Chapter 26

30 3 0
                                    

"Rendy, ngapain masih di sini?"

Seorang murid perempuan dengan hijab putih baru saja keluar dari masjid setelah melakukan ibadah sore. Dia terkejut melihat ada Rendy yang sedang menunggunya.

"Nungguin lo, Na." jawab Rendy.

"Udah sholat?" tanya Anna.

"Belum."

"Ya udah sholat dulu. Gue balik ya." Anna melangkahkan kakinya.

"Eh tunggu!" Rendy memegang tangan Anna.

"Ada apa lagi, Rendy?" tanya Anna dengan halus.

"Lo duduk sini. Titip sepatu sama tas gue."

"Hhmm... Iya iya. Ya udah sana sholat dulu."

Rendy dengan segera membuka sepatu dan masuk ke dalam masjid untuk beribadah. Hanya ada Anna duduk sendiri menjaga barang milik Rendy. Ditemani dengan sejuknya angin yang bertiup dan bunga yang bergoyang. Daun-daun berguguran dan berterbangan karena tiupan angin. Tak lama kemudian, Rendy datang.

"Udah kan? Gue balik ya." Anna berdiri bersiap melangkah.

"Eh, tunggu!" Rendy kembali menahan.

"Gue udah jagain tas dan sepatu lo. Sekarang kan lo ada di sini. Ada apa lagi sih, Ren?" tanya Anna.

"Gue mau nganterin lo pulang." jawab Rendy.

"Rumah gue jauh. Mending lo langsung pulang aja, ya." ujar Anna.

"Tenang aja, Na. Ini bukan soal janji. Tapi ini kemauan hati. Yuk!"

Rendy beranjak dari tempat duduknya. Berjalan seraya menggandeng tangan Anna menuju tempat tujuannya. Anna pun terlihat pasrah tak melawan pada saat tangan Rendy meraih tangannya. Tiba-tiba saja Anna menghentikan laju kakinya di tengah lapangan.

"Ada apa, Na?" tanya Rendy.

"Rendy."

"Iya, Na."

"Gue balik sendiri aja, ya." ujar Anna.

"Emang kenapa kalau gue anterin, Na?" tanya Rendy.

"Gue gak mau lo kena sial kalau deket-deket gue." jawab Anna.

Rendy berbalik arah lalu menggenggam kedua tangan Anna dengan erat. Seraya ingin meyakinkan Anna bahwa tidak akan ada hal aneh yang akan terjadi. Seolah hal itu menjadi kutukan untuk Rendy jika dekat dengan Anna. Lalu, Rendy memberanikan diri memeluk Anna.

"Na, Maafin gue. Gue gak ada maksud bikin lo jadi kayak gini. Gue kangen Anna yang sebelumnya. Yang ceria, suka marah-marah. Bukan Anna yang pemurung kayak gini." ujar Rendy sambil memeluk dan mengelus kepala Anna dengan lembut.

"Bukan Anna yang suka nangis. Lo tau gak, Na? Pas gue liat lo nangis di depan gue, gue ngerasa sakit. Makanya gue gak mau lo nangis lagi. Gue mau lo balik lagi kayak dulu." tambah Rendy.

"Rendy."

Tak terasa air mata jatuh membasahi pipi yang kemerahan. Isak tangisnya tak bisa dia sembunyikan lagi dari Rendy. Sudah tak terbendung lagi pondasi matanya untuk menahan volume air mata yang siap membasahi wajah manisnya. Anna membalas pelukan Rendy.

"Gue akan terus deket sama lo, Na. Mau sial atau beruntung. Jika memang ada yang bisa mematahkan kutukan itu, apapun bakal gue lakuin, Na." ujar Rendy.

"Rendy." Anna berkata dengan suara lirih.

"Iya, Na. Udah dong jangan nangis. Kalau ada yang lihat gak enak."

"Anter gue ke tempat di mana gue bisa luapin semuanya, Ren." Anna meminta kepada Rendy.

"Iya, yuk. Kemanapun lo mau, gue anterin."

Anna dan Rendy berjalan ke tempat di mana Rendy memarkirkan motornya. Rendy mulai melajukan motornya ke tempat yang diinginkan Anna. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat itu. Karena, Rendy sudah tahu dan pernah ke sana sebelumnya. Yaitu, taman terletak di belakang gedung rawat inap rumah sakit.

"Kenapa di sini, Ren?" tanya Anna.

"Di sini suasananya enak." ujar Rendy.

Rendy mengajak Anna duduk di bangku taman yang berada di bawa pohon besar yang berumur puluhan tahun. Pohon ini mampu memayungi mereka berdua dari guyuran sinar matahari yang akan tenggelam dalam hitungan jam. Rendy terus memandangi Anna yang dari tadi tak menampakkan senyum di wajahnya.

"Anna." Rendy memegang tangan Anna.

"Gue kangen senyum lo." ujar Rendy seraya menatap Anna.

Anna melemparkan senyuman ke arah Rendy. Namun senyumnya seperti orang yang sedang menyembunyikan perasaan sakit yang mendalam. Rendy semakin erat menggenggam tangan Anna.

"Darah yang ada di tubuh gue. Ini darah lo. Jadi, gue bisa ngerasain apa yang lo rasain, Na."

"Apa hubungannya, Rendy? Yang namanya perasaan itu hati yang merasakan. Gak ada hubungannya sama darah siapa yang ngalir di tubuh lo."

"Jadi, apa yang mau lo luapin, Na?" tanya Rendy.

"Gue mau lo berenti berantem, Rendy. Jujur, gue khawatir banget. Apa lagi pas liat lo dipukulin." ujar Anna.

"Gue kangen kehadiran lo di sekolah. Gue kangen lo gangguin gue. Bahkan, gue kangen berantem adu mulut sama lo."

Mereka saling bertatapan satu sama lain. Se akan-akan dunia tak melihat mereka di sana. Daun yang jatuh berguguran dari pohon besar itu pun tak membuat mereka bergeming. Tak ada rasa canggung di antara mereka terhadap matahari yang sedang menatapnya dari atas langit.

Anna mengambil sesuatu dari dalam tas sekolah miliknya. Sebuah kertas origami berwarna merah muda dan sebuah pena dengan tinta hitam dikeluarkannya dari dalam tas. Anna menuliskan sesuatu di dalamnya. Lalu, dia melipat kertas itu jadi sebuah burung kertas berwarna merah muda.

"Loh, Anna. Itu..." Rendy sangat terkejut melihat apa yang dilakukan Anna.

Tangannya melipat burung kertas tersebut dengan cepat dan rapih. Dia lalu memberikan burung kertas merah muda itu kepada Rendy.

"Jangan dibuka sebelum gue nyuruh untuk buka." ucap Anna.

Rendy masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Burung kertas merah muda yang selama ini dia simpan dan dia temukan ternyata berasal dari Devianna Azzahra, teman satu kelasnya sendiri.

"Simpan baik-baik, Rendy. Sebaik kamu simpan yang lainnya." ujar Anna seraya memegang tangan Rendy dengan kedua tangannya.

Tiba-tiba saja telepon genggam milik Rendy berdering. Ada nama 'Tasya' pada layar telepon genggam milik Rendy. Tak biasanya Tasya menelpon di saat seperti ini. Telepon itu segera dijawab oleh Rendy.

"Hai, Rendy! Masih inget suara gue?"

Burung Kertas Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang