Chapter 54

22 3 0
                                    

Tak ada obrolan yang keluar dari mulut mereka. Rendy masih saja membisu di atas motornya. Anna yang bingung pun hanya bisa memeluknya dengan erat karena khawatir emosinya masih tak terkendali. Sambil memutar pikiran, Anna mencari cara bagaimana bisa menghibur Rendy yang sedang emosi. Hingga suatu ketika, mereka berhenti di persimpangan yang di mana lampu lalu lintas sedang menyala merah.

"Rendy." panggil Anna.

"Iya, Na." jawab Rendy.

"Mau jalan sekali lagi gak sama aku?" Anna meminta.

"Kamu gak kemaleman nanti pulangnya?"

"Nggak apa-apa kok. Kan sama kamu. Mau ya?"

"Iya aku mau kok. Kita mau ke mana?" tanya Rendy.

"Ke taman deket rumahku aja."

"Ya udah kita ke sana."

Satu jam perjalanan yang cukup melelahkan karena kendaraan ibu kota yang melaju tersendat. Namun, lelahnya mereka terbayar dengan pemandangan indah di sebuah bidang tanah yang cukup luas dengan hiasan bunga dan pepohonan serta lampu taman yang bersinar terang di seluruh penjuru. Tampak banyak orang yang berlalu. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja kantor yang memang kebetulan bekerja di sekitar taman.

"Kamu capek, Ren?" tanya Anna.

"Tadinya sih iya." jawab Rendy.

"..."

"Tapi, begitu lihat senyummu, lelahku hilang." lanjut Rendy.

Anna langsung tersenyum lebar dan tersipu malu. Pipinya berubah warna menjadi kemerahan. Dia tak bisa membalas apa yang sudah dikatakan oleh Rendy kepadanya. Anna merasa bahwa dia telah menaruh sebuah nama yang tepat di hatinya.

"Kok kamu senyum-senyum sendiri, Na?" tanya Rendy.

"Habis kamu gitu." jawab Anna.

"Gitu gimana?"

"Gak tau ah."

"Dih, aneh kamu, Na."

Anna merangkul lengan kanan Rendy, "Rendy."

"Aduh!" Rendy reflek melepas tangannya.

"Loh? Kenapa? Ya ampun! Tangan kamu luka." Anna terkejut melihat luka kecil bekas sayatan benda tajam di lengan Rendy.

Anna membuka isi tasnya. Dia segera mengeluarkan sebuah obat luka, alkohol, dan plester penutup luka. Dia meneteskan beberapa tetes alkohol di atas kapas dan mulai membersihkan sebuah cidera kecil pada kulit Rendy karena terkena benda tajam pada lengan kanannya.

"Duh! Perih!" Rendy menjerit.

"Tahan sedikit, Rendy. Kamu dipukulin orang bisa tahan, dikasih alkohol dikit menjerit." Anna meledek.

Anna mengoleskan alkohol pada luka Rendy dengan pelan dan penuh perasaan. Lalu, Anna meneteskan obat luka pada luka sayatan yang sudah agak mengering. Sebuah plester luka berwarna cokelat berhasil direkatkan pada luka Rendy.

*CUP!*

Sebuah ciuman dilayangkan oleh Anna dari bibir tipisnya pada luka Rendy. Anna mengusap halus luka yang sudah terbungkus oleh plester luka yang direkatkan di atasnya. Rendy langsung terdiam seribu bahasa. Bahkan jantungnya sampai berdenyut hebat. Wajah Rendy juga sedikit memerah. Rendy merasakan betapa indahnya anugerah Tuhan yang diturunkan untuknya.

"Cepat sembuh ya, lukanya Rendy." ujar Anna sambil mengusap luka Rendy.

"Makasih banyak, Anna. Kamu selalu bawa obat luka di tas kamu?" tanya Rendy.

"Iya, Ren. Aku kalau jalan sendiri tuh suka ceroboh. Entah kesandung atau kepeleset terus jatuh dan luka." ujar Anna.

"Tapi, sekarang kamu gak perlu itu kok." ujar Rendy.

"Kenapa memangnya?" tanya Anna kebingungan.

"Karena aku tak akan membiarkanmu jalan sendiri. Aku ingin terus menjaga anugerah terindah dari Tuhan untukku sepanjang hidupku walaupun keadaannya sekarang kamu sudah dimiliki oleh seseorang." ujar Rendy.

"..."

Rendy menyentuh hijab milik Anna, membuka, dan melebarkannya. "Maaf, Na."

"..."

"Hijab kamu kurang turun. Mungkin karena tadi jadi kamu gak sadar. Bagian leher kamu kelihatan." ujar Rendy.

"Ren, udah stop. Aku speechless." ujar Anna merasa malu.

"Bukan gitu, Na. Aku gak rela kalau aurat kamu dilihat banyak orang. Ini adalah salah satu cara menjagamu. Menjagamu dari pandangan orang lain." Rendy berkata sambil menggenggam kedua tangan Anna.

Anna yang tak bisa membalas perlakuan Rendy lebih memilih untuk memeluk Rendy. Pelukannya begitu erat terasa. Seperti tak ingin dipisahkan. Satelit alami yang dimiliki oleh bumi sampai bersembunyi di balik awan yang kemerahan karena tak kuasa melihat besarnya cinta mereka berdua. Gemerlapnya bintang di malam hari menjadi saksi bisu yang ada di atas langit gelap. Serasa dunia milik mereka berdua tanpa melihat di sekitar mereka.

Anna mengeluarkan kertas origami berwarna merah muda dan sebuah pena. Menuliskan sebuah rangkaian kata sederhana lalu melipat kertas itu menjadi berbentuk seekor burung. Burung kertas merah muda dengan untaian kalimat di dalamnya diberikan kepada Rendy yang belum mengetahui isi dari burung kertas tersebut.

"Aku tak pandai berbicara. Aku hanya bisa berucap melalui media. Burung kertas ini adalah salah satu media yang bisa aku gunakan saat ini." ujar Anna seraya memberikan burung kertas tersebut.

"..."

"Buka ini setelah kamu sampai di rumah ya."

"..."

*CUP!*

Sebuah ciuman mendarat di kening Rendy. Kejadian yang membuat napas Rendy menjadi tak beraturan. Rasa yang berbeda dirasakan oleh Rendy dari ciuman yang diberikan Rheva untuknya. Sebuah rasa cinta yang tak terhingga mulai mekar. Tak sadar bahwa mereka berdua telah menanam benih ini sejak lama.

"Aku pulang dulu ya. Kamu gak perlu antar aku sampai rumah. Rumahku deket banget kok dari sini. Kamu langsung pulang ya." ujar Anna seraya beranjak dari duduknya.

"..." Rendy hanya bisa menatap Anna dengan senyuman lebar yang nampak pada bibirnya.

"Selamat malam, anugerah terindah dari Tuhan untukku. Sampai ketemu besok di kelas ya." Anna melambaikan tangannya dan berjalan meninggalkan Rendy sendiri.

Rendy hanya bisa menatap Anna dari gelapnya malam dengan bantuan lampu-lampu taman yang benderang. Semakin lama, langkahnya semakin menjauh dan hilang dari pandangan. Saat itu juga, Rendy langsung mengambil langkah menuju tempat parkir dan melaju hingga sampai di rumahnya. Tak sabar dia ingin membuka isi dari burung kertas tersebut.

****

Dear Rendy,

Thanks for loving and taking care of me.

Love you, Rendy.

Regards,

Devianna Azzahra (Anna)

Burung Kertas Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang