Ars menarik kursinya dan menarik punggungnya maju. Matanya tidak beralih dari Denial.
"Ralline baik-baik saja. Aku yang merasa kasus ini tidak baik-baik saja."
"Maksudmu?" alis Denial bertaut. "Dan hei...nada suaramu kok jadi pelan gini. Ada apa sih?"
Ars menarik punggungnya. "Den, sampai detik ini aku masih yakin kalau Ralline dijebak. Aku tahu dan kenal dia, Den. Dia nggak mungkin pakai narkoba, nyimpen Black Heart, atau bahkan membunuh."
"Apa?" seru Denial.
"Ssshhh." Ars menempelkan telunjuknya di bibir. "Tarik kursimu maju sedikit."
Denial menuruti perintah Ars.
"Tadi aku di telepon Detektif Erlita dari 182. Katanya tim penyisir menemukan jas lab Ralline di dalam mobil. Jas lab itu berlumuran darah segar."
"What?" Denial menganga. "Kok..kok bisa begitu. Coba...coba kamu ceritakan dari awal, Ars," Denial tidak bisa menyembunyikan kepanikannya.
"Tadi pagi Ralline dikunjungi teman lamanya. Ralline bilang nama temannya adalah Roy Wijayanto. Dan orang itu ditemukan tewas di dalam Timor merah, kan? Tidak ada identitas apapun di mobil itu kecuali sebuah kartu yang ditemukan Labkrim. Tapi keterangan nama di kartu yang ditemukan Labkrim adalah Cygnus, bukan Roy Wijayanto."
"Ya, ya, benar. Terus...terus?" tanya Denial tidak sabar.
"Menurutku itu keanehan pertama. Keanehan kedua adalah pakaian yang dikenakan mayat di Timor merah? Apa kamu masih ingat dengan pakaian yang dikenakan mayat pria itu?"
"Kemeja abu-abu dan celana kain hitam," jawab Denial cepat.
"Benar. Nah, tadi Ralline bilang kalau saat mengunjunginya, Roy Wijayanto mengenakan sweater putih bertuliskan kata Brussels dan jeans warna biru."
"Berarti yang tewas bukan Roy Wijayanto?"
"Sebentar," Ars mengangkat tangannya, meminta Denial untuk mendengarkan keterangannya. "Keanehan ketiga, Roy meninggalkan ruangan Ralline sekitar pukul 06.40. Dan di TKP Timor merah tadi, Dokter Helmy mengatakan kalau range kematian korban antara pukul tujuh sampai tujuh tiga puluh."
"Kalau misalnya Ralline membunuh pria di Timor merah itu, range waktunya sangat sempit sekali," kata Denial.
Ars menjentikkan jarinya. "Itu juga yang aku pikirkan. Lagian kalau memang Ralline pelakunya, ngapain dia repot-repot nggantiin pakaian korban dari sweater putih dan jeans biru menjadi kemeja abu-abu dan celana kain hitam. Kalau memang untuk menutupi jejak, that's not definitely a smart way. Dan keanehan yang keempat, Ralline masuk ke ruangannya pukul enam, Roy dateng sepuluh menit kemudian. Kata Ralline, sebelum kedatangannya pagi tadi, Ralline dan Roy tidak saling berhubungan. Tidak membuat janji atau semacamnya. Jadi si Roy ini seperti tiba-tiba saja muncul di ruangan Ralline."
"Kalau pria yang tewas itu bukan Roy Wijayanto, lalu siapa dia dan siapa yang membunuhnya? Mengapa ada nama Ralline di kasus ini?" Denial menyatukan telapak tangannya dan menggunakannya untuk menyangga dagunya. "Ars, kasus ini serius. Well, aku tidak menganggap kasus-kasus lainnya tidak serius tapi sepertinya banyak hal yang terlibat di sini. Tapi kita harus tetap tenang agar kita dapat menemukan kaitan setiap informasi agar kita tidak salah langkah sehingga malah membahayakan Ralline." Denial menghela nafas panjang.
Jeruk peras adalah minuman yang cukup sakarin dan bagus diminum di pagi hari karena dapat ngurangin hormon stres. Jadi kalau pembunuhnya nggak ketangkep-ketangkep juga, nggak usah terlalu stress, tetap tenang agar dapat menemukan kaitan bukti-bukti.
Ucapan Denial mengingatkan Ars pada ucapan Janied ketika memberikan segelas jeruk peras padanya tadi pagi. Meski otaknya tersita oleh kasus Ralline dan mayat pria di mobil Timor merah, tak urung Ars tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ars: CYGNUS (Seri ke-3)
Mystery / ThrillerDokter Ralline Callista Mulya, dokter forensik DPM (Divisi Polisi Malang) sekaligus sahabat Detektif Ars Zhen, harus mendekam di sel tahanan DPM saat salah seekor K-9 mengendus Black Heart di meja kerjanya. Kasus itu segera ditangani oleh Detektif A...