(46) Cerita 1

374 68 16
                                    


Kapten Ryo pelan-pelan menggeser tubuhnya ke arah mejanya lalu bersandar disana. Informasi yang baru saja disampaikan Pratu Teguh seperti halilintar yang menyambar tubuhnya. Tatapan tajamnya tidak beralih dari Detektif Erlita. Semakin lama dia menatap anak buahnya, gemuruh dadanya kian menggelegar.

"Saya minta tolong pada Detektif Hanif dan Detektif Ars untuk tetap di ruangan ini. Sementara yang lainnya silahkan keluar," katanya dengan rahang gemeretak.

Ars refleks melihat Kapten Montreal untuk meminta persetujuan. Menurutnya kasus Detektif Erlita adalah kasus Divisi 182. Dia merasa tidak mempunyai hak untuk ikut campur. Tapi setelah dilihatnya Kapten Montreal mengangguk, Ars pun mengerti kalau dia harus menuruti permintaan Kapten Ryo. Pratu Teguh dan Kapten Montreal yang paling dekat dengan pintu terlebih dulu keluar, disusul Denial.

Ketika Denial sudah berada di luar, Kapten Montreal mendekatinya.

"Den, bawa tim penyisir ke rumah Detektif Erlita sekarang juga. Bisa jadi kamu akan menemukan banyak hal di sana. Tadi saya ditelepon oleh Kapten Anas. Dia bilang Detektif Marabunta akan menginterogasi Tony segera setelah luka Tony ditangani di Seroja. Kita tunggu hasil interogasi Detektif Mara sambil menunggu Ars keluar dari sana." Kapten Montreal mengedikkan kepalanya ke arah ruangan Kapten Ryo.

"Baik, Capt."

Sementara itu di dalam ruangan, Kapten Ryo mengambil satu gelas besar air putih untuk menenangkan dirinya. Kekecewaannya pada salah satu detektif wanita di Divisi 182 itu teramat sangat besar. Maraknya kasus narkoba yang menembus setiap level masyarakat membuat Kepolisian Indonesia menebar genderang perang narkoba di segala penjuru. Polisi detektif dan polisi berseragam di Divisi 182 di Divisi Polisi seluruh Indonesia diwajibkan untuk bergerak cepat dan tegas dalam memberantas laju penyelundupan dan peredaran narkoba. Divisi 182 DPM atau Divisi Polisi Malang saat itu mendapat sorotan dari pusat karena Malang yang terhitung sebagai kota metropolitan terbesar kedua setelah Surabaya merupakan wilayah strategis untuk menyelundupkan sekaligus mengedarkan narkoba. Banyaknya sekolah dan universitas di kota yang tidak hanya disebut sebagai kota Bunga tapi juga kota macet itu merupakan ladang gembur bisnis narkoba yang menyasar remaja-remaja yang menghadapi masalah klasik dalam perkembangan hidup mereka: mencari jati diri. Baik polisi detektif dan polisi berseragam ditugaskan untuk melindungi pelajar-pelajar di berbagai tingkat pendidikan itu dari amukan setan narkoba. Tragisnya justru anak buahnya sendiri adalah bagian dari setan itu. Saat Ars masuk, Kapten Ryo duduk berhadap-hadapan dengan Detektif Erlita, sementara Detektif Hanif duduk di samping Detektif Erlita. Sama seperti wajah Kapten Ryo, Ars melihat wajah Detektif Hanif juga berselimut kemarahan dan kekecewaan.

"Erlita, apa yang sebenarnya terjadi? Saya perintahkan kamu untuk menjawab pertanyaan saya itu." Kapten Ryo sengaja tidak memanggil Detektif Erlita tanpa embel-embel detektif untuk menghilangkan kesan formal yang bisa jadi menghambat keingintahuannya untuk mengetahui alasan anak buahnya terlibat dalam narkoba. "Saat ini saya sangat marah padamu. Kamu benar-benar telah mencoreng, mempermalukan Divisi 182." Suara Kapten Ryo bergetar. Satu tangannya yang mencengkeram tepian meja memutih, sementara tangan lainnya mengepal.

Di tempat duduknya Ars melihat Detektif Erlita masih menunduk. Samar-samar Ars melihat punggung rekan detektifnya itu berguncang-guncang.

"Nif, kamu partnernya, kamu yang menghabiskan banyak waktu bersamanya. Apa yang kamu ketahui tentang dia dan bisnis gelapnya ini?"

Detektif Hanif yang awalnya duduk sedikit membungkuk dengan menyangga dagu dengan kedua tangannya langsung merubah duduknya pada posisi tegak.

"Maaf, Capt, saya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Selama saya bertugas dengannya, Detektif Erlita tidak menunjukkan gerak-gerik yang mencurigakan."

Ars: CYGNUS (Seri ke-3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang