(48) Cerita 2

375 54 7
                                    


Tony dipapah oleh dua orang polisi berseragam masuk ke ruang interogasi. Di dalam, Detektif Marabunta sudah menunggu. Saat Tony sudah duduk, alih-alih langsung mengajukan pertanyaan, Detektif Marabunta menarik maju punggungnya, melipat kedua tangannya di atas meja dan lama-lama menatap Tony.
Aku bayangkan sosoknya tinggi besar, tegap, berkulit gelap, dan berwajah sangar. Khas penjahat yang tega menyakiti korban secara fisik maupun verbal, batin Detektif Marabunta.

Di kursinya, ditatap nyaris tanpa kedip seperti itu membuat Tony bingung. Dia duduk gelisah, kadang menengadah, kadang menunduk.

"Mengapa Anda menatap saya terus? Mengapa Anda tidak menginterogasi saya?"

Detektif Marabunta tertawa seraya menarik kedua tangannya dari atas meja dan memukul-mukulkan meja seperti orang sedang berlatih menabuh drum.

"Mengapa? Anda terganggu? Anda tersiksa dengan tatapan saya? Apakah tatapan saya ini sama menyakitkannya dengan suntikan ke lengan Alvian?" tanya Detektif Marabunta tajam.

Seketika Tony menelan ludah dan tidak berani lagi mengangkat wajahnya.

"Saya baru saja menengok Alvian. Tapi saya tidak dapat melihatnya langsung karena dia berada di dalam ICU. Apa yang telah Anda lakukan membuatnya trauma dan harus menjalani perawatan yang mungkin membutuhkan waktu cukup lama karena banyaknya zat-zat yang seharusnya tidak masuk ke tubuhnya. Untuk alasan itu, saya ingin sekali menghajar Anda karena Anda telah merusak kondisi fisik dan psikis seseorang. Seseorang yang mungkin sebaya dengan anak Anda. Anda punya anak, bukan? Berapa usianya? Apakah lebih tua dari Alvian? Atau lebih muda dari dia? Atau sebaya dengannya?" Detektif Marabunta berdiri dan berjalan mendekati Tony. "Saat Anda menyuntik Alvian dengan narkoba, apakah Anda pernah membayangkan anak Anda sedetik saja? Bagaimana perasaan Anda jika anak Anda bernasib sama seperti Alvian?" Detektif Marabunta duduk di tepi meja. Kedua tangannya bersedekap dan matanya tidak beralih dari Tony. "Bagaimana perasaan Anda jika anak Anda bernasib sama seperti Alvian?" Detektif Marabunta mengulangi pertanyaannya dengan rahang beradu saat Tony tidak juga menjawab pertanyaannya.

"Jawab, sialan." Detektif Marabunta berdiri sambil menggebrak meja sampai-sampai Tony berjingkat dari duduknya. Tapi sampai beberapa menit kemudian, Tony tidak kunjung menjawab pertanyaan Detektif Marabunta. Detektif Marabunta menjauh dari meja dengan melangkah ke salah satu sudut ruangan untuk menenangkan diri. Hari-harinya sudah cukup melelahkan. Mencari barang bukti, melakukan pengejaran dan interogasi demi interogasi. Ada tersangka yang bersedia membuka mulut hanya dengan sekali gertak. Namun ada pula yang memberikan informasi setelah mendengar ancaman-ancaman.

Detektif Marabunta kembali menatap Tony lalu sedetik kemudian dia kembali melangkah ke kursinya dan duduk di hadapan Tony. Tapi langkahnya terhenti oleh dering pesan ponselnya. Dari Ars. Detektif Marabunta berhenti melangkah dan membaca pesan itu.

Aku baru saja selesai dengan Erlita. Kapten Montreal memberitahuku kalau kamu yang bertugas menginterogasi Tony. Cari tahu tentang William Sandajaja, motif pembunuhan janda William sekaligus alasannya menyekolahkan dua putra William ke Jerman. Trims.

Detektif Marabunta tidak membalas pesan Ars. Dimasukkannya ponselnya ke saku jaketnya lalu dia melangkah menuju kursinya.

"Oke, sekarang kita mulai interogasi agar Anda tidak bertanya-tanya lagi. Saya dengar ada kata Cygnus dalam kasus penyelundupan ini. Darimana Anda mendapatkan kata itu?"

"Dari buku Biologi anak saya. Waktu itu saya iseng membacanya dan menemukan kata Cygnus yang artinya adalah angsa."

"Jadi itu bukan kata sandi untuk menyelundupkan narkoba?"

"Bukan." Tony menggeleng. "Tapi beberapa orang mengira kalau itu adalah kata sandi, tapi saya membiarkannya. Saya pikir itu lebih aman."

"Beberapa orang siapa?"

Ars: CYGNUS (Seri ke-3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang