(34) Dicecar

294 50 11
                                    

 "Aku tadi sudah memberitahunya, Nif, kalau dia bersedia bekerja sama denganku dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaanku, aku bisa membantu meringankan jatah hukumannya." Detektif Marabunta merubah posisi duduknya, berhadap-hadapan dengan Detektif Hanif. Disilangkannya kaki kanannya ke atas kaki kiri sementara kedua tangannya bersedekap di dada. "Kalau narkoba kira-kira sepuluh tahun ya, Nif. Penculikan lima tahun, tergantung tugasnya. Dan pembunuhan lima belas tahunan. Ditotal sudah tiga puluh tahun sendiri. Sekarang umurnya dua puluh tujuh tahun. Nanti dia bebas saat berumur lima puluh tujuh tahun, kan, Nif?" Detektif Marabunta sengaja mengacak-acak perasaan Marwan dengan menekankan angka-angka hukuman yang mungkin akan dibebankan pada pria berambut cepak itu. Setelah melihat tato di lengan kiri Marwan, Detektif Marabunta yakin secuil hati pria yang duduk di seberangnya itu masih bekerja, terlepas alasannya menculik Alvian dan membunuh janda William. Mungkin bagi kebanyakan orang tato hanya dianggap sebagai hiasan tanpa ada alasan tertentu. Tapi bagi sebagian orang lain, tato berlaku seperti diary. Tempat mencurahkan perasaan dalam bentuk kata, gambar maupun simbol khusus yang hanya dimengerti oleh si empunya untuk alasan yang bersifat melankolis. Detektif Marabunta tahu karena dia juga mempunyai tato inisial putra pertamanya yang meninggal dua jam setelah lahir.
"Wahh...tua di penjara tuh ya. Itu kalau perkiraanmu benar. Kalau salah dan ternyata angkanya bertambah, bagaimana?" Detektif Hanif membeli permainan Detektif Marabunta untuk memanasi-manasi Marwan. Ucapannya seperti kayu kering yang ditumpahkan ke dalam tungku yang dengan cepat membuat api berkobar.
Di kursinya mau tidak mau Marwan merinding juga. Dia sama sekali tidak menyangka kalau polisi berhasil menangkapnya dan dia akan menerima hukuman selama itu. Usahaku untuk membahagiakan Narti akan sia-sia saja. Aku tidak dapat berada di sisinya seperti yang sudah aku rencanakan. Narti akan menjadi istri orang. Dan aku juga tidak bisa lagi bermain layang-layang bersama Hananto seperti yang biasanya kami lakukan. Tangan kanan Marwan bergerak ke tangan kirinya untuk mengelus tato wajah Hananto, putra Narti. "Hukuman saya akan berkurang berapa tahun kalau saya bersedia kerjasama?" tanya Marwan dengan kepala menunduk. Dia tahu polisi sudah mengetahui banyak hal yang dilakukannya. Tidak ada gunanya lagi bersembunyi.
Detektif Marabunta mengedipkan sebelah matanya pada Detektif Hanif, merasa bahwa usahanya untuk mengobrak-abrik perasaan Marwan berhasil.
"Tergantung pada informasi yang kami inginkan. Apakah kamu dapat menjawab semua atau sebagian pertanyaan kami." Detektif Marabunta merubah posisi duduknya, menghadap Marwan.
Marwan mengangguk. "Saya mengerti."
"Bagus kalau kamu mengerti. Baiklah sekarang saya ingjn bertanya. Apa yang kamu ketahui tentang Cygnus?" Detektif Marabunta menarik maju punggungnya sehingga posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Marwan, seolah-olah jawaban yang akan keluar dari mulut Marwan hanya boleh didengarnya sendiri.
"Sudah saya katakan tadi kalau saya tidak tahu apa-apa tentang Cygnus. Suatu hari saya memang sempat mendengar Pak Tony dan Pak Yanto mengobrol tentang Cygnus tapi saya tidak tahu apa itu Cygnus. Bahkan saya salah mengeja kata itu sampai suatu hari saya melihat Pak Tony menulis kata itu di sebuah kotak...
"Apa warna kotaknya?" Potong Detektif Marwan.
"Hmm...hmm...,"Marwan mengingat-ingat.
"Yang bener ya kalau membagi informasi," Detektif Hanif mengarahkan telunjuknya ke wajah Marwan.
Pada saat yang bersamaan Denial yang sedari tadi berada di ruang observasi bersama dengan Kapten Montreal, masuk ke ruang interogasi dengan membawa map putih yang langsung dibantingnya di atas meja. Denial mengambil sebuah kursi di sudut ruangan lalu membawanya ke meja untuk duduk bergabung dengan dua rekannya. 

Menghadapi tiga orang detektif sekaligus, mau tidak mau membuat Marwan panik. Dia menggoyang-goyangkan kakinya untuk membuatnya sedikit tenang. Tapi karena gerakan kakinya membuat ruangan interogasi sedikit berisik karena bunyi rantai yang memborgol tangan dan kakinya beradu dengan lantai.

"Ya. Ini saya sedang mengingat-ingat," kata Marwan dengan kepala menunduk. "Hmm...kalau tidak salah kotaknya seperti kotak sepatu yang dibungkus kertas kado warna coklat," jawabnya kemudian.
"Kamu tadi menyebut nama Pak Tony dan Pak Yanto. Siapa mereka?" tanya Denial.
"Pak Tony adalah pemilik tempat pemotongan unggas. Pak Yanto manajernya."
"Lalu apa kaitan antara tempat pemotongan unggas dengan narkoba?" Detektif Marabunta terus mengejar.
"Saya tidak tahu." Marwan menggeleng-geleng.
"Bohong kalau kamu tidak tahu." Denial menggebrak meja. "Pak William meninggal karena overdosis. Dia bekerja di tempat pemotongan unggas itu. Pasti ada kaitan antara narkoba dengan tempat pemotongan unggas itu." Denial berdiri dari kursinya lalu dia bergerak mendekati Marwan. "Jadi apa kaitannya?" cecar Denial.
"Namamu juga beredar di Freezing, Marwan," kata Denial lagi setelah beberapa saat menunggu Marwan membuka mulut. "Roman mengatakan kalau kamulah yang menawarinya bekerja sebagai kurir narkoba. Benar, bukan?" Denial membungkuk dengan menopangkan kedua tangannya di atas meja. Kamu memintanya untuk berhati-hati, terutama dengan uang-uangnya. Benar, bukan? Kamu juga membunuh Bu William dengan meracuninya menggunakan Blue Safir. Jadi jangan katakan kalau kamu tidak tahu apa-apa tentang narkoba atau kamu tidak tahu kaitan antara tempat pemotongan unggas itu dengan narkoba." Denial mengarahkan telunjuknya pada Marwan. Matanya menatap Marwan lekat-lekat.
Suasana di ruang interogasi menjadi sedikit panas karena kehadiran Denial yang menerapkan hard breaking procedures untuk mengeruk informasi dari Marwan. Detektif Marabunta yang memilih untuk melakukan soft breaking procedures hanya diam sambil menyilangkan tangannya di dada, menatap Marwan. Dia tidak ingin menginterupsi Denial karena dia paham masing-masing detektif bekerja dengan cara mereka sendiri-sendiri.
"Kalau kamu menyuruh Roman untuk menjadi kurir, saya yakin kamu tahu asal narkoba-narkoba itu. Apa yang kamu mainkan? Black Heart atau Blue Safir? Atau dua-duanya?"
Denial bergerak kembali ke kursinya, menariknya ke tempat dia berdiri tadi. Kini posisinya sangat dekat dengan Marwan. Denial duduk dengan napas memburu. "Kami tidak suka menggali informasi dengan kekerasan, Marwan. Tapi saya dan dua detektif ini," mata Denial sekilas bergerak menatap Detektif Marabunta dan Detektif Hanif, "tidak segan untuk menekanmu lebih keras agar kamu mengatakan informasi yang ingin kamu ketahui. Keras atau tidaknya kami itu terserah kamu," lanjut Denial seraya menyilangkan kedua tangannya di dada. "Setelah ini kami harap kamu mengatakan informasi dengan sejujur-jujurnya."
Denial menunggu jawaban Marwan beberapa saat lalu mengangguk ke arah Detektif Marabunta setelah dilihatnya Marwan mengangguk.
"Oke, kembali ke pertanyaan awal saya tadi. Tentang Cygnus. Jadi kamu tidak tahu arti kata itu tapi kamu pernah melihatnya tertulis di kotak yang dibungkus kertas berwarna coklat?" Detektif Marabunta mengonfirmasi keterangan yang tadi dikatakan oleh Marwan.
"Ya." Marwan mengangguk.
"Dimana kamu pernah melihat kotak itu?" tanya Denial.
"Di rumah Pak Tony."
"Bukan di tempat pemotongan unggas itu?"kejar Denial.
"Bukan, bukan." Marwan menggeleng keras-keras.
"Dimana rumah Pak Tony?" Kali ini Detektif Hanif yang bersuara.
"Kira-kira dua ratus meter dari tempat pemotongan unggas itu."
"Selama ini kamu bekerja di tempat pemotongan unggas itu atau di tumah Pak Tony? tanya Denial.
"Dua-duanya. Tapi lebih sering di rumah Pak Tony."
"Apa sebenarnya pekerjaanmu sehingga kamu mempunyai waktu luang mengurusi narkoba dan menculik Alvian?" tanya Denial yang cepat-cepat mengacungkan telunjuknya ke wajah Marwan. "Ingat ya, kamu sudah berjanji untuk berkata jujur." Denial memperingatkan.  

Ars: CYGNUS (Seri ke-3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang