Mentari memandang Langit dengan penuh selidik. Dilihatnya kini Langit tengah fokus dengan handphonenya, entah apa yang ia lihat.
"Lo belum ke dokter ya, Lang?"
Langit menoleh, menatap Mentari yang kini memandangnya dengan tatapan aneh. "Buat apa?"
"Otak lo geser. Mending buru-buru di scan deh."
Langit tertawa, membuat Mentari berdecak kesal. Ia menghentikan tawanya, kemudian menatap Mentari sambil mengulum senyum.
"Jadi lo masih mikir gue geger otak? Makanya gue nembak lo?"
Mentari menggangguk mengiyakan, "lagian lo aneh, sih."
"Aneh kenapa? Emang salah ya kalo cowok nembak cewek?" Langit tersenyum dalam hati, entah kenapa Mentari kini terlihat lebih cantik di hadapan nya. Ini serius, bukan gombal. Langit jadi menyesal, kenapa baru sekarang ia bertemu Mentari.
"Engga salah, cuma kondisinya aja ga tepat. Kenal juga belum seminggu, ngomong aja baru tiga kali, masa tiba-tiba lo nembak gue? Kan aneh, Lang. Gue jadi mikir yang macem-macem kalo kayak gini."
"Kayak gue jadiin lo taruhan gitu? Atau gue cuma mau mainin lo? Itu kan yang lo pikirin tentang gue, Tar?" ujar Langit sarkas. Ia tahu betul apa yang sedang ada dipikirkan cewek dihadapannya itu.
Mentari menghela nafas, "Lo sendiri tau apa yang gue pikirin, terus kenapa lo ngelakuin ini?"
"Gue kayak gini, karena gue serius suka sama lo, Tar. Gue suka sama lo sejak pertama kali kita ketemu. Lo beda, cuma lo yang gak natap gue dengan tatapan menilai." Langit menatap Mentari, kini rasanya lega setelah mengungkapkan apa yang ia rasakan saat ini. "Gue sayang sama lo. Kalo itu yang mau lo denger."
Mentari menggeleng, masih enggan mempercayai ucapan Langit. Ia bangun, kemudian memandang Langit. "Udah malem, Lang. Mending lo balik, keliatannya juga bakal hujan. Gue masuk."
Langit menahan tangan Mentari, "Gimana caranya bikin lo percaya, Tar?" ujar Langit lirih. Ia menatap dalam kearah mata Mentari, mencoba mencari sedikit harapan untuk perasaannya.
"Jatuhin hati ke seseorang itu gak mudah, Lang. Gue bukan orang yang gampang nyerahin hati gue ke orang lain. Mungkin buat lo pacaran itu cuma kayak mainan, setelah lo bosen lo bisa cari mainan yang lebih menarik dan ninggalin mainan lama lo." Mentari menarik nafas, kemudian melepaskan genggaman Langit pada tangannya. "Maaf, Lang. Tapi gue gak bisa. Gue suka sama orang lain."
Mentari menutup pintu rumahnya, ia bersandar dibalik pintu. Jantungnya berdetak tak beraturan, entah karena apa.
"Seengaknya biarin gue berusaha, Tar. Gue bakalan nunjukkin kalo gue beneran sayang sama lo." ujar Langit dari balik pintu. Tidak berapa lama, suara motor mulai terdengar menjauh.
Langit sudah pergi. Sementara Mentari masih bersender pada daun pintu.
Jangan goyah, Tar. Ini Langit, bukan Angkasa. Lo suka Angkasa, bukan Langit.
Mentari mencoba meyakinkan hatinya. Ia memejamkan mata sebentar, kemudian membuka mata.
"Mommy keluar deh. Aku tahu dari tadi Mommy dengerin pembicaraan aku sama Langit!"
Kirana yang berada didekat pintu dapur, akhirnya muncul dari tempat persembunyiannya. Memang, sedaritadi ia memperhatikan interaksi antara Mentari dan juga Langit, dan entah mengapa Kirana merasa yakin jika Langit benar-benar serius dengan ucapannya.
Kirana tersenyum, melihat putri sematawayangnya yang kini mulai dewasa. Merasakan bagaimana dilanda cinta. Anak muda jaman sekarang sepertinya begitu rumit jika menyangkut persoalan cinta, beda dengan masanya dulu.
"Kenapa gak diterima, De? Kayaknya Langit serius sama kamu."
Mentari cemberut. Ia duduk di sofa berwarna coklat yang berada didepan TV. "Jangan bahas itu dong, Mom. Aku males ngingetnya."
"Loh kenapa? Kamu gak suka sama Langit?" Kirana duduk di sebelah Mentari. Ia mengusap pelan puncak kepala Mentari dengan penuh kasih sayang. "Inget gak, Mommy pernah cerita kalo dulu sebelum Mommy ketemu Daddy, Mommy pernah pacaran sama cowok bandel yang mirip dengan Langit?"
Mentari mengganguk, "Om Erlan kan, Mom?"
"Iya, Erlan. Kalo dipikir-pikir, Langit itu bener-bener mirip dengan Erlan. Keseriusannya ngebuat Mommy percaya, kalo dia bisa jaga kamu." Kirana menatap Mentari dengan penuh kasih sayang, di pandangi anaknya yang selalu menjadi kebanggaan di keluarganya. Mentarinya, cahaya hidupnya.
"Tapi Mommy sama Om Erlan akhirnya pisah. Mentari gak mau kalau nanti Mentari sama Langit, akhirnya bakalan kayak Mommy dan Om Erlan."
Kirana Menggeleng, "Takdir manusia itu beda-beda, Mentari. Mommy mungkin memang tidak berjodoh dengan Erlan, tapi kamu? Siapa tahu Langit jodoh kamu? Kenapa kamu harus nungguin yang gak pasti sementara di depan kamu ada yang jelas-jelas sayang sama kamu?"
Mentari memeluk Mommynya. Ia tahu betul bagaimana perasaan Kirana. Mamanya mungkin masih mencintai Erlang, namun takdir berkata lain, Erlang sendiri sudah lama berpulang saat Mamanya kuliah di salah Universitas di Jakarta, jauh sebelum Mamanya bertemu dengan Ayahnya.
"Mentari harus gimana, Mom? Mentari suka Kak Angkasa tapi dia nya gak tau gimana." lirih Mentari. Ia bersender pada bahu Kirana.
"Ikutin aja alurnya gimana, kalau memang ditakdirin bersama, jodoh gak bakalan kemana kok."
Mentari cemberut, ia menatap kesal ke arah Kirana. "Kok bahasannya makin jauh sih, Mom. Ini bukan lagi ngomongin jodoh, Mom. Ini cuma pacaran, bukan mau nikah yang pake segala bawa-bawa jodoh. Mentari masih kelas sebelas, masih lama ketemu jodohnya!"
"Tetep aja, pacaran itu bukan berarti main-main juga kan?" balas Kirana. Rasanya senang melihat putrinya mau bercerita tentang perasaannya pada dirinya. Ia merasa bangga telah mendidik Mentari hingga seperti ini.
"Iyasih, tapi kok Mommy gak ngelarang Mentari pacaran? Biasanya orang tua yang lain selalu ngelarang anaknya pacaran deh, Mom. Tapi, Mommy katanya malah dukung banget kalo aku pacaran?"
Kirana tersenyum hangat. "Ngapain Mommy ngelarang hal yang ngebuat anak Mommy bahagia? Toh selama kamu masih ingat aturan, Mommy sih fine-fine aja kalo kamu pacaran. Lagian masa muda itu harus dinikmatin, biar pas kamu udah punya anak, ada cerita yang bisa kamu bagi sama anak kamu nanti."
"Kalo Bang Fajar gimana, Mom? Boleh pacaran juga kan?" tanya Mentari antusias. Ia berharap ada lampu hijau untuk Fajar dan Laras-Pacar Fajar.
Kirana mengganguk, "Mommy mah gak pernah ngelarang. Cuma, Abang kamu aja tuh yang gak pernah mau kenalin pacarnya ke Mommy."
Mentari terlonjak kaget. Ia buru-buru menegakkan badannya."Mommy tau, Bang Fajar punya pacar?"
"Tau lah. Jangan kamu pikir, Mommy gak tau ya, kalo kamu suka bantuin Abang ketemu pacaranya. Bilangin Abang, kalo mau ketemu pacar, gak usah bohong begitu. Daddy juga udah tau, Kok dan Daddy gak marah asalkan kuliahnya harus tetep jalan."
"Nah kan! Apa aku bilang. Bang Fajar aja nih yang batu. Dia ngotot banget gak mau buat Daddy kepikiran, kan kasian Kak Laras yang harus ngumpet-ngumpet kalo pacaran."
Kirana tersenyum, kemudian beranjak menuju dapur setelah Mentari naik ke atas, pergi ke kamarnya.
Cinta itu gak rumit, cuma pikiran kita aja yang bikin cinta itu rumit. Hal yang harusnya mudah jadi sukar kalo menyangkut dengan cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possesive Badboy
Novela JuvenilHighest Rank : #5 in Fiksi Remaja #17 in Remaja #27 in Teen Fiction "Maksud lo apa, Lang?" "Gak maksud apa-apa." "Terus kenapa lo bilang ke Arga kalo gue pacar lo?" Mentari terlihat kesal. Namun Langit malah bersikap biasa saja. "Oh, itu.. Em...