"Langit!"
Langit menghentikan langkahnya, berbalik menatap cowok yang berpenampilan terbalik dengan dirinya. Seragam cowok itu dimasukkan, rapi. Tidak seperti seragam Langit yang kini sudah acak-acakan.
"Apaan?" ujarnya malas. "Gue lagi gak pengen diganggu. Mending lo pergi deh."
"Buruan masuk kelas. Lo gak boleh cabut lagi hari ini." Angkasa—Kakak Langit— menatap tajam kearah Langit. Jika saja Ayahnya tidak memberi tugas padanya untuk menjaga Langit, Angkasa enggan membuang waktunya hanya untuk mengurus cowok itu, yang satu tahun lebih muda darinya.
Langit dan Angkasa adalah hal yang sangat bertolak belakang. Langit dengan semua kenakalannya sedangkan Angkasa dengan semua prestasinya. Padahal, mereka dilahirkan dirahim yang sama namun perbedaan mereka sangatlah mencolok. Langit mewarisi sifat Ibunya, Vanessa yang hiperaktif dan suka tantangan. Sedangkan Angkasa mewarisi sifat Ayahnya, Dirga yang cenderung lebih diam dan tidak banyak bertingkah.
"Gue yang cabut kenapa jadi lo yang repot sih. Mending balik sana. Siswa teladan kayak lo, pasti gamau kan telat masuk kelas dan ketinggalan pelajaran."
"Sopan sedikit sama yang lebih tua. Mulut lo kayak gak pernah disekolahin aja." Angkasa melihat kearah kelasnya, belum ada tanda-tanda kehadiran guru yang akan mengajar. "Buruan masuk kelas sebelum gue aduin ke Mama."
"Ck, dasar anak emak. Beraninya ngadu. Awas lo kalo sampe bilang Nyokap. Gue bilangin bokap, lo kebanyakan main gitar daripada belajar." ucap Langit sambil berdecak kesal.
"Bilangin aja, nanti gue bilang Mama kalo lo masih ngerokok."
"Nyokap udah tau dari lama kali."
"Oke kalo gitu gue bilang bokap supaya nyita motor kesayangan lo itu. Lo kan paling gak bisa jauh dari tuh motor."
"Tai lo! Terus aja jadi tukang ngadu" umpat Langit kesal. Dengan terpaksa ia berjalan menuju kelasnya. "Emang ya, sekali nya suka ngambil milik orang, sampe kapanpun tetep gitu. Banyak-banyak sholat gih, biar otak lo gak penuh sama dengki."
"Bukannya terbalik ya?" ujar Angkasa cukup keras dan dapat didengar oleh Langit meski jarak mereka kini sudah berjauhan.
Langit paling malas berurusan dnwgan Angkasa. Angkasa itu licik. Sepertinya ia harus menghindari Angkasa jika ingin bebas. Sekarang, Angkasa sudah seperti mata-mata Ayahnya. Apapun yang dilakukan Langit di sekolah, selalu saja diketahui Ayahnya. Langit yakin, itu semua ulah manusia ember itu. Siapa lagi kalau bukan Angkasa si tukang ngadu.
Sementara itu Angkasa kembali ke kelasnya yang berada di dekat tangga.
"Aduh berat banget sih nih tas. Bu Velma nyimpen apaan sih di tasnya."
Angkasa memperhatikan seorang cewek yang sedang kesulitan mengangkat tas ransel besar berwarna hitam. Cewek itu kelihatan kesusahan saat akan menaiki tangga. Wajahnya yang putih bersih terlihat memerah akibat keberatan mengangkat tas tersebut. Angkasa seperti familiar dengan wajahnya.
"Butuh bantuan?" Angkasa mendekati cewek itu. Dari jarak dekat, Angkasa baru sadar kalau cewek ini adalah orang yang dilihatnya di handphone Langit. Namanya Mentari. Angkasa juga ingat ia pernah melihat Mentari saat rapat Osis, Mentari adalah calon sekretaris Osis tahun ini yang akan menggantikan angkatan Osis tahun lalu, dimana ketua Osisnya adalah Angkasa sendiri.
"Eh, Kak Angkasa. Gak usah kak, makasih, ini gak berat kok." Mentari berusaha menahan tas tersebut dengan kedua tangannya, ia hendak meletakkan tasnya di tangga ketiga dari bawah, namun badannya malah oleng hingga ia terjatuh dan menimpa Angkasa yang berada satu tangga dibawahnya.
Gubrak ...
"Aduh!"
Mereka terjatuh dengan posisi wajah Mentari berada disamping wajah Angkasa. Seakan Mentari sedang memeluk Angkasa. Mentari bahkan dapat mencium wangi parfum Angkasa yang sangat menenangkan.
Mentari mencoba bangun, namun matanya tidak sengaja melihat Mata teduh Angkasa yang begitu indah. Mata hitam dengan sorot hangat. Ternyata mata Angkasa jauh lebih indah dari apa yang Mentari bayangkan selama ini.
"Ehm, lo mau sampe kapan ngeliatin gue kaya gitu?" ujar Angkasa membuyarkan lamunan Mentari.
Mentari bergegas bangun, "Duh, maaf ya, Kak. Aku gak hati-hati tadi."
Angkasa bangun begitu Mentari sudah tidak berada di atasnya. Dilihatnya Mentari yang kini tampak memerah karena malu. Angkasa tersenyum simpul. "Santai aja. Lagian sih, lo gue tawarin bantuan malah sok nolak."
"Hehe, kan gue gak mau ngerepotin lo, Kak." Mentari tersenyum, dalam hati ia bersorak senang karena bisa berbicara langsung dengan Angkasa.
Mentari melihat tas punggung milik Bu Velma, sungguh malang keadaannya kini. Sepertinya botol minum yang berada di tas itu terbuka hingga membasahi semua yang ada di dalam tas.
"Yah, mampus deh gue." Mentari membuka tas itu, kemudian mengeluarkan isi tas yang kini sudah basah. "Mati gue novelnya basah semua. Ya Allah, kenapa sih Mentari sial terus."
"Ini punya lo semua?" ucap Angkasa yang kini sudah berada disamping Mentari, ikut berjongkok mengeluarkan isi tas tersebut. Membantu menyelamatkan buku-buku yang terkena air.
Mentari menggeleng, "Punya Bu Velma, Kak. Tadi dia nyuruh gue taroin ke mejanya."
Mentari menatap nanar novel-novel yang kini sudah lepek. Sepertinya ia kurang bersedekah makanya hidupnya sial terus.
"Gue bantuin jelasin ke Bu Velma deh. Kasian gue kalo lo dimarahin sendiri."
Eh? Mentari menatap Angkasa bingung. "Seriusan, Kak?"
Angkasa mengangguk, "Lagian gue yakin, kalo gue yang jelasin pasti Bu Velma gak bakalan marah."
Benar juga. Angkasa kan adalah murid kesayangan para guru, pasti tidak akan sulit bagi Angkasa untuk melobi Bu Velma. Mentari yakin seribu persen, tanpa Angkasa menjelaskan secara detail, Bu Velma pasti akan langsung memaafkannya.
Mentari tersenyum senang, tanpa sadar ia memeluk Angkasa. "Makasih banyak, Kak."
Sementara itu Angkasa menegang ditempat. Ia tidak pernah dipeluk seperti ini selain oleh Mamanya. Mentari adalah orang pertama yang memeluknya tanpa hubungan dekat.
Angkasa sekarang jadi tahu, mengapa Langit menyukai cewek ini. Entah kenapa ia jadi tertarik untuk mendapatkan cewek ini.
Ngerebut milik Langit, gapapa kan ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possesive Badboy
Teen FictionHighest Rank : #5 in Fiksi Remaja #17 in Remaja #27 in Teen Fiction "Maksud lo apa, Lang?" "Gak maksud apa-apa." "Terus kenapa lo bilang ke Arga kalo gue pacar lo?" Mentari terlihat kesal. Namun Langit malah bersikap biasa saja. "Oh, itu.. Em...