[10] Ikut

42.8K 3K 53
                                    

Jangan lupa tinggalkan vote & comment yaa💜💜💜💜

••••••••

Mentari menelungkupkan kepalanya ke meja. Bel istirahat sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu, tapi Mentari masih enggan beranjak ke kantin. Padahal teman-temannya yang lain sudah mengajaknya ke kantin sejak tadi, tapi Mentari hanya diam saja.

Baru saja Mentari memejamkan matanya, suara kursi berderit di sebelahnya membuatnya terbangun.

  "Gue lagi gak pengen ke kantin, Lai. Lo sama yang lain duluan aja."

Tidak ada jawaban. Membuat Mentari mendongak melihat ke samping. Matanya terbelalak melihat cowok di sampingnya. 

  "Langit lo ngapain di sini?"

Langit mengeluarkan plastik yang dibawanya. "Makan. Lo belum makan dari pagi."

Ada satu botol air mineral, roti dan sebungkus siomay kesukaan Mentari di kantong plastik tersebut. Langit menyerahkannya pada Mentari. Memaksa cewek itu untuk memakannya.

  "Gue udah kenyang. Lo aja yang makan." Mentari mengambil handphonenya dari kolong meja. Ia memainkan handphonenya, enggan menatap Langit.

  "Makan atau handphone lo gue sita?"

Mentari cemberut. Ditatapnya Langit yang berada di sampingnya. Tatapan Langit sama seperti kemarin, Langit masih marah padanya.

  "Lo marah tapi masih perhatian? Gimana sih, Lang? Kok labil banget?"

  "Makan, Tar. Nanti keburu bel masuk."

Mentari menggeleng sambil cemberut. "Gak mau."

  "Mentari..." Langit menggeram, ia terlihat mulai kesal. Di tatap tajam Mentari olehnya.

  "Oke fine gue makan." Mentari akhirnya mengambil makanan yang dibawakan Langit.

Langit bangkit hendak kembali ke teman-temannya yang masih berada di kantin. Namun Mentari menahannya.

  "Mau kemana?" tanya Mentari.

  "Ke kantin. Abisin makanan lo."

Mentari cemberut, ditariknya baju seragam Langit. Seperti seorang anak kecil yang meminta dibelikan mainan oleh Ayahnya.

  "Temenin, Lang." ujarnya pelan namun masih bisa terdengar oleh Langit.

Langit kembali duduk, ditatapnya Mentari yang kini tersenyum senang, moodnya memang gampang sekali berubah.

  "Cepetan makannya, gue harus nyamperin yang lain di kantin."

  "Lo belum makan juga ya?"

  "Udah." ujar Langit berbohong. Tadi pagi ia tidak sempat sarapan karena harus menjemput Mentari. Lagi-lagi siang ini ia tidak makan karena harus menemani Mentari. Tapi baginya tidak apa-apa tidak makan, yang terpenting Mentari tidak kelaparan.

  "Buka mulut lo, buru." Mentari ingin menyuapkan roti ke Langit. Namun Langit, hanya diam saja.

  "Lo aja yang makan. Gue udah kenyang."

  "Ih Langit! Buruan buka mulutnya. Kalo enggak gue gak mau makan juga."

Akhirnya dengan terpaksa, Langit membuka mulutnya. Membiarkan Mentari menyuapkan roti ke dalam mulutnya.

Mentari memperhatikan wajah Langit. Tangannya bergerak menyampirkan rambut Langit yang menutupi dahinya.

  "Ya ampun Langit! Ini jidat lo kenapa?"

Mentari menarik wajah Langit mendekat. Di perhatikan nya luka di dahi langit. Lukanya cukup besar. Pantas saja Langit langsung mengaduh sakit begitu Mentari memegangnya.

  "Oh, itu.. Gue kemarin nabrak pintu jadinya gitu deh."

Mentari mundur sedikit, matanya menyipit menatap Langit. "Jujur sama gue. Lo abis berantem kan? Nabrak pintu gak bakal ngebuat dahi lo kayak gitu."

  "Enggak. Gue beneran nabrak pintu, Tar." ujar Langit berkilah.

Mentari menghela nafas berat. "Terserah lo deh."

Mentari mengeluarkan kotak P3K miliknya. Di obatinya luka Langit dengan alkohol dan juga betadine. Setelah selesai ia mendekatkan wajah Langit, ke arahnya. Ia meniup luka Langit.

  "Kalo lo luka, lo bilang sama gue ya Lang. Gue bakal bantuin ngobatin luka lo." ujar Mentari sambil menatap Langit. Baru kali ini ia bertatapan begitu dekat dengan Langit. Mentari baru sadar kalau ternyata Langit lebih tampan dari Angkasa. Hidung mancung, mata hitam yang tajam, serta wajahnya yang tegas membuat Langit lebih dari sekedar tampan.

  "Udah mulai jatuh cinta ya sama gue?"

  "Jangan ngaco deh."

Mentari buru-buru memasukkan betadine ke dalam kotak P3K. Ia salah tingkah! Bagimana tidak? Jarak antara dirinya dan Langit itu tidak sampai selangkah. Gimana Mentari gak salah tingkah coba? Belum lagi pertanyaan Langit yang itu. Rasanya jantung Mentari jadi deg-degan gimana gitu.

Apa jangan-jangan gue beneran jatuh cinta sama Langit?

Mentari menggeleng. Tidak. Ia tidak boleh jatuh cinta dengan Langit. Ia suka Angkasa, bukan Langit.

  "Kalo lo udah jatuh cinta sama gue, bilang ya. Biar gue tahu kalo usaha gue gak sia-sia."

Mentari memandang Langit lekat. "Lo masih marah soal kemarin?"

  "Sedikit. Tapi setelah gue pikir-pikir percuma juga marah, lo nya juga biasa aja pas gue marah. Jadi mending gue mikirin gimana caranya buat lo jatuh cinta sama gue. Biar cinta gue gak bertepuk sebelah tangan." ujar Langit sambil tersenyum paksa.

  "Tapi kan... "

  "Jangan di lanjutin, Tar. Kali ini jangan buat gue makin down. Biarin gue berusaha dulu. Kalau nanti gue bener-bener gak bisa, gue bakalan nyerah dengan sendirinya kok." Langit menghela nafas berat. "Tapi tolong, gue minta sama lo... Buka sedikit hati lo ya. Gue gak akan bisa masuk kalo lo sendiri gak mau nerima gue."

Langit kenapa bersikap kayak ginu sih. Gue kan jadi gak tega liatnya.

Mentari mendadak di landa gundah. Kenapa kata-kata Langit itu membuat hatinya sedikit terusik ya? Kenapa sepertinya Mentari tidak suka melihat Langit mengemis cintanya seperti ini?

  "Kenapa gak cari cewek yang lain sih, Lang? Kan banyak yang lebih dari gue?"

  "Gue mau nya lo. Gimana dong?"

  "Lo kan tahu gimana perasaan gue. Yang ada lo bakalan sakit hati kalo terus-terusan ngejar gue."

  "Namanya juga jatuh hati, Tar. Kalau gak ada suka duka nya, itu berarti bukan jatuh hati. Gue cuma mau berusaha perjuangin cinta gue. Soal gimana akhirnya, itu tergantung lo sendiri. Bisa gak lo nerima gue yang ancur ini."

∆∆∆

My Possesive BadboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang