Chapter 21

36 3 0
                                    

"Eh ada Bu Tati. Baru sampai, bu?" tanya Rheva seraya mencium tangan Bu Tati.

Setelah selesai berbincang, Rheva dan Tasya kembali menuju ruangan di mana Rendy sedang terbaring lemah. Ternyata di sana sudah ada Bu Tati yang sedang menjenguknya.

"Oh, ada Rheva juga di sini." ujar Bu Tati.

"Kalau yang ini adik saya, Bu." ucap Rendy dalam baringnya.

"Cantik ya adikmu, Ren. Siapa namanya?"

"Saya Tasya, Bu."

"Ibu gak bisa lama-lama nih. Masih ada urusan. Cepat sehat ya, Ren."

Bu Tati melangkahkan kakinya seraya sepatu yang dikenakan mengeluarkan alunan suara yang khas. Rendy tampak muram. Wajahnya yang biasa berseri, kini menjadi masam. Rheva yang melihatnya langsung bertanya.

"Lo gak apa-apa, Ren?" tanya Rheva.

"Dek." Rendy memanggil Tasya.

"Iya, Kak."

"Aku mau ngomong sama Rheva. Kamu keluar dulu ya."

Tasya menatap Rheva dan memberinya senyuman. Rheva menepuk pelan bahu Tasya dan membalas senyumnya. Lalu, Tasya pun berjalan menuju pintu ruangan dan keluar dari ruang rawat inap. Hanya tersisa Rendy dan Rheva.

"Ada apa, Ren?" tanya Rheva.

"Gue pegel tiduran terus." Rendy berkata seraya berusaha bangun dari tempat tidurnya.

"Eh, pelan-pelan, Rendy." Rheva membantu Rendy merubah posisi tubuhnya.

"Gue mau keluar, bosen di kamar terus." ujar Rendy.

"Ya udah sebentar, gue ambilin kursi roda dulu."

"Gak usah. Gue kuat kok, Va." Rendy mencoba berdiri tapi apa daya dengan tubuhnya yang masih lemah, ia pun tak kuat menahan tubuhnya yang masih luka.

"Nah, kan. Udah sekarang lo wajib nurut sama gue. Tunggu di sini."

Rheva keluar untuk mengambil kursi roda yang ada di pojok lorong rumah sakit. Dengan sabar, Rheva merentangkan kursi roda yang sudah lama ada tapi masih layak untuk dipakai. Lalu, didorongnya kursi roda tersebut ke dalam ruangan di mana Rendy sudah menunggu.

"Ayo, pelan-pelan naiknya." Rheva meraih tangan Rendy dan membantunya duduk di atas kursi roda.

"Udah, yuk."

Rheva mendorong kursi tersebut keluar dari ruang rawat inap. Dengan laju yang pelan, Rheva membawa Rendy ke taman yang terletak di belakang gedung rawat inap dari rumah sakit. Di sana banyak pepohonan dan tanaman yang rindang dan indah.

"Stop, di sini aja Va."

"Lo gak takut kesambet apa di bawah pohon gede gini." ujar Rheva.

"Nggak. Setannya takut sama lo. Hahahaha." Rendy mulai tertawa kecil.

Suasana di sana sepi dan sunyi. Tak ada seorangpun berlalu lalang. Hanya ada perawat dan pengunjung berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Suara dari hiasan air mancur di taman, membuat suasana taman ini semakin nyaman dan asri. Di dalam kolamnya terdapat ikan koi yang berenang ke sana kemari sambil menikmati air yang bening dan bersih.

"Va, gue bingung." Rendy berkata setelah menghela napas.

"Kenapa?" tanya Rheva.

"Bu Tati. Cerita semua ke gue."

"Cerita apa?" Rheva semakin penasaran.

Suasana tiba-tiba saja hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari Rendy atau Rheva. Raut wajah Rendy seketika berubah menjadi muram. Rheva berlutut lalu menggenggam tangan Rendy dengan lembut dan mendekatkan wajahnya.

"Cerita apa, Rendy?" tanya Rheva sekali lagi.

"Anna." jawab Rendy.

"Kenapa sama Anna, Ren?"

"Darah yang ada di tubuh gue sekarang, mengalir juga darahnya Anna." jawab Rendy.

"Maksudnya?" tanya Rheva kebingungan.

"Kemarin, waktu gue di bawa ke sini, gue ngeluarin banyak darah. Gue gak nyangka ternyata Anna yang nolong gue. Anna nyumbangin darahnya buat gue, Va."

"Va." lanjut Rendy.

"Iya, Ren."

"Baru pertama kali gue liat dia nangis di depan gue. Kenapa rasanya sakit ya?" tanya Rendy.

Rheva merubah posisinya berdiri di belakang Rendy. Dia membungkukkan tubuhnya, lalu memeluk Rendy dari belakang. Pelukan hangat yang diberikan Rheva mampu membuat Rendy semakin tenang. Semakin lama, pelukannya semakin erat.

"Kalaupun gue bisa, gue juga bakalan ngelakuin hal yang sama." Rheva berkata seraya menatap wajah Rendy dari sisi kanan wajahnya.

Hanya terpisah jarak beberapa sentimeter saja wajah Rendy dan Rheva kini. Rheva melemparkan senyuman yang begitu manis dan khas yang mampu membuat Rendy luluh. Ditambah lagi dengan wajah cantik dan rambut panjangnya.

"Maksudnya gimana, Va?" tanya Rendy.

"Seandainya gue tau lo butuh darah dan golongan darah kita sama, gue juga bakalan kasih sebagian darah gue buat lo. Hitung-hitung gue membalas semua pertolongan lo ke gue." ujar Rheva seraya memegang dan mengusap pipi Rendy yang lebam kemerahan.

Rheva kembali merubah posisinya. Kini dia berlutut di depan Rendy dan menatap Rendy dalam-dalam. Mereka saling bertatapan satu sama lain. Tak peduli angin yang bertiup dari arah timur ke barat. Tak peduli dengan suara gemercing dahan pepohonan yang bergoyang.

"Rendy, cuma kamu yang mampu menyadarkanku bahwa di dunia ini pasti terselip laki-laki yang baik seperti dirimu." ucap Rheva.

"Rendy." lanjutnya seraya memegang erat kedua tangan Rendy.

"Izinkan aku untuk menemanimu. Izinkan aku untuk bersamamu. Izinkan aku untuk melangkah di sampingmu pada saat suka maupun duka." Rheva berkata sambil menatap Rendy.

*DEG!*

Rendy tiba-tiba terdiam. Terdiam karena terkejut dengan untaian kalimat yang baru saja diucapkan oleh Rheva. Rendy menatap Rheva dalam-dalam. Sebuah untaian kalimat yang diucapkan oleh Rheva itu sama persis dengan isi dari untaian kalimat yang ada pada burung kertas berwarna merah muda yang Rendy temukan di laci mejanya pada saat masa orientasi lalu.

Sebenarnya, siapakah sosok perempuan di balik burung kertas merah muda tersebut?

Burung Kertas Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang