Chapter 34

36 2 0
                                    

"Hei, jagoan! Kamu gak masuk?" received.

"Jagoan dari mana. Aku kalah kemarin. Hahahaha! Iya aku gak masuk lagi, Va." sent.

"Gimana keadaan kamu? Tadi aku liat berita di TV kantin." received.

"Aku baik-baik aja, kok. Cuma badanku agak nyeri." sent.

"Tasya gimana? Nanti pulang sekolah aku ke rumah kamu ya. Kamu udah makan?" received.

"Belum, Mama gak masak. Nunggu Kak Anita lagi beli makan di luar." sent.

"Oke, cepat sehat ya." received.

****

"Rendy, ini makan dulu." Anita datang membawa bungkusan makanan.

"Iya, Kak."

"Kamu udah ngabarin teman-teman kamu belum di sekolah?" tanya Anita seraya melepas cardigan cokelatnya.

"Udah, Kak. Belum aku kabarin aja pada nanyain." jawab Rendy.

Anita naik ke atas ranjang duduk di samping Rendy. "Pasti cewek ya. Hayo!"

"Mau tau aja kamu, Kak." Rendy beranjak dari ranjang menuju meja untuk menyantap makanannya. "Kakak beli apa ini?"

"Nasi uduk. Katanya Om Win sih enak." jawab Anita.

"Ya udah kita makan dulu, yuk!" ajak Rendy.

Rendy dan Anita membuka bungkusan yang berisi makanan khas betawi. Aromanya wangi menggoda. Rendy yang sudah lapar memakannya dengan lahap. Anita hanya bisa menatap Rendy keheranan.

"Laper banget, Ren?" tanya Anita.

"Iya nih. Kakak gak kuliah?"

"Nggak, jadwal kosong hari ini. Besok pagi baru kuliah."

"Tasya belum keluar kamar ya?" tanya Rendy.

"Belum kayaknya. Aku belum liat dia keluar." jawab Anita.

Sesudah selesai menyantap makanan, Rendy bergegas menuju kamar adiknya. Rendy melihat mamanya keluar dari kamar Tasya dengan lesu seperti orang yang sedang kebingungan.

"Tasya gimana, Ma?" tanya Rendy.

Mama menghela napas panjang. "Tetap gak mau keluar, Ren. Makannya juga sedikit. Mama jadi khawatir." Mama menatap Rendy. "Kamu pindah sekolah aja ya, Ren. Ini udah kelawatan buat Mama."

"Iya, aku sempet mikir apa aku pindah aja ya. Tapi, itu bertentangan sama hati aku, Ma."

Tiba-tiba Papa muncul dari tangga. "Kamu gak perlu pindah, Rendy. Tindakan kamu sudah benar. Walaupun kamu paham bahwa kamu kalah jumlah." Papa membela Rendy.

"Ya tapi lihat keadaan yang sekarang, Pa. Sampai Tasya juga kena." ujar Mama.

"Yang salah itu ya pelakunya. Gak suka sama Rendy tapi malah Tasya yang jadi korban. Itu menandakan bahwa si pelaku bukan lelaki sejati." Papa berkata dengan lantang.

"Pa, kamu tuh gak berubah ya dari dulu."

"Udah deh. Papa sama Mama gak usah debat. Intinya hati aku memilih bertahan." ujar Rendy.

Papa melangkahkan kakinya menuju gudang yang terletak di antara kamar Rendy dan Tasya. Papa mengambil sebuah pipa besi dengan panjang kurang lebih satu meter. Rendy baru melihat papanya menyimpan benda itu di dalam gudang dan mengambilnya.

"Itu buat apa, Pa?" tanya Rendy.

"Oh ini. Ini buat ngajarin orang, Ren." jawab Papa.

"Papa! Jangan aneh-aneh, deh!" Mama terlihat panik.

"Ini buat ngajarin orang tua yang salah mendidik anaknya!"

Rendy berpikir sejenak. "Loh! Papa mau balas dendam ke bapaknya Mario?"

"Biar dia tau gimana rasanya dipukuli!" Papa mulai emosi.

Rendy yang melihat amarah seorang bapak, tak tinggal diam. Baru kali pertama dia melihat Papa sampai marah seperti itu. Rendy pun masuk ke dalam kamarnya lalu mengambil sebuah stick baseball miliknya.

"Aku ikut!" Rendy berkata dengan lantang.

"Papa! Rendy! Cukup! Kalian bukan anak kecil lagi!" Mama mulai panik.

"Rendy kamu mau ngapain sih!" Kak Anita ikut menahan Rendy.

"Ayo, Pa!"

Rendy bersama dengan papanya tak memperdulikan apa kata orang lain, tak terkecuali keluarganya sendiri. Emosi mereka tak terbendung lagi. Apa lagi seorang bapak yang mengetahui anak gadisnya diperlakukan dengan tidak wajar. Dan juga seorang kakak yang merasa gagal menjaga adiknya.

Rendy dan papanya berjalan menuruni anak tangga dengan cepat menuju mobil Papa. Sementara itu, Mama dan Anita mengejar mereka dari belakang. Panggilan mereka seakan tak dapat meraih emosi serta logika Rendy beserta papanya.

"Mas Win!" teriak Mama.

"..." langkah Papa berhenti.

"Sadar kamu, Mas! Mau sampai kapan kamu seperti ini!"

"..."

"Silahkan kamu pergi, Mas! Bawa Rendy sekalian! Aku minta..."

"Minta apa! Cerai?!" ujar Papa seraya berbalik arah.

Mendengar kata cerai, Rendy langsung terdiam. Mulutnya terasa kaku tak bisa digerakan. Lidahnya se akan-akan terkunci tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Napasnya tak beraturan, sama dengan detak jantungnya yang tiba-tiba berdebar tak tahu ritme. Rendy menundukkan kepalanya seraya air matanya jatuh lalu mengalir deras.

Dari belakang, Anita langsung memeluk erat Rendy yang saat itu tidak bisa menahan emosi. Entah apa yang sedang dia rasakan. Sedih, kecewa, marah, semua bercampur menjadi satu.

"Rendy, udah. Kamu tenang dulu." ujar Anita yang sedang memeluk Rendy.

"..." Rendy tak bisa berkata apa-apa.

"Kamu pikir, dengan cara seperti ini akan menyelesaikan semua? Kamu bukan cuma akan kehilangan keluargamu. Kamu akan kehilangan semua teman-temanmu. Kamu juga akan kehilangan..."

"Anna..." satu kata terucap dari mulut Rendy seraya memotong ucapan Anita.

Rendy menjatuhkan tongkat besi miliknya dan jatuh berlutut menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dia merasa masih belum bisa mengontrol emosi dan perasaannya. Untung saja langkah Rendy dan Papa terhenti sebelum mereka beranjak.

Papa masuk ke dalam mobilnya meninggalkan pipa besi yang tadi dia bawa. Dengan cepat, Papa keluar dan pergi dari rumah. Tak tahu kemana arah dan tujuannya. Baru kali itu, Rendy mendengan Mama memanggil Papa dengan menyebut namanya.

Burung Kertas Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang