24 Juli 2020
"Arthur, kamu yakin tali tambang ini kuat menanggung beban kita?" Ars berdiri di ambang pintu rumah pohon di halaman belakang rumah yang dibangun ayah mereka di atas pohon apel.
"Tenang sajalah. Ayah sudah mengukur dan memperhitungkan semuanya dengan matang. Aku membantu ayah kemarin." Arthur menarik-narik tali tambang yang digantungkan ayah mereka di salah satu cabang pohon.
"Aku juga ikut bantuin, kan?" Ars mengerling lucu, tidak sabar menunggu tanggapan saudara kembarnya. Ars yakin saudara kembarnya akan memprotes pernyataan yang dibungkusnya dalam pertanyaan.
"Huh bantuin pakai telepati? Cuma duduk di kursi depan dapur sambil menghirup-hirup aroma masakan ibu dan memandangi kami bekerja?" Arthur menggerutu.
"Lah...aroma masakan ibu adalah kekuatan jarak jauhku untuk membantu kalian." Ars tidak mau kalah.
Arthur mendengus. "Ayo ah, gembul, kita coba turun menggunakan tali ini." Arthur memeluk dan memegang pinggang Ars sementara Ars merangkulkan lengannya di leher Arthur.
"Siap ya?" Tangan Arthur mencengkeram tali tambang dan mulai bergerak turun. Tiba-tiba terdengar bunyi krak yang cukup keras dari rumah pohon. Lalu bunyi krak itu terdengar lagi, bersahut-sahutan, lebih keras dari sebelumnya. Dan sesaat kemudian tubuh keduanya jatuh ke tanah diikuti dengan luruhan kayu.
Ars meringis kesakitan seraya membuka matanya. Tapi sedetik kemudian dia menjerit saat melihat tubuh Arthur terbaring di sampingnya bersimbah darah. Sebuah batang kayu menancap tepat di dadanya.
"Ars, Ars," Denial membangunkan partnernya.
Ars tergeragap, terengah-engah.
"Duh," keluhnya. Disugarnya rambut panjangnya seraya berulang kali menarik napas panjang untuk menenangkan debur jantungnya.
"Mimpi Arthur ya?"
Ars menengadah, menatap Denial.
"You screamed and called his name."
Ars lemah mengedikkan bahunya. "Maaf membangunkanmu."
Denial tersenyum. "It's okay. Mau kutemani atau..."
Ars mengangkat tangannya. "No, I am good. Tidurlah lagi. Aku keluar sebentar, nggak apa-apa ya?"
"Kamu pulang sajalah. Biar aku yang nunggu hasil Labkrim dan Forensik."
Merasa tidak enak hati dengan Tim Labkrim dan Forensik yang harus kerja lembur untuk meneliti bukti-bukti dalam kasus tewasnya Bu William, Ars dan Denial memutuskan untuk menginap di DPM sambil menunggu hasil pemeriksaan. Karena sudah sering menginap di kantor untuk menangani kasus yang tergolong urgent, masing-masing detektif punya "senjata" sendiri-sendiri untuk membuat diri mereka merasa nyaman tidur di kantor. Senjata Ars dan Denial adalah kantong tidur lengkap dengan bantal yang disimpan dalam bagasi mobil. Mereka dapat tidur dimanapun di area Divisi 186 tanpa khawatir kedinginan.
"I am good, Den. Aku akan di sini. Tapi sekarang aku butuh udara segar. An hour or so. Setelahnya aku kembali kemari."
"Terserah kamulah."
"Aku keluar dulu ya. Go back to sleep, Hunter. Nanti kalau ada telepon dari Labkrim atau Forensik, jangan lupa kabari aku. Semoga nanti mereka juga langsung telepon aku sih." Ars bangkit dan melipat kantong tidurnya. Dia yakin tidak lagi dapat tidur setelah distraksi tadi.
Saat melangkah keluar kubikel, diperiksanya ponselnya. Ada satu pesan dari Janied. Sudah selesai tugasnya? Jangan lupa kasih kabar ya? Tell me that you are safe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ars: CYGNUS (Seri ke-3)
Mystery / ThrillerDokter Ralline Callista Mulya, dokter forensik DPM (Divisi Polisi Malang) sekaligus sahabat Detektif Ars Zhen, harus mendekam di sel tahanan DPM saat salah seekor K-9 mengendus Black Heart di meja kerjanya. Kasus itu segera ditangani oleh Detektif A...