Chapter 44

21 2 0
                                    

"Halo!"

"Oi, Ren! Lo di rumah gak?"

"Iya, Nu. Gak kemana-mana gue."

"Nah, cakep. Gue ke sana ya. Ada game apaan di rumah?"

"Udah ke sini dulu. Lo liat sendiri aja nanti."

"Oke. On the way nih gue."

Pagi yang indah. Di mana langit saat itu sedang bersahabat dengan matahari. Suara nyanyian burung di atas dahan menghiasi suasana ini. Namun, tidak dengan suasana hati Rendy. Walaupun di hari libur, dia tetap saja murung. Memikirkan kejadian yang tak diharapkan yang sudah terjadi.

"Hhmm... Ren." panggil Anita.

"Kenapa, Kak?"

"Jam berapa ini?" tanya Anita.

"Jam tujuh, Kak."

Anita kembali menarik selimutnya dan melanjutkan aktivitas kegemarannya pada saat libur. Bagaimana hari libur tak terasa begitu singkat, jika bangun saja di siang hari. Rendy beranjak dari duduknya lalu menarik selimut di atas ranjang. Saat itu, Anita hanya memakai tanktop­ berwarna hijau dan celana dalam saja. Bagian dada dan pahanya jelas terlihat oleh Rendy.

"Kak, bangun! Udah pagi masih aja molor!"

"Ah, aku ngantuk, Rendy. Lagian ini hari Minggu juga."

"Yee... Hari Minggu bukan berarti males-malesan, Kak."

"..."

"Kak! Astaga! Cepet banget pulesnya."

Saat itu, muncul sesaat ide jahil terlintas di pikiran Rendy. Rendy mengambil tali sepatu miliknya yang tersimpan di lemar dan sebuah lakban hitam. Kedua pergelangan tangan Anita diikat menyatu lalu Rendy menyingkapkan kedua tangan Anita ke atas kepalanya dan diikat kembali ke tiang ranjang.

Kedua kaki Anita juga tak luput dari kejahilan seorang Rendy. Kedua kaki Anita juga diikatkan ke tepi tiang ranjang milik Rendy. Terasa tak nyaman, Anita pun terbangun dari tidurnya. Namun sayangnya, Rendy telah mengikat tubuh perempuan itu di atas ranjang.

"Loh? Rendy!" Anita meronta.

"Kenapa, Kak?"

"Apa-apaan sih kamu ini! Lepasin gak!"

"Udah sana tidur lagi sampai siang."

"Duh, Rendy. Please, lepasin aku. Iya aku bangun ini, Ren."

"Nggak!"

"Rendy. RENDY!" Anita berteriak.

"Aduh. Kakak bawel deh."

Anita terus meronta. Mencoba melepaskan ikatan yang ada pada tangan dan kakinya. Tapi tak berhasil karena simpul ikatannya terlalu kuat. Rendy mengambil lakban hitam miliknya dan merobek secukupnya.

"Mau ngapain lagi kamu, Ren!" bentak Anita.

"Sstt... Diem! Temenku sebentar lagi mau dateng."

"Ren, jangan. Ah! Rendy! Mmpphh..." Rendy berhasil merekatkan lakban pada mulut Anita.

"Nah, kalau gini kan aman. Emang Kakak doang yang bisa jahilin aku. Aku juga bisa , Kak. Hahahahahaha... Dah, Kakak."

"Mmmpphhh!!!"

Rendy berjalan keluar dari kamarnya. Sedangkan Anita terus meronta mencoba melepaskan diri. Hingga akhirnya napas Anita terengah-engah dan menangis. Tetapi, Rendy cuek saja meninggalkannya seorang diri di dalam kamar.

Pagi itu, Mama sudah menyiapkan sarapan. Mama dibantu oleh Tasya untuk memasak nasi goreng untuk makan pagi ini. Nasi goreng yang paling enak yang pernah Rendy rasakan telah tersedia di meja makan. Sudah ada Papa dan Mama yang sudah sarapan terlebih dahulu.

"Wah, masak nasi goreng, Ma?" tanya Rendy basa-basi.

"Ini aku bikin berdua Mama loh, Kak." ujar Tasya.

"Nanti Tasya harus bisa masak sendiri ya. Makanya sering bantu Mama di dapur." ujar Mama sambil menyantap hidangan.

"Anita mana, Ren?" tanya Papa.

"Masih tidur, Pa." jawab Rendy.

"Perasaan tadi Mama dengar dia teriak, Ren." ujar Mama.

"Ah, Mama. Kayak yang gak tau Kak Anita aja kalau libur."

"Aku juga dengar Kak Anita teriak manggil Kak Rendy tadi." ujar Tasya.

"Dia ngigo itu. Habis itu diem lagi kan? Udah lanjutin makannya. Ini enak."

Tak lama kemudian, suara bel rumah Rendy berbunyi. Menandakan bahwa ada seseorang berkunjung. Rendy segera bangkit dari duduknya dan membukakan pagar. Siapa lagi yang datang kalau bukan sahabat Rendy, Danu.

"Wih, Danu my best friend."

"Gue kira lo tidur lagi, Ren."

"Ayo, masuk! Udah sarapan belom?" tanya Rendy.

"Hehehehe... Beloman."

"Kebetulan. Nyokap gue bikin nasi goreng sekelas resto bintang tujuh. Hahahaha..."

"Buset! Nasgor apa puyer, Pak?"

Rendy dan Danu masuk ke dalam rumah dan mempersilahkan Danu untuk ikut menyantap sarapan pagi yang ada di meja makan. Rendy beserta keluarga dan Danu menikmati hidangan yang ada. Sedangkan Anita masih tergolek lemas tak berdaya dalam keadaan terikat.

"Ini tante yang bikin?" tanya Danu.

"Ini bikinan Tasya, Nu." jawab Mama.

"Wah, Tasya pinter masak ya. Calon istri idaman banget." ujar Danu spontan tanpa dipikirkan.

"..." Tasya hanya memberikan senyuman.

"Enak banget loh, Ren." ujar Danu.

"Udah habisin aja. Bawel banget lo."

"Ya ampun, Sya. Udah cantik, jago masak. Sempurna banget deh kamu."

"..." Tasya yang mendengarnya semakin malu dan tak berkata apapun.

"Udah sana. Ke kamar duluan. Pilih aja lo mau main game apaan." ujar Rendy.

"Oke, bos!"

"Gue mau bantu beresin piringnya dulu." ujar Rendy.

Dengan keadaan perut yang sudah penuh dengan hidangan enak, Danu segera naik menuju kamar Rendy. Dengan tingkat percaya diri yang tinggi, Danu membuka pintu kamar Rendy dengan perlahan. Danu terkejut karena melihat seorang perempuan dengan pakaian terbuka sedang terikat lemas di atas ranjang. Danu pun langsung menutup pintu dengan cepat.

Rendy yang baru tersadar bahwa masih ada Anita di sana, langsung mengambil langkah seribu menyusul Danu. Tapi, Danu masih lebih cepat karena sudah melihatnya terlebih dahulu.

"Ren! Itu!" Danu terkejut.

"Sssttt... Diem! Diem dulu!" Rendy mencoba menenangkan Danu.

"Iya! Tapi!"

"Eh, Diem!"

"Itu siapa, gila!" Danu masih tak menyangka.

"Itu kakak sepupu gue. Namanya Anita."

"Anjir! Bohong banget lo!"

"Sumpah, Nu! Itu kakak sepupu gue."

"..."

"Udah, Nu. Lo tunggu sini. Kita main di bawah aja." ujar Rendy.

"Bukan itu masalahnya, Ren."

"Terus apa?" tanya Rendy.

"Masalahnya 'si joni' bangun ini!" ujar Danu seraya menunjuk ke bagian bawah.

Burung Kertas Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang