(11) Tuhan Maha Guyon

300 45 2
                                    

23 Juli 2020

Mood Ars sangat baik di hari kedua penyelidikannya tentang mayat di Timor merah dan usahanya membantu Ralline. Sekali lagi dia harus berterima kasih pada Janied dan distraksinya. Karenanya ketika bel pintu rumahnya berbunyi pagi itu disaat dirinya sedang bersiap-siap berangkat ke DPM, Ars begitu bersemangat membuka pintu. Dia tidak sabar menerima mood booster yang diberikan Janied seperti yang diterimanya sehari sebelumnya.

"Hai." Senyum Ars mengembang lebar saat menggerakkan daun pintu, menyangka orang yang berdiri di balik pintu itu adalah Janied. Binar wajah sekaligus senyumannya seketika menciut melihat tamu yang berdiri tepat di atas keset bertuliskan Welcome.

Tidak hanya Ars yang terkejut. Di tempatnya berdiri Diaz Dirgantara juga merasakan hal yang sama. Dia sudah menyiapkan dirinya untuk menerima sambutan dingin dan acuh tak acuh Ars. Senyum dan binar di wajah mantan tunangannya itu, meskipun sekejap, membuatnya seperti winter yang diguyur summer.

"Hai! Ceria amat," sapa Diaz. Hatinya riang saat melihat senyum Ars. Sungguh mati dia selalu memimpikan senyum itu. Setelah perpisahan mereka, senyuman wanita yang masih dicintainya hingga detik dia berdiri di depan pintu rumah wanita itu tidak pernah hengkang dari lekuk memorinya.

"Oh, nggak, nggak apa-apa." Ars menutupi kegugupannya karena dia sama sekali tidak menyangka mantan tunangannya akan datang berkunjung. "Tumben, Di?" tanya Ars seraya menggerakkan tangannya, mempersilahkan Diaz untuk duduk di beranda.

"Iya, mampir. Sekalian nemenin Ayah. Beliau ada kunjungan tugas ke Malang. Jadi tadi habis nemenin ayah sebentar, aku ke sini. Kebetulan hari ini aku cuti."

"Ah, ya, kudengar ayahmu dipromosikan menjadi Wakil Kapolda ya?"

Diaz mengangguk. "Ya, beliau sekalian juga ngurusin itu. Ternyata banyak sekali yang harus disiapkan, terutama kelengkapan dokumen untuk keperluan sertijab. Karena hari ini aku cuti, jadi sepertinya aku akan membantu beliau agar semuanya cepat beres."

Ars tersenyum. "Sampaikan salam pada ayahmu ya. Selamat atas promosinya."

Ayahmu! Ya, ayahmu! Dulu tidak ada kata "mu" setelah kata ayah. Itu menandakan bahwa ayahmu berarti juga ayahku. Karena Ars dan Diaz sama-sama menyebut ayah untuk ayah masing-masing, mereka selalu menambahkan nama setelah kata ayah. Ayah Azzam yang berarti ayah Ars. Dan Ayah Zain yang berarti ayah Diaz. Namun setelah perpisahan mereka, tidak ada lagi Ayah Azzam atau Ayah Zain. Sebagai gantinya, mereka menggunakan kata "mu" setelah kata ayah. Ars yang mulai menggunakan kata itu karena dia merasa tidak perlu lagi menyebut ayah Diaz dengan sebutan Ayah Zain karena antara dirinya dan putra Jendral bintang satu itu sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi.

"Ya, nanti akan kusampaikan. Ah ya, almond panggang." Diaz mengeluarkan sekaleng almond panggang dari dalam tas ransel kecilnya dan memberikannya pada Ars. "Untuk cemilan di kantor. Aku nggak lupa kok kalau kamu suka nyemil almond panggang."

"Thanks," kata Ars singkat. Tidak ada lagi getar di hati saat Diaz mengatakan masih mengingat kebiasaannya karena kini sudah ada orang lain yang mempelajari apa yang disuka dan tidak disukainya. Sama seperti kutipan yang pernah dibacanya, bahwa jika sudah menemukan masa depan maka masa lalu hanyalah pantas untuk dikenang. Tidak lebih.

"Mau berangkat ke DPM nih?"

"Ya." Ars melihat jam tangannya. "Sudah akan pukul delapan."

"Oh, baiklah."

Ars berdiri saat Diaz berdiri. Tapi Ars sama sekali tidak memprediksi gerakan cepat Diaz untuk memeluknya.

"Aku kangen kamu, Ars," bisik Diaz tepat di telinga Ars.

Ars: CYGNUS (Seri ke-3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang