(20) Pendek

259 38 1
                                    

Detektif Hanif dan Detektif Erlita sudah menghabiskan waktu hampir satu jam berada di dalam mobil Detektif Hanif yang parkir di sebuah ruas jalan di Jalan Salak. Dua gelas kopi yang mereka beli dalam perjalanan mereka ke Jalan Salak sudah nyaris tandas. Penampilan Detektif Hanif tidak ubahnya seperti pakaian yang turun dari tali jemuran dalam keadaan masih lembab karena kurangnya panas matahari. Rambut ikalnya sedikit awut-awutan dan lepek. Kemeja yang dikenakannya juga sudah berumur dua hari. Penampilan Detektif Erlita tidak sekucel partnernya. Mini beauty case yang selalu dibawanya membantu menyamarkan mata panda karena kurangnya waktu beristirahat. Itu bukanlah pemandangan asing di Divisi 182. Peredaran narkoba dalam bentuk apapun memang tidak kenal waktu. Sepertinya sesempit apapun celah di dunia, dapat digunakan untuk menyelipkan narkoba.

"Kamu yakin dia akan datang hari ini, Nif?"

Detektif Hanif mengangguk. "Aku sudah menghubunginya. Tunggu saja."

"Kamu dikenalin siapa?"

"Si Umam. Umam bilang Pendek lebih tahu tentang Black Heart."

"Pendek?" kening Detektif Erlita berkerut.

Detektif Hanif terkekeh. Nama aslinya sebenernya bagus lho. Gumilar Hariyatno. Artinya anak laki-laki yang terus terang dan mulia hidupnya. Tapi karena posturnya pendek, oleh teman-temannya dia dipanggil pendek. Saat SMP, dia menggilai basket. Orang tuanya sangat mendukung hobinya itu. Posturnya yang kecil dan pendek dilirik menjadi play maker andalan. Hingga suatu saat dia ditawari oleh pihak sekolahnya untuk ikut porda cabang bola basket. Pendek bersedia. Sayangnya, dia gagal seleksi karena faktor usia. Ijazahnya menunjukkan usianya tiga bulan lebih tua dari standar usia yang ditetapkan. Usianya yang masih muda membuatnya memandang kegagalan itu sebagai kegagalan hidupnya hingga salah seorang temannya mengenalkannya pada bong dan sabu-sabu. Dia merasa saat itulah dia mempunyai kehidupan baru yang bergairah dan lebih bersemangat. Selama lima tahun dia menganggapnya seperti itu meski lingkungannya menganggap sebaliknya. Di tahun keenam, tatapan mata seorang gadis penjual gorengan langganannya membuatnya tahu bahwa dia harus berubah. Pendek mulai menjauhi narkoba sekaligus teman-teman yang biasa mengajaknya. Bukanlah usaha yang mudah untuk lepas dari narkoba karena teman-temannya kerap mendatanginya dan menawarkan barang gratis. Tapi tatapan mata gadis yang kemudian menjadi istrinya, membuatnya bertekad bulat menerima tawaran teman-temannya. Narkoba membuat Pendek kehilangan ijazahnya. Pamannya yang berjualan nasi goreng berbaik hati mengajarinya memasak nasi goreng dan membagi resep rahasianya. Setelah dua minggu belajar memasak nasi goreng sesuai ajaran pamannya, Pendek mantap menjadikan nasi goreng sebagai lahan nafkahnya. Tetapi kenangan kelamnya dengan narkoba tidak dapat lepas begitu saja. Namun kali ini dia memilih jalan yang menurutnya dapat membantu pihak kepolisian memberantas narkoba. Menjadi informan. Bukan hal yang mudah menjadi informan karena seringkali nyawa menjadi taruhannya karena kamu tahu sendiri, kan, mata narkoba ada di mana-mana. Tapi Pendek sudah menjalin komitmen dengan dirinya sendiri bahwa dia akan melakukan apapun untuk membebaskan lingkungan dekatnya dari pengaruh narkoba." Detektif Hanif mengakhiri ceritanya seraya menyesap sisa kopinya. Sedetik kemudian wajahnya berkerut. "Tinggal ampas," katanya lalu kembali mengarahkan pandangannya ke jalan.

"Lalu dia tahu darimana tentang Black Heart?"

"Menurut cerita Umam sebelum aku kenal dekat dengan Pendek, menjadi informan detektif narkoba adalah pekerjaan sampingan Pendek selain pekerjaan utamanya menjadi penjual nasi goreng. Gerobaknya yang mangkal persis di depan Karaoke Sing Song membuatnya tahu banyak apa yang terjadi di dalam tempat yang juga terkenal dengan sebutan twelve golden girls karena mempunyai dua belas purel yang cantik."

Seorang tukang ojek online menurunkan penumpang, seorang pria pendek, di depan sebuah rumah, tidak jauh dari tempat Detektif Hanif dan Detektif Erlita menunggu.

"Itu dia." Detektif Hanif mengedikkan kepalanya.

Penumpang tadi berdiri sejenak di depan rumah tempat turunnya, menengok ke kiri dan ke kanan lalu berjalan menuju mobil Detektif Hanif.

"Lama amat, ndek?" Detektif Hanif memanggil pria pendek itu sesuai dengan postur tubuhnya.

"Tadi ada urusan." Pria pendek itu menyerahkan lipatan kertas kecil pada Detektif Hanif.

Detektif Hanif membuka lipatan kertas itu, membacanya sejenak lalu menyerahkannya pada Detektif Erlita.

"Karaoke Sing Song Room 5 dan 7 dan Diskotik Freezing. Bartender: Roman," Detektif Erlita membaca. "Yang paling banyak dimana?"

"Dua-duanya banyak. Biasanya di Sing Song dulu lalu dibawa ke Freezing. Meski tempatnya kecil, yang datang kesana bukan orang sembarangan. Biasanya mereka menggunakan room lima dan tujuh untuk transaksi. Kalau di Freezing, bartender Roman tahu segala tentang Black Heart. Dia juga yang membawa Black Heart dari Sing Song ke Freezing. Satu lagi," Pendek memperingatkan. "Jangan bawa banyak orang dulu. Jangan razia dan semacamnya. Bisa jadi mereka mengganti hari transaksi. Aku masih belum mendapatkan informasi valid tentang hari transaksi. Kabarnya mereka sering mengganti hari-hari transaksi untuk mengelabui polisi."

"Ok, ndek, trims." Detektif Hanif memberikan amplop putih kecil pada pria pendek itu.

"Oh ya, jangan datang malam-malam ke Sing Song. Kamu nggak bakal dapat apa-apa. Mulai ramai jam satu dini hari. Biasanya sampai jam tiga-an."

"Oke. Trims, ndek."

"Ya, sama-sama."

"Kita kemana sekarang?" tanya Detektif Erlita setelah Pendek keluar.

"Pulang. Tidur. Nanti malam kita begadang."

Ars: CYGNUS (Seri ke-3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang