Tiga Kapten dari tiga divisi yang berbeda sudah duduk di meeting room ketika Ars tiba. Kapten Anas Choiransyah dari Divisi 184, Kapten Ryo Dewanto dari Divisi 182, dan Kapten Montreal dari Divisi 186. Ketiga kapten itu didampingi detektif dari masing-masing divisi yang menangani kasus yang Ars yakin akan mereka rapatkan sesaat lagi. Kapten Anas didampingi Detektif Pravianti. Detektif Hanif dan Detektif Erlita mendampingi Kapten Ryo. Dan Denial duduk di samping Kapten Montreal. Ada satu kursi kosong di samping kursi Denial. Ars tahu itu kursi untuknya. Dia langsung duduk di sana, mengabaikan tatapan rasa ingin tahu rekan-rekannya atas matanya yang bengkak.
"Terima kasih sudah berkumpul di sini. Sebentar lagi Kolonel Sasongko akan bergabung bersama kita." Kapten Montreal membuka rapat. "Saya, Kapten Ryo dan Kapten Anas sudah melaporkan kasus yang kita hadapi pada beliau. Karena kemungkinan kasus kita terkait satu sama lain, Kolonel Sasongko meminta kita untuk bekerja sama dalam pengawasan beliau.
"Selamat malam semuanya. Maaf menunggu." Kolonel Sasongko berdiri di ambang pintu.
Semua orang yang ada di sana serempak berdiri dan memberi hormat.
"Silahkan duduk semuanya. Jadi apa rencana kalian untuk kasus ini?" tanya Kolonel Sasongko sesaat setelah duduk.
"Saya sudah membicarakan kasus ini dengan Kapten Anas dan Kapten Ryo, Pak. Saat ini Detektif Marabunta dari 184 sedang mengejar orang yang bernama Sam karena pelaku penculikan ini mengenakan kalung yang bertuliskan kata Cygnus."
"Kata itu juga terdapat di kartu di Timor merah yang berisikan mayat seorang pria?"
"Ya, Pak. Dia adalah pria yang sama dengan yang memberi bingkisan buku untuk Dokter Ralline tadi pagi. Ars, ada perkembangan apa dari Forensik?" Kapten Montreal beralih ke Ars.
"Dari rambut yang ditemukan Labkrim, Forensik menengarai ada seorang wanita yang terlibat dalam pembunuhan itu, Pak. Mereka tidak dapat memastikan siapa wanita itu tanpa DNA yang bisa diperoleh melalui sidik jari." Ars mengulangi laporan yang tadi disampaikannya pada Kapten Montreal.
"Saya tebak tidak ada satu pun sidik jari di TKP yang membawa kita menemukan pelaku," kata Kolonel Sasongko.
"Benar, Pak. Memang seperti itu."
"Kalau begitu, Montreal, kamu harus sering-sering mengunjungi Labkrim untuk mendapatkan petunjuk baru."
"Baik, Pak." Kapten Montreal mengangguk patuh.
"Bagaimana perkembangan Divisi 182?" Kolonel Sasongko beralih ke Kapten Ryo Dewanto.
"Detektif Erlita dan Detektif Hanif sudah menelusuri jalur transaksi Black Heart, Pak, dengan menggunakan sketsa wajah mayat di Timor merah itu karena dari dialah Dokter Ralline mendapatkan dua paket kecil Black Heart yang di masukkan ke dalam novel," jelas Kapten Ryo.
"Sebentar...sebentar, ini yang dimaksud adalah Dokter Ralline dari Forensik?" Kolonel Sasongko mengangkat satu tangannya.
"Ya, Pak."
"And?"
"Untuk sementara kami masih belum menemukan apa yang kami cari. Informan kami tidak pernah melihat wajah korban pembunuhan itu, Pak," kata Detektif Erlita. "Biasanya Black Heart dikonsumsi oleh kalangan kelas menengah ke atas karena harganya lumayan mahal, Pak. Berbeda dengan Flakka yang berharga murah dan dikonsumsi oleh kalangan yang notabene berekonomi rendah meski efeknya mampu membuat penggunanya berubah menjadi seperti zombie." Detektif Erlita menggunakan tanda kutip dengan kedua telunjuknya saat mengatakan kata zombie.
"Jalur transaksi Black Heart dan Flakka berbeda, Pak. Jalur Black Heart lebih sulit di tembus karena ring-nya berlapis-lapis dan rata-rata mereka kaum berduit sehingga mereka cukup melemparkan uang ke pihak-pihak terkait untuk melindungi kepentingan mereka," tambah Detektif Hanif.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ars: CYGNUS (Seri ke-3)
Mistério / SuspenseDokter Ralline Callista Mulya, dokter forensik DPM (Divisi Polisi Malang) sekaligus sahabat Detektif Ars Zhen, harus mendekam di sel tahanan DPM saat salah seekor K-9 mengendus Black Heart di meja kerjanya. Kasus itu segera ditangani oleh Detektif A...