(23) Ke Lawang

265 43 0
                                    

Ars tidak langsung menyalakan Si Hiu setelah keluar dari Horosho. Moodnya membaik setelah berdamai dengan Janied. Dia duduk diam di balik kemudi memikirkan kasusnya serta kaitan-kaitannya. Diambilnya note booknya dari dalam tas dan mulai memeriksa catatan serta menulis temuan-temuan baru. Sejenak dia berhenti menulis untuk menelepon safe house.

"Hallo, ini Detektif Ars Zhen. Apa kabar tamu saya?"

"Baik, detektif. Sehat meski sedikit gelisah. Kemarin dia meminjam laptop untuk mengirim email ke kakak serta orang tuanya."

"Apa kamu sudah memeriksanya sebelum dia mengirimkan email itu?"

"Sudah, detektif. Memang benar email yang ditulisnya ditujukan untuk kakak dan orang tuanya."

"Apa isinya?"

"Dia menceritakan tentang apa yang terjadi padanya, keadaannya, keberadaannya, urusan jual beli rumahnya dan tentang saudaranya. Namanya Boy."

Di line seberang, Ars mengangguk-angguk. "Apa ada hal yang mencurigakan di sana? Orang yang mondar-mandir, mengawasi, atau semacamnya?"

"Tidak ada, detektif."

"Ponselnya masih mati, kan?"

"Ya, sesuai perintah Anda."

"Oke, trims. Tetaplah waspada," pesan Ars sebelum mengakhiri pembicaraan telepon.

"Baik, detektif."

Ars kembali pada buku catatannya. Kali ini dahinya berkerut. Kalau Roy diawasi, mengapa dia tidak dicari? Seharusnya dia dicari kalau keberadaannya erat kaitannya dengan kematian saudara kembarnya. Buktinya ada orang yang tahu kalau dia menginap di Guest House Nirwana, bahkan masuk ke kamarnya dan menukar oleh-oleh buku untuk Ralline. Tapi setelah Boy tewas, kesannya Roy dibiarkan begitu saja. Kalau dia diawasi, seseorang atau sekelompok orang pasti membuntutinya dan mengetahui keberadaan Roy saat ini. Apakah justru Roy yang mengatur semua ini?, pikir Ars. Tangannya yang memegang pulpen mengetuk-ngetuk buku catatannya. Kalau memang Roy yang merencanakan dan mengatur semuanya, berarti kemarin dia memberikan keterangan palsu, Ars menggigit-gigit bibir bawahnya. Lalu sedetik kemudian dia menggeleng-geleng. Tapi, ah....tidak, tidak, katanya dalam hati. Aku sudah minta tolong Divisi Polisi Surabaya untuk mengecek toko buku Periplus dan mereka mengatakan kalau telah terjadi dua transaksi yang berurutan di hari yang sama untuk buku Things We Never Say. Itu berarti ada seseorang yang membeli buku itu setelah Roy Wijayanto. Mungkin Boy Wijayanto atau orang lain. Tapi mengapa orang itu menukarnya dengan buku yang sudah dibeli Roy, mengisinya dengan Black Heart dan memberikannya pada Ralline?

Ars, kamu yakin mengenal Ralline dengan baik?

Ars teringat dengan pertanyaan Detektif Erlita. Salah satu hal yang membuatnya bertahan di Divisi 186, selain keinginannya mengungkap penculikan Arthur, adalah intuisinya. Dia kerap mengatakan my hunch says. Ucapan itu seperti mantra ampuh untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Selama bertugas di Divisi 186, sudah puluhan kali dia mengatakan my hunch says. Dan sejauh ini, intuisinya terbukti benar. Begitu pula dengan kasus yang ditanganinya saat itu. Intuisinya mengatakan kalau Ralline atau siapapun yang disangka orang lain terlibat dalam kasusnya benar-benar bersih.

Ars meletakkan pulpennya saat ponselnya berdering. "Ada apa, Hunter?"

"Ars, aku tadi menginterogasi Bu William. Dia menolak bicara. Lalu aku tekan dia dan kuberi waktu untuk berpikir. Aku kirim dia ke sel. Rencananya aku akan menginterogasi dia lagi. Tapi sepertinya aku tidak dapat lagi melakukannya."

"Memangnya kenapa, Den?"

"Bu William baru saja ditemukan tewas di dalam sel, Ars."

"What?"

Ars: CYGNUS (Seri ke-3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang