[28] Sayang

39.1K 2.5K 22
                                    

Happy reading!😆
Jangan lupa vote&comments ya:))

•••••

Mentari mencebikkan bibirnya. Matanya sibuk menatap keluar jendela mobil, enggan melihat ke arah Langit yang sedang mengemudi.

"Mau sampe kapan ngambeknya?" tanya Langit yang mulai gerah. Bukannya Langit gerah karena Ac di mobil nya tidak menyala, tapi Langit gerah karena sudah terhitung tiga hari ia dan Mentari bertengkar.

Diliriknya Mentari yang sedari tadi hanya diam sambil menatap jalanan. "Mau sampe kapan kayak gini?"

"Au! Sampe upin ipin gak botak lagi kali," sahut Mentari tak acuh. Ia masih kesal tingkat dewa dengan Langit.

Mentari malas berada satu ruangan dengan Langit. Lagian ini kenapa jalanan macet banget sih. Mentari kan jadi harus terjebak lama bareng Langit. Kenapa sih semesta selalu gak berpihak sama Mentari? Apa salah Mentari coba?

"Yah, lama dong. Gak bisa di percepet aja? Gue udah kangen berat nih,"

Mentari membalikkan badan. Menatap jijik ke arah Langit. "Dasar alay! Jauh-jauh sana!"

"Alay-alay gini juga, lo demen." sahut Langit membuat Mentari mencubit pinggangnya hingga ia meringis. Merasakan sakit sekaligus panas di pinggangnya.

"Rasain!" ujar Mentari sambil tersenyum senang. Ia tidak sadar kalau Langit sengaja melakukan itu agar Mentari kembali tersenyum.

"Nah gitu dong, kan jadi tambah cantik. Jangan cemberut mulu, nanti cantiknya ilang." Langit jadi ikut tersenyum melihat Mentari tersenyum.

Sepertinya ada mesin yang mengerakkan bibirnya untuk selalu tersenyum ketika melihat senyuman Mentari. Katakanlah Langit alay, tapi memang benar kok. Langit yakin, sembilan puluh sembilan koma sembilan persen cowok yang kenal Mentari bakalan setuju kalo Langit bilang senyum Mentari itu menular.

"Gak usah gombal. Inget ya, gue masih marah sama lo." ujar Mentari kembali ketus. Ia kembali membuang muka.

"Udahan dong, Tar. Gak cape apa marahan terus?"

"Enggak. Selama lo masih ngeselin dan gak mau cerita, gue gak bakalan berhenti marah sama lo."

Langit menghela nafas frustasi. "Ngeselin gimana sih? Terus cerita apa coba? Emangnya gue nyimpen cerita apa sih, Tar?"

"Waktu gebyar kwh, kenapa muka lo bisa tiba-tiba babak belur gitu? lo berantem sama Kak Angkasa kan? Iya kan?"

"Ya allah, masih aja bahas yang itu..." Langit memberhentikan mobilnya di pinggir jalan. Kemudian ia menatap Mentari.

"Dengerin baik-baik ya, Mentari Cahya Daffuci yang suka banget ngambek." Langit menghela nafas. "gue gak berantem sama Angkasa. Tapi gue nolongin dia. Waktu gue keluar buat ketemu sama Daniel, gue gak sengaja liat Angkasa lagi di pukulin. Berhubung gue itu baik dan suka menolong orang, jadinya gue nolongin Angkasa. Muka gue yang ganteng jadi harus bonyok karna Angkasa dan lo malah marah sama gue. Coba bayangin rasanya jadi gue, kesel gak tuh?"

Mentari menatap mata Langit, mencari kebohongan di mata itu. Namun nihil. Ia tidak menemukan kebohongan di mata Langit. Lagi-lagi Mentari salah menilai orang. Kebiasaan mengambil kesimpulan sebelum tahu yang sebenarnya, membuat Mentari jadi sulit mengerti orang lain.

Mentari menghela nafas lega. Setidaknya Langit tidak lagi berbuat nekat seperti kemarin-kemarin. "Kenapa gak bilang dari kemaren sih? Kan gue gak bakalan marah kayak gini kalo tau yang sebenarnya!"

"Lo aja gak bales chat gue. Mana ngehidar mulu kalo gue ke rumah lo."

Mentari mencebikkan bibirnya. "Itukan gara-gara gue kesel sama lo tau. Lo gak pernah mau cerita kalo abis berantem. Bikin gue khawatir mulu."

"Gimana mau cerita kalo lo malah lari ke Arga?"

"Salah sendiri, kenapa gak pernah cerita dari awal." balas Mentari tidak mau kalah. Memang, setiap kali berantem dengan Langit, pasti Mentari selalu lari ke Arga. Alasannya cuma satu, Mentari tau Langit ga bakalan mukul Arga kalau misalnya Mentari lari ke Arga. Beda kalo Mentari lari ke orang lain, yang ada bisa abis ditonjok Langit itu orang.

Sabar... Sabar... Ujar Langit dalam hati. Untuk menghadapi Mentari, Langit harus memiliki kesabaran ekstra.

"Makanya Mentari sayang, kalo orang belum selesai ngomong jangan langsung pergi. Jadinya gini, kan?"

"Iya iya, maaf." ujar Mentari pelan.

Langit tersenyum. Kemudian tangannya bergerak mengacak pelan rambut Mentari yang kini tergerai.

"Sekarang mau langsung pulang atau mau jalan-jalan dulu?" tanyanya.

"Jalan-jalan!" sahut Mentari semangat. "Cari pasar malem, yuk?"

Langit tertawa melihat perubahan mood Mentari. Ia mengganguk, kemudian tangannya mencubit hidung Mentari. Ia gemas sekali dengan Mentari yang sangat moody.

"Oke. Tapi bayar pake peluk ya!" ujar Langit sambil tertawa jahil.

∆∆∆∆

Mentari tidak henti-hentinya tersenyum. Ia melirik tangannya yang sedang di genggam Langit, rasanya sangat menyenangkan. Berjalan di tengah keramaian dengan orang yang kita cintai. Mentari ingin sekali waktu di berhenti sebentar, ia ingin menikmati waktu lebih lama bersama dengan Langit.

Langit membawa Mentari ke salah satu bangku yang berada tidak jauh dari tukang es kirim.

"Duduk di sini dulu, ya? Sekalian beli es krim, mau?"

Mentari mengangguk. "Mau yang mix ya..."

"Oke, tunggu sebentar ya, gue pesenin dulu." Langit berlari menghampiri tukang es krim dan memesan dua es krim. Satu rasa vanilla untuknya dan satu lagi rasa vanilla mix strawberry untuk Mentari.

"Pak, pesen dua ya, rasa vanilla satu sama vanilla mix strawberry nya satu."

"Baik, tunggu sebentar ya, dek."

Setelah membayar es krim yang ia pesan. Langit berlari menghampiri Mentari.

"Nih," ujarnya sambil menyodorkan es krim pesanan Mentari.

Mentari tersenyum sambil menerima es krimnya. "Makasih ya, Lang."

Langit mengganguk. Mereka berdua duduk sambil menikmati es krim masing-masing.

"Kalo makan es krim tuh yang bener, jangan kayak bocah kecil." ujar Langit sambil membersihkan bibir Mentari yang berlepotan karena es krim dengan tangannya.

Langit tidak sadar, kalau perlakuannya membuat jantung Mentari jadi berdegub kencang. Apalagi jarak antar Mentari san Langit cukup dekat, Mentari jadi tambah gugup dibuatnya.

"Lo kenapa deh, Tar? Kok kayak gugup gitu?" tanya Langit.

Mentari buru-buru menggeleng. "Eng..enggak. Gue gapapa."

"Oh, yaudah. Abis ini mau muter-muter lagi atau mau langsung pulang?"

"Muter-muter lagi aja ya? Sekalian cari abang tukang gulali.."

Langit mengganguk. "Yadah buruan abisin es krimnya, nanti biar gak kemaleman pulangnya."

"Oke."

Mentari tersenyum, kemudian ia memeluk Langit saat es krimnya sudah habis.

"Tumben nih langsung peluk gini, dalam rangka apa?" goda Langit. Ia balas memeluk Mentari. Untunglah ini malam hari, kalau siang hari yang ada puasanya bisa batal.

"Bayaran udah mau nganterin ke pasar malem," sahut Mentari sambil terkekeh pelan. Ia memeluk Langit erat. Seakan takut kehilangan sosoknya.

Mentari sekarang sadar. Kalau cinta itu gak memandang siapa orangnya dan bagaimana dia sebelumnya. Cinta itu soal bagaimana kita menerima dia dengan sepenuh hati.

Karena setiap orang, mempunyai caranya tersendiri untuk menunjukkan rasa cintanya.

My Possesive BadboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang