduk di atas bebatuan.

"Ya, begitulah."

"Oh, iya. Gimana Anna kabarnya?" tanya Rheva.

"Entahlah. Mungkin sudah bahagia dengan yang lain." ujar Rendy.

"Kamu gak niat cari pacar gitu?"

"Kasihan yang jadi pacarku, Va. Cuma pelampiasan aja. Tapi, hatiku sama yang lain." jawab Rendy.

"Ya aku paham. Apapun yang dilakuin sama perempuan di luar sana buat kamu, gak akan sebanding sama apa yang Anna korbanin buat kamu. Dia rela nahan sakit karena donorin darahnya buat kamu loh." ujar Rheva.

"Oh iya, aku baru ingat. Setelah kejadian sama Rian tempo hari, aku ke sini sama Anna. Senyuman paling indah yang pernah aku lihat yang dia tampakkan. Nah, pulangnya udah ada motor itu." ujar Rendy.

"Terus?"

"Mungkin, aku tahu kenapa aku sial dekat Anna dan kenapa aku beruntung pula dekat Anna."

"Kenapa?" tanya Rheva.

"Aku beruntung karena membuat Anna tersenyum."

"Dan mungkin dia selalu tersenyum setiap hari di sana karena mikirin kamu." ujar Rheva.

"Mungkin, aku gak pernah sial semenjak itu sampai sekarang."

"Jangan sombong kamu." ujar Rheva seraya mendorong Rendy pelan. "Gimana sekarang perasaanmu sama Anna?"

"Kamu mau aku jujur?"

"..." Rheva menganggukkan kepalanya.

"Dia akan tetap menjadi anugerah terindah yang diturunkan oleh Tuhan untukku, Va."

Rendy dan Rheva masih duduk bersebelahan sambil menatap lautan yang luas. Tak terasa matahari pun ikut tergelincir karena malu melihat mereka berdua. Awan-awan sudah bergerak menjauh agar langit dapat menampakkan warnanya.

"Pulang, yuk!" ajak Rheva.

"Yuk! Udah sore."

"Tapi sebelum kita pergi dari sini, kamu mau taruhan sama aku nggak?" tanya Rheva.

"Taruhan apa?" Rendy penasaran.

"Kalau Anna bakalan ketemu lagi sama kamu." ujar Rheva.

"Hahahahaha... Ngayal aja."

"Di sini ada bebatuan, langit, awan, dan matahari. Mereka jadi saksi bahwa aku bertaruh kamu akan dipertemukan lagi sama Anna."

"Alasannya?"

"Hukum tarik menarik."

"..."

"Aku tahu, kamu selalu mikirin dia. Setiap sujud dalam sholatmu, kamu selalu menyebut namanya dalam doa." ujar Rheva.

"..." Rendy terdiam.

"Diam berarti benar."

"Ya, kamu benar."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Burung Kertas Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang