Chapter 6

46 7 0
                                    

Bruk!

"Pukul kiri!"

Bruk!

"Pukul kanan!"

Bruk!

"Tendang yang keras!"

Rendy melayangkan tendangan keras ke arah pelatihnya yang sedang melatihnya.

"Oke cukup, Rendy!" sang pelatih mengakhiri sesi latihan Muai-Thai kali ini.

Rendy terlihat lelah dan berkeringat di sekujur tubuhnya. Dia berjalan menuju bangku panjang yang terbuat dari kayu untuk meraih air minum yang ada di dalam tas olahraganya. Sang pelatih pun menghampirinya dan duduk di sampingnya.

"Pukulan lo sama tendangan lo udah semakin keras. Latihan di rumah?" tanya pelatihnya.

"Nggak, Mas. Gue cuma olahraga dikit."

"Nanti pas masuk sekolah baru, jangan dipake buat mukulin kakak kelas ya." Pelatih itu memberi nasehat dengan nada setengah bercanda.

"Hahahaha! Tergantung sih, Mas. Kalau mereka mulai duluan, ya terpaksa. Tapi, gue gak akan lupa sama apa yang Mas ajarin. Semakin kita kuat, semakin banyak lawan yang akan dihadapi, semakin banyak orang yang harus kita lindungi."

"Ya udah sana cepetan pulang. Lo harus jemput Tasya kan." Pelatih itu menepuk pelan bahu Rendy lalu pergi meninggalkannya.

Rendy segera bersiap menjemput adik kesayangannya yang baru saja selesai latihan vokal di salah satu sekolah musik yang ada di Jakarta. Dia membersihkan diri sejenak lalu berganti pakaian sebelum berangkat menjemput adiknya. Menyusuri macetnya ibu kota ditemani oleh udara malam dan cahaya lampu penerang jalan. Hingga akhirnya sampailah dia di tempat tujuan.

"Ayo, dek." Rendy memberi syarat kepada adiknya untuk naik ke atas motornya.

"Lama banget sih!" ujar Tasya dengan nada tinggi.

"Macet, dek."

"Alasan! Kalau aku diculik gimana! Kalau aku diapa-apain orang gimana!"

"Naik sih! Aku tinggal nih!" Rendy bersiap menarik gas motornya.

"Ya udah sana." Tasya berkata sambil memanyunkan bibirnya.

BRUM!

Rendy melajukan motornya hanya beberapa meter saja untuk meledek adik perempuannya yang sedari tadi emosi karena Rendy lama menjemput.

"KAKAAAKK..!!!"

****

Rendy melanjutkan perjalanan pulang dengan pelan dan hati-hati. Sepanjang perjalanan, Tasya dan Rendy banyak mengobrol. Dari membahas lelaki yang mendekati Tasya, sampai dengan mantan pacar Rendy waktu SMP dulu yang memutuskan hubungan dengan alasan ingin fokus ujian nasional walaupun kenyataannya dia justru berpaling dengan lelaki lain.

"Nah, sampai deh." Rendy memarkirkan motornya di garasi rumahnya.

"Duh, anak Mama yang cantik udah pulang." Mamanya Rendy menyambut kedatangan mereka di depan pintu masuk rumahnya.

Tasya dan Rendy tak lupa mencium tangan Mamanya yang menunggu di depan pintu. "Rendy. Duduk dulu sebentar. Papa dan Mama mau bicara." Rendy diminta untuk duduk di ruang keluarga bersama Papa dan Mamanya.

"Ada apa, Ma?" Rendy menaruh tas olahraganya di atas sofa.

"Pokoknya kamu harus pindah dari Trinusa!" perintah Mama kepada Rendy.

"Loh, kenapa memangnya? Kan memang aku yang mau masuk ke sana."

"Sekolah itu sekolah berandal. Muridnya gak ada yang benar, Ren. Mau jadi apa kamu nanti! Kerjaannya taruwan, ribut sama sekolah lain." ujar Mama.

"Biarin aja sih, Ma. Itu kan pilihan Rendy. Papa yakin Rendy bisa jaga diri. Lagian sekolah itu dekat dari rumah. Naik motor sepuluh menit sampai." Papa berkata di balik koran yang sedang ia baca.

"Papa! Kok malah ngebela Rendy, sih!" Mama berkata dengan nada sedikit tinggi.

"Lagian gak semuanya buruk, Ma. Pasti ada yang baik." Rendy mencoba membantah Mamanya.

"Apanya yang baik!" ujar Mama sedikit kesal.

"Lagian Rendy juga kalau kelahi pasti ada sebabnya, Ma." ujar Papanya lalu menyeruput kopi hitam di atas meja.

"Papa kok malah belain Rendy? Pokoknya kalau sampai Mama dengar ada berita kamu berantem, kamu harus pindah sekolah!" Mama berkata dengan nada sedikit tinggi dengan mata yang agak melotot.

Rendy dan Papanya hanya bisa tersenyum melihat Mamanya yang terlalu khawatir dengan keadaan Rendy di sekolah nanti. Pasalnya, Rendy tak jauh berbeda dengan Papanya dahulu. Dulu, Papanya Rendy gemar berkelahi dengan kakak kelas. Bukan mencari musuh, tapi untuk mempertahankan harga diri.

"Ingat pesan Papa, Ren. Kalau kamu benar, jangan takut. Papa siap bela kamu." Papa mengangkat ibu jarinya.

"Oke."

Setelah itu, Rendy berjalan ke kamarnya. Tak sengaja dia melihat Tasya, adik kesayangannya yang cantik dengan rambut panjangnya melewati bahu sedang tertunduk termenung di dalam kamarnya.

"Adek kenapa?" Rendy duduk disamping adiknya.

"Bener kata Mama, Kak. Kakak mendingan jangan sekolah di situ. Aku pernah digangguin sama anak SMA Trinusa." Tasya menatap Rendy dengan sedih.

"Kalau kakak kenapa-napa, gak ada yang bisa aku jahilin." tambahnya sambil memelas.

Rendy langsung memeluk adiknya yang baru saja naik ke kelas delapan itu dengan erat sambil mengelus-elus kepalanya dengan lembut. "Sekarang kamu tidur aja, Dek. Besok kita cari perlengkapan sekolah sama-sama."

"Kelonin!"

"Kelonin?" Rendy melepas pelukannya. "Nih nih aku kelonin! Biar tidur gak bangun-bangun kamu! Hahahahaha!" Rendy mengambil bantal dan membekap wajah sang Adik dengan bercanda.

"Duuhh!! KAKAAAKKK...!!!"

****

Burung-burung bernyanyi di atas pohon yang rindang di bawah siraman cahaya matahari pagi yang menghangatkan tubuh. Cahayanya masuk hingga menembus jendela kamar Rendy. Tapi, memang sudah jadi kebiasaannya pada saat hari libur. Selalu saja bangun lewat dari pukul sembilan pagi.

"Kak." Tasya memainkan hidung kakaknya yang masih memejamkan mata.

"Kakaaaaaakkk...!!!" Tasya mulai jengkel lalu memencet hidung Rendy dengan keras.

"Aduh! Tasya! Apa-apain sih kamu!" Rendy segera bangkit dari tidurnya.

"Bangun, ih! Katanya mau cari perlengkapan sekolah bareng."

"Kamu juga baru bangun, kan. Masih pakai tanktop sama celana tidur. Mandi dulu sana." Rendy kembali merebahkan badannya dan menarik selimutnya.

"KAKAAAKK...!!! BANGUN GAK...!!!" Tasya berteriak tepat ditelinga Rendy dan akhirnya berhasil membuat Rendy membuka matanya dengan lebar.

Burung Kertas Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang