Chapter 48

19 3 0
                                    

"Nanti aku kasih tau jalannya. Yang penting kamu anterin aku." ujar Rheva.

"Ya udah, mau sekarang?" tanya Rendy.

"Iya, yuk!"

Rendy dan Rheva segera beranjak dari tempat yang mereka kunjungi menuju tempat berikutnya. Tempat yang dimaksud oleh Rheva tapi Rendy tak mengetahui. Rheva hanya berkata ke suatu tempat. Rendy bertanya dalam hati karena penasaran kali ini Rheva ingin membawanya ke mana.

Lima belas menit perjalanan, akhirnya sampailah ke tempat yang dituju. Tempat ini hanya sebuah bidang tanah yang luas untuk memakamkan jasad manusia yang telah gugur. Rendy semakin bingung mengapa dia membawanya ke tempat ini.

"Kuburan, Va?" tanya Rendy.

"Iya. Ayo, ikut aku!" Rheva langusng menarik tangan Rendy.

Menyusuri jalan setapak di antara dua makam, Rendy dan Rheva berjalan dengan pelan. Rheva masih menggenggam tangan Rendy yang berjalan di belakangnya. Pemakaman ini sangat rapih dan hijau. Batu nisan yang tertancap di atas makam berwarna hitam mengkilat jika terkena cahaya matahari. Namun sayangnya, matahari kini sembunyi dibalik senyawa berbentuk seperti gumpalan kapas di atas langit.

Rheva menghentikan langkahnya di satu makam. Lalu, dia merunduk dan membersihkan dedaunan kering yang berguguran di atasnya. Serta mencabuti rumput-rumput liar di sekitar makam itu.

"Ini makam siapa, Va?" tanya Rendy.

Rheva berdiri seraya membersihkan telapak tangannya yang kotor. "Cinta pertamaku, Ren."

"..."

"Luka yang sangat mendalam ketika aku ditinggal pergi selamanya."

"Cinta pertama?"

"Iya. Papaku."

Ternyata ini adalah makam dari papanya Rheva. Selama ini dia tak pernah bercerita tentang keluarganya. Dia hanya cerita tentang apa yang dia rasakan dan kejadian apa yang sedang dialaminya. Tapi, lebih banyak memberi perhatian lebih kepada Rendy.

Suara gemuruh petir terdengar dari atas langit. Tiba-tiba saja langit berubah warna menjadi abu-abu gelap. Senyawa yang mengandung butiran-butiran air sudah hitam merata di atas langit, sebentar lagi dia akan menurunkan tetesan-tetesan air dengan debit yang tinggi. Dalam keadaan langit sedang gelap dan tak ada sinar matahari, Rendy mencoba mengajak Rheva untuk kembali.

"Va, udah mau hujan nih. Aku anterin pulang, yuk!" ajak Rendy.

"..." Rheva menggelengkan kepalanya.

"Va, nanti kamu kehujanan terus sakit." Rendy mencoba meyakinkan.

"Aku masih mau di sini, Rendy. Aku rindu Papa." ujar Rheva dengan bibir bergetar.

Rendy berlari meninggalkan Rheva yang sedang mematung di depan makam seseorang yang luar biasa dan sangat berjasa di dalam hidup Rheva. Rendy menuju motornya yang sedang terparkir untuk mengambil jaket kulit yang biasa dia pakai berkendara. Setelah itu, dia kembali menemui Rheva.

Hujan kini turun perlahan. Tetesan demi tetesan turun dengan cepat tapi belum begitu deras. Rendy segera memayungi Rheva dengan jaket kulitnya agar tak terkena butiran hujan. Rendy merelakan tubuhnya basah terkena air hujan. Rheva menatap Rendy dalam-dalam dan melepas jaket yang sedang memayungi dirinya. Kini keduanya bersama-sama bermandikan air hujan.

"Kamu gak perlu mayungin aku, Ren." ujar Rheva.

"..."

"Aku suka hujan." ucap Rheva dengan bibir bergetar.

"Tapi, kamu kedinginan." ujar Rendy dalam derasnya hujan.

"..." Rheva menggelengkan kepalanya.

"..."

"Kamu tau nggak kenapa aku suka hujan?" tanya Rheva

"Kenapa?"

"Aku suka hujan karena tetesan airnya bisa menyembunyikan air mataku yang mengalir." ujar Rheva.

Petir menyambar dengan keras. Seolah-olah langit terbelah karena sambarannya. Gemuruhnya tak berhenti dan butiran air yang turun semakin deras. Proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh sudah mendarat di bumi. Membasahi kedua murid SMA Trinusa yang sedang berada di dalam corong hujan disertai badai petir.

Rheva menundukkan kepalanya. Sesekali dia menghapus butiran air hujan yang membasahi wajahnya. Bibirnya bergetar dan nafasnya tak beraturan. Rheva seperti sedang terisak dalam tangisan. Rendy pun berinisiatif langsung memeluknya dengan erat.

"Tapi, hujan tak pandai menyembunyikan kesedihanmu." ujar Rendy.

"..."

Getaran nadi kesedihan Rheva bisa dirasakan oleh Rendy. Dawai tangisnya terlihat jelas di raut wajahnya. Rendy tahu betul bagaimana ekspresi wajah Rheva ketika tersenyum bahagia. Dan Rendy juga tahu betul bagaimana wajah Rheva ketika tersenyum dalam tangis. Nada dari dawai bahagia dan sedihnya berbeda bunyi dan berbeda rasa.

"Aku seperti kehilanganmu, Rendy."

"Kehilangan?"

"Iya."

"Aku gak ngerti, Va."

Rheva menghela napas panjang. "Aku tau kamu sayang sama Anna. Aku tau kamu gak rela Anna jadi milik orang lain."

"..."

"Apa lagi, darah yang mengalir di tubuhmu. Sebagian ada darahnya." lanjut Rheva.

"Kamu tau kenapa aku bilang kamu itu mantra penyebuh luka, Va?"

"Kenapa?"

"Karena kalau di dekatmu, aku merasa masalah dalam hidupku itu hilang. Walau hanya sesaat dan pada saat sama kamu aja." jawab Rendy sambil menggenggam kedua tangan Rheva.

"Kalau begitu..."

"..."

"Gimana kalau kita pacaran aja? Daripada kamu kepikiran Anna terus. Dan aku bisa ada di sampingmu setiap hari."

Burung Kertas Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang