( 15 ) Bendera Putih

281 44 1
                                    

Janied sibuk di kitchen menyiapkan pesanan customer tapi pikirannya tidak benar-benar berada di sana. Dia sedang berusaha menghilangkan bayangan Ars berada dalam pelukan seorang lelaki seperti yang dilihatnya tadi pagi. Beberapa saat yang lalu dia sudah membaca pesan yang dikirimkan Ars. Menurutnya Ars sedang mengacungkan bendera putih padanya.

"Untuk meja nomer empat." Janied meletakkan empat buah potongan apple pie di atas piring.

"Mas, meja nomer empat memesan cheese cake, bukan apple pie," beritahu pegawainya yang sudah memegang nampan, siap mengantarkan pesanan. "Apple pie dipesan oleh meja nomer delapan. Mereka barusan dateng."

Janied mengambil kertas pesanan yang menancap di dinding kitchen untuk memastikan pesanan. "Oh, sial," rutuknya. "Oke, sebentar lagi akan saya siapkan. Apple pie jangan dikeluarin dulu. Ntar nggak enak sama meja nomer empat karena pesanan meja nomer delapan diduluin."

"Oke, mas."

Janied mulai menyiapkan cheese cake.

"Sepertinya ada yang nglamun nih," goda Bremo sambil menyiapkan spaghetti Aglio Olio.

Janied menoleh sekilas pada Bremo. "Eh...ya. Hmmm nggak juga ding." Janied mengedikkan bahunya seraya meletakkan tiga potong cheese cake di atas piring setelah menghiasnya dengan krim, irisan lemon dan strawberry.

"Wanita itu seperti lautan, Nied. Sedalam apapun kamu menyelaminya, you will find yourself lost somewhere and realizing that you do not know her after all." Bremo meletakkan Aglio Oglio ke atas piring saji lalu meletakkan parsley, beberapa potong udang dan jamur di atasnya. "Mas, sudah nih." Bremo memanggil salah satu pegawai pramusaji. "Untuk meja nomer enam."

"Yang ini juga sudah." Berikutnya Janied meletakkan sepiring cheese cake di nampan dan memanggil pramusaji lain untuk mengantarkan pesanan.

"Kalau begitu aku akan membeli peralatan selam paling mutakhir agar aku tidak tersesat dan tetap dapat memahami wanita. Memahaminya." Janied bersandar pada kitchen counter dan memberi penekanan khusus pada kata "nya."

"First fight, huh?" goda Bremo lagi.

"Kok kamu langsung ngomong first fight sih?"

Bremo terbahak. "Biasanya kata memahami muncul saat ada perbedaan pendapat. Aku nggak bisa memahamimu. Kamu nggak bisa memahami jalan pikiranku. Dan bla....bla....bla."

Janied terkekeh melihat gaya Bremo menirukan suara laki-laki dan wanita saat memeragakan dialognya barusan. Dilemparnya kain serbet pada temannya itu.

"Tapi menurutku itu asik-asik aja sih. Kita bisa memahami orang lain dengan berbagai cara, kan? Lewat obrolan, candaan, atau bahkan lewat pertengkaran," tambah Bremo.

"Yup...yup, I agree with you." Janied mengacungkan jempolnya. "Yang mengganggu pikiranku sekarang ini bukan pertengkaran kami, Brem,...well kalau itu memang layak disebut pertengkaran sih." Janied mengedikkan bahunya lagi. "Aku lebih memikirkan reaksiku atas apa yang telah terjadi."

"Memangnya apa yang terjadi?" Bremo mengangkat satu alisnya tapi sedetik kemudian dia mengangkat kedua tangannya. "Eits...nggak maksa cerita nih ya."

Janied tersenyum lalu menghela nafas panjang sebelum mulai bercerita. "Ya, ya, I know. Tapi ini bukan karena aku ingin memberikan kesan yang baik tentang diriku atau semacamnya. No." Janied mengibaskan tangannya di udara. "Tapi aku ingin lebih bisa menguasai diriku agar kalaupun nanti aku harus marah, aku tidak bersikap berlebihan yang ujung-ujungnya sampai menyakitinya. Kamu tahu, bagiku Ars itu," Janied memikirkan kata yang tepat untuk mendeskripsikan arti seorang Ars untuknya. "Ah...she is my everything, Brem. Mungkin terlalu pagi ya kalau aku ngomong seperti itu tapi saat pertama kali melihatnya, I knew, I just knew that she is the one I want to live with and to die for." Janied tersenyum. 

Ars: CYGNUS (Seri ke-3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang