Sesempit apapun waktu yang dimilikinya, Ars selalu memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk memikirkan kasus yang dihadapinya. Untuk menuju ke TKP pembunuhan di Jalan Intan, mau tidak mau Ars harus berhadapan dengan kemacetan yang menumpuk di Jalan Tumenggung Suryo. Saat itu pukul 9.15. Toko-toko dan pabrik-pabrik yang menyebar di daerah itu menyerap banyak tenaga kerja yang bergerak seperti ratusan lebah yang digiring masuk ke sarang. Mereka keluar dari rumah kontrakan dan rumah kos yang banyak menyebar di sisi kiri jalan untuk menyeberang ke tempat kerja mereka di sisi kanan jalan. Ars menghentikan laju Si Hiu, memberikan kesempatan pada sekelompok wanita berseragam coklat dan bertopi kuning yang bekerja di salah satu pabrik untuk menyeberang jalan. Itu memberinya pula kesempatan untuk memikirkan kasus yang dihadapi Ralline. Siapa pria itu? Apa motifnya memberikan novel itu pada Ralline? Ars bertanya-tanya. Ralline bukan wanita bodoh atau ceroboh yang mau begitu saja dititipi sesuatu oleh seseorang yang tidak dikenalnya. Detektif Hanif bilang seseorang yang menurut saksi adalah seperti kawan lama mengobrol sekitar setengah jam di ruangan Ralline. Mengapa orang itu datang pagi-pagi sekali? Sepertinya dia sudah sejak lama berencana menjebak Ralline, pikir Ars.
Ars tiba di Jalan Intan lima belas kemudian. Dia memarkir Si Hiu di depan Gazoo Denial. Keduanya turun nyaris bersamaan.
"Ars, sudah tahu tentang Ralline?" Denial menyongsong Ars.
"Sudah," jawab Ars tidak bersemangat. "Kamu sudah tahu juga? Tahu darimana?"
Denial mendengus. "Walls have ears, Ars."
"Kalau berita baik yang menyebar, itu perlu disyukuri, Den," jawab Ars seraya berderap mendekati TKP. "Tapi kalau berita buruk yang beredar, kita harus mewaspadainya. Parahnya sekarang ini berita buruk langsung cepat tersebar tanpa disaring lebih dulu. Akibatnya informasi yang kita dapat juga setengah-setengah dan seringnya hanya berdasarkan "katanya"," Ars membuat tanda kutip dengan tangannya. "Kata si A, atau si B. Sepertinya filter hanya berlaku disaat kita ingin minum kopi dengan manual brewing, Den." Ars tersenyum miris.
"Kamu sudah nengokin dia, Ars?" tanya Denial, berusaha menyembunyikan nada kekhawatiran dan kepeduliannya. Kesan pertama terhadap sesuatu atau seseorang dapat muncul kapan saja dan untuk alasan yang beragam pula. Sejak mengajak Ralline ke pesta resepsi dua hari sebelumnya untuk mengungkap kasus pembunuhan mempelai pria yang terjadi dua hari berturut-turut, Denial tidak lagi melihat Ralline hanya sebagai dokter forensik DPM. Penampilan Ralline malam itu membuat Denial ingin mengenalnya lebih dekat dan berbicara lebih banyak hal daripada sekedar tentang hasil otopsi mayat korban pembunuhan.
"Belum. Tapi aku tadi menyempatkan diri ke TKPnya. Setelah dari sana, aku berencana menengoknya tapi rupanya pembunuh datang lebih cepat."
"Jadi benar kalau seseorang meletakkan Black Heart di dalam novel yang diberikannya untuk Ralline?" tanya Denial.
Ars mengangguk.
"Kok Ralline nggak ngerti kalau di dalam novel ada Black Heart?" kening Denial berkerut.
"Ingat bom buku yang bikin Letkol Doni kehilangan satu tangannya?"
"Jadi pelaku melubangi novel itu dan meletakkan Black Heart di bagian novel yang berlubang?"
"Tepat. Aku sudah memotret sketsa wajah orang yang memberikan novel itu." Ars berhenti bercerita saat mereka berdiri di depan sebuah mobil Timor merah yang diparkir di depan rumah berpagar hitam. Polisi berseragam yang mengenakan rompi warna coklat bergaris emas di bagian tepinya dan bertuliskan Tim Labkrim di bagian dada dan punggung menyebar ke berbagai sudut untuk menemukan bukti-bukti.
"Detektif Ars, Detektif Denial, selamat pagi," sapa Dokter Helmy Wijaya yang bertugas sebagai dokter forensik menggantikan Ralline. "Detektif Ars, saya ikut menyesal dengan apa yang terjadi pada Dokter Ralline. Saya tidak menyangka....
"Apa penyebab kematian korban, Dokter Helmy?" potong Ars, sedikit jengah. Dia tahu apa yang akan dikatakan oleh dokter berkepala plontos itu. Ars malas menanggapinya karena kemungkinan pembelaannya akan berujung pada perdebatan. Sudah bukan rahasia lagi kalau udara kompetisi menguar di Instalasi Forensik Seroja antara Dokter Ralline Callista Mulya dan Dokter Helmy Wijaya untuk menduduki kursi kepala Instalasi Forensik. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh dokter yang gemar mengelus-ngelus kepalanya saat berpikir keras karena Ars tahu Ralline sesungguhnya tidak berambisi menduduki kursi kepala. Lain halnya dengan dokter pengganti yang kini berdiri di hadapannya ini. Menghindari kemungkinan kredit Ralline akan turun jika dia membelanya, Ars memilih diam.
"Silahkan melihat kondisi korban, Detektif Ars, Detektif Denial." Dokter Helmy bergantian memandang Ars dan Denial.
Denial mengedikkan kepalanya memberi kode pada Ars untuk terlebih dulu melihat korban. Seraya memasang sarung tangannya, Ars membungkuk. Seketika perhatian matanya direbut oleh luka memanjang di leher pria itu. Sayatan yang dalam dan rapi. Pelaku melakukannya dengan penuh percaya diri seolah-olah dia memang dilahirkan untuk itu. Pisau yang digunakan pun sangat tajam karena pelaku harus melakukan tugasnya dengan cepat. Mungkin dia tidak punya banyak waktu. Atau mungkin dia menaruh belas kasihan pada korban untuk mengurangi rasa sakit saat dia memutus urat leher korban. Tapi Ars segera meragukan dugaan terakhirnya. Apapun motif pembunuh, Ars yakin, belas kasihan sama sekali tidak ada di dalam daftarnya.
Kini mata Ars beralih ke wajah korban. Dahinya berkerut mengamati wajah pria yang kemeja abu-abunya lembab karena darah dari leher tidak berhenti mengalir. Tangan kanannya bergerak memalingkan wajah pria itu dari posisi miring kiri ke posisi miring kanan untuk memastikan kebenaran penglihatannya.
Ars menghela nafas panjang seraya menarik punggungnya keluar. "Den, mayat kita kali ini adalah orang yang tadi pagi memberi novel pada Ralline." Ars memberikan ponselnya pada Denial. "Lihatlah foto sketsa wajahnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ars: CYGNUS (Seri ke-3)
Mistério / SuspenseDokter Ralline Callista Mulya, dokter forensik DPM (Divisi Polisi Malang) sekaligus sahabat Detektif Ars Zhen, harus mendekam di sel tahanan DPM saat salah seekor K-9 mengendus Black Heart di meja kerjanya. Kasus itu segera ditangani oleh Detektif A...