Denial memasang headsetnya seraya menyalakan Gazoo. Diletakkannya ponselnya di jok samping sopir agar dia dapat menyetir dengan baik.
"Kok nggak dijawab-jawab sih," gerutunya sambil mengarahkan mobilnya keluar gerbang DPM. Ditekannya klakson mobil dua kali untuk menyapa polisi berseragam yang berjaga di pos. Tapi beberapa saat kemudian Denial sontak menekan rem saat melihat Bella keluar dari sebuah mobil dan berjalan menuju pos jaga. Dimatikannya sambungan telepon dan dicabutnya headset dari telinganya lalu dia melesat keluar.
"Bella," panggilnya.
"Ah, Detektif Denial." Bella berlari kecil menghampiri Denial. "Kebetulan bertemu Anda disini." Wajah Bella memancarkan kekhawatiran dan kepanikan. "Saya ingin mengetahui kabar mama saya. Kemarin sore saya menerima WA dari mama, memberitahukan kalau beliau berada di DPM. Itu adalah WA terakhir dari mama saya. Setelah itu saya tidak mendapatkan kabar apapun dari beliau. Apakah mama saya baik-baik saja, detektif?"
Denial menelan ludah saat melihat mata Bella mengerjap-ngerjap. "Sebentar Bella, saya menepikan mobil dulu." Denial melangkah cepat menuju mobilnya lalu memarkirnya di bawah pohon rambutan di samping pos jaga. Denial melakukan semuanya serba cepat. Dia merasa bersalah pada gadis itu karena tidak segera memberitahunya.
"Mari kita ke lobi." Denial menggandeng tangan Bella. Sambil melangkah, otaknya berpikir keras merangkai kalimat untuk mengabarkan duka pada Bella. Itu bukanlah hal yang mudah baginya karena Bella pernah memintanya untuk menjamin keselamatan ibunya. Meski pada saat itu Denial tidak secara eksplisit menyatakan kesanggupannya, dia tahu Bella berharap banyak padanya. Parahnya, Bu William tewas saat janda itu berada di bawah tanggung jawabnya. Refleks tangan kiri Denial menyugar rambutnya, berusaha mengusir kegelisahannya.
"Ada apa, detektif? Mengapa wajah Anda terlihat tegang?" tanya Bella.
Denial tidak menjawab. Dia kian erat menggenggam tangan Bella, mengajaknya melangkah cepat menuju lobi.
"Silahkan duduk, Bella." Denial mempersilahkan Bella duduk di sofa. Dia sendiri mengambil posisi duduk tepat dihadapan gadis yang mempunyai tahi lalat di area antara kedua matanya. "Bella," Denial menyebut nama gadis itu dengan kedua tangannya menggenggam tangan Bella. "Mamamu memang datang kemari kemarin sore untuk memenuhi panggilan saya. Beliau dijemput oleh polisi berseragam. Setelah itu beliau masuk ke ruangan interogasi. Saya menginterogasinya, menanyainya pertanyaan-pertanyaan tentang Cygnus dan papamu. Tapi mamamu lebih banyak diam. Beliau memang menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, tapi banyak pertanyaan-pertanyaan saya yang dijawab dengan diamnya. Akhirnya saya memasukkan mamamu ke sel, memberinya waktu berpikir, sekaligus sebagai shock theraphy. Tapi kemudian ada sesuatu yang terjadi di sel." Denial diam, lagi-lagi memikirkan informasi yang berisi ucapan duka atas meninggalnya Bu William.
"Ada apa, detektif? Apa yang terjadi di sel?" Bella melepaskan tangannya dari genggaman Denial. Diletakkannya kedua tangannya di atas lutut.
"Seseorang mendatangi mamamu di sel. Orang itu meracuni mamamu dengan salah satu zat narkoba sehingga beliau tewas." Denial mengucapkan informasi penting itu setenang mungkin dengan suara sejelas mungkin agar dia tidak perlu mengulanginya.
Bella mengangkat satu tangannya. Digunakannya tangan itu untuk menutupi mulutnya. Dengan tangan masih menutupi mulutnya, Bella lemas menyandarkan punggungnya ke punggung sofa.
"Maaf saya terlambat untuk memberitahumu. Saya berencana untuk memberitahumu setelah saya dari Labkrim. Pembunuh mamamu sudah berhasil kami tangkap. Dia memberikan informasi yang sangat penting pada kami. Tadi saya keluar untuk memburu informasi itu. Setelahnya saya berencana langsung menuju rumahmu. Tapi kamu sudah terlebih dulu datang kemari."
Bella menurunkan tangannya. Kemudian dia menarik punggungnya maju dan menyangga dagunya dengan kedua tangan. Setelahnya dia membebaskan tangannya dari dagu dan mengarahkan keduanya ke rambutnya, menyugarnya. Saat itu Bella merasa kesulitan menerjemahkan perasaannya. Dia memang tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan kedua orang tuanya sama seperti kedekatan yang dimilikinya dengan kakek dan neneknya. Terutama kakeknya. Tapi menghadapi kenyataan bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal juga bukanlah hal yang mudah baginya. Terlebih menurutnya mereka meninggal secara tragis. Ada satu sisi hatinya yang tiba-tiba teriris sepi, memikirkan setelah ini hanya tinggal dirinya dan dua orang pembantu di rumah. Kedua kakaknya pasti kaget mendengar berita duka ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ars: CYGNUS (Seri ke-3)
Mystery / ThrillerDokter Ralline Callista Mulya, dokter forensik DPM (Divisi Polisi Malang) sekaligus sahabat Detektif Ars Zhen, harus mendekam di sel tahanan DPM saat salah seekor K-9 mengendus Black Heart di meja kerjanya. Kasus itu segera ditangani oleh Detektif A...