Chapter 30

26 2 0
                                    

Satu hari setelah Rendy masuk ke rumah sakit akibat pengeroyokan, Malamnya, Anna tidak bisa memejamkan matanya. Sesekali dia membuka kunci layar telepon genggamnya, menunggu kabar dari seseorang yang sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Anna semakin cemas dan membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 WIB. Anna segera bangkit dari tempat tidurnya dengan wajah lesu. Berjalan dengan pelan mengambil handuk untuk bersiap membersihkan diri. Hari itu di mana dia sedang tak bersemangat untuk berangkat ke sekolah.

"Tumben jam segini udah bangun kamu." ujar ibunda Anna yang sedang menyiapkan sarapan di dapur.

"Aku gak bisa tidur, bu." jawab Anna.

Ibunda Anna mematikan kompor, lalu mengajak Anna duduk di bangku meja makan untuk berbicara. "Kamu ada toh, Nak?" tanya Ibu.

"..." Anna diam tertunduk.

"Rendy?" ibunda Anna menanyakan kembali.

"..." Anna hanya menganggukkan kepalanya.

"Nak." ibunda Anna mengusap kepala Anna. "Ibu gak pernah larang kamu untuk suka sama cowok dengan umur kamu yang sekarang. Ibu juga dulu pernah ngerasain, Nak. Apa sih yang bikin kamu pikiran?"

"Bu, aku nyesel deh. Aku ngelawan kata hatiku sendiri. Aku takut dia ngehindarin aku." ujar Anna.

"Memang ada apa?"

"Kemarin, aku bilang aku benci sama dia. Aku sakit hati. Aku marah. Dia bilang selalu sial kalau dekat aku." Anna mulai mengusap air matanya.

"Nah itu. Kamu harus belajar mengendalikan emosi kamu, sayang. Coba nanti kamu temui Rendy untuk mengurangi rasa rindu kamu. Ibu izinin kok."

"Iya, makasih ya, Bu."

"Ya udah sekarang kamu mandi, terus siap-siap ke sekolah."

****

Anna berjalan dengan perlahan dari rumahnya menuju halte bus. Padahal, waktu masih menunjukkan 05.00 WIB yang pada saat itu, matahari enggan menampakkan wujudnya. Jalanan pun masih diterangi oleh lampu penerang jalan. Langit masih berwarna biru gelap. Hanya ada Anna sendirian di jalan itu. Memikirkan sesosok laki-laki yang dia khawatirkan saat ini.

Sesampainya di halte bus, dia duduk sambil memainkan kakinya. Dengan kepala tertunduk, serta pikiran yang melayang-layang ke sana ke mari. Satu per satu orang-orang datang menunggu bus. Tapi, Anna merasa seperti hanya ada dia seorang diri. Hingga akhirnya lamunannya pecah karena kedatangan bus yang di nanti.

"Neng, lemes amat." kondektur bus menegur Anna.

"Nggak, Bang. Biasa aja." jawab Anna.

"Gak biasanya neng lesu begini. Mukanya pucet banget. Kalau sakit mending istirahat aja. Sekolahnya jauh banget lagian."

"Nggak, Bang. Gak apa-apa kok."

Seperti biasa, Anna duduk di bangku paling belakang pojok dekat jendela. Seorang kondektur bus sampai mengenalinya karena hanya Anna seorang yang berstatus sebagai pelajar menumpangi bus di pagi hari.

Anna sampai di pinggir jalan di mana dia harus menyebrang untuk sampai ke sekolahnya. Sudah banyak murid berlalu lalang untuk segera masuk sebelum bel tanda masuk sekolah berbunyi. Masih seperti sebelumnya, Anna berjalan dengan perlahan dengan tatapan kosong serta pikiran yang melayang-layang. Anna terus berpikir bagaimana caranya untuk menyampaikan kepada orang yang dia khawatirkan jika dia tak benar-benar membencinya. Hanya emosi sesaat.

"Anna! Itu Anna!" teriak salah satu murid satu kelas dengan Anna.

Anna yang baru saja sampai di kelasnya, langsung diserbu oleh murid-murid teman satu kelasnya. Mereka semua menanyakan bagaimana keadaan Rendy, bagaimana kejadiannya, dan masih banyak lagi. Bagaikan bintang yang diserbu awak media untuk diwawancarai.

"Aduh! Udah, deh! Rendy gak apa-apa! Rendy udah sadar dan lagi pemulihan! Stop! Kalau nanya tuh satu-satu!" Anna berkata dengan nada tinggi.

Setelah mendengar ucapan Anna, semua murid perlahan membubarkan diri. Anna yang sedang emosi masih duduk dengan lesu dan wajah sedikit pucat. Fara yang melihatnya merasa ada sesuatu yang terjadi dengan Anna.

"Na, Rendy baik-baik aja kan?" tanya Fara.

"Baik-baik aja kok, Far." jawab Anna.

"Syukur deh. Gue pikir sampe luka parah."

"Emang parah."

"Terus lo bisa sama Rendy gimana ceritanya?" Fara bertanya kembali.

"Aduh, udah deh, Fara. Gue gak mood ngomongin Rendy." jawab Anna.

"Lo berantem lagi sama dia? Gak di mana-mana lo berantem terus. Nanti gue sama Danu mau jenguk Rendy. Lo mau ikut gak?"

"Nggak, makasih."

****

Siang itu, angin berhembus kencang melewati celah-celah daun jendela kelas. Daun-daun yang berguguran di tengah lapangan ikut berdesir dan berterbangan. Walaupun panas terik matahari, tapi masih ada angin yang menyejukkan. Di kala itu, Anna berjalan menuju UKS karena merasa pusing. Bukan pusing penyakit, tapi pusing memikirkan hal yang dari tadi siang dia pikirkan.

Sesampainya di sana, Anna mencoba berbaring menatap langit-langit ruangan. Sesekali dia menghela napas panjang untuk menenangkan pikirannya. Karena Anna terus memikirkan bagaimana caranya supaya Rendy tak menghindarinya.

"Aku harus gimana sekarang. Aku bingung. Aku menyesal. Gimana caranya supaya dia tau kalau aku gak benci dia. Itu cuma emosi sesaat aja." Anna berkata dari dalam hati sambil memikirkan sebuah cara.

Tak terasa dia terisak dalam tangisnya. Hanya ada Anna sendirian di dalam ruang UKS. Tak ada seorang pun yang melihat dia. Dinding pun terasa buta. Daun jendela menjadi bisu. Bahkan lantai-lantai pun tuli tak mendengar. Anna tenggelam dalam tangisnya.

"Nak, kamu sakit?" seorang guru yang sedang piket tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan.

Anna yang terkejut langsung menghapus air matanya dengan terburu-buru. "Eh, Ibu."

"Udah janganlah kau tutupi itu tangisanmu." guru yang piket menatap wajah Anna. "Astaga! Muka kamu pucat sekali, nak!"

"Saya gak apa-apa, Bu."

"Gak apa-apa gimana. Sekarang kamu tunggu di sini. Ibu buatkan surat izin pulang."

"Iya, Bu."

Guru itu keluar meninggalkan Anna sendiri sejenak. Tak membutuhkan waktu lama, suara langkah kaki dari guru tersebut sudah terdengar dan masuk kembali ke dalam ruangan.

"Tulis nama sama kelas kamu ya di sini." guru itu memberikan surat izin kepada Anna.

"Udah, Bu."

"Mau Ibu antar ke kelasmu atau kamu bisa sendiri?"

"Saya bisa sendiri, Bu. Terima kasih ya, Bu."

Anna segera beranjak dari ruangan tersebut. Berjalan perlahan menuju kelasnya. Saat itu juga tiba-tiba saja dia terpikirkan sesuatu. Anna ingin mencoba memberi tahu Rendy melalui burung kertas merah muda yang pernah dia beri diam-diam. Saat itu juga, dia memutuskan untuk menjenguk Rendy terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah sakit, Anna tak langsung masuk ke dalam. Dia duduk di depan ruangan di mana Rendy sedang terbaring. Dia menuliskan untaian kalimat yang dia harap Rendy dapat mengerti serta berharap Rendy segera menghubunginya. Tak lupa, Anna melipat kertas origami tersebut berbentuk burung kertas.

Setelah itu, Anna menghela napas panjang dan memberanikan diri untuk masuk. Ternyata Rendy sedang terlelap. Dia berjalan nyaris tak mengeluarkan suara apapun. Lalu menaruh burung kertas merah muda itu di atas meja.

*CUP!*

"Cepat sembuh ya, Rendy."

Sebuah kecupan hangat mendarat di keningnya. Ini adalah kali pertama Anna melakukannya kepada seorang laki-laki. Lalu, Anna pergi dari ruangan itu menuju ke rumahnya.

Burung Kertas Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang