[ 50 ] Menuju Berlin

30.4K 1.3K 433
                                    

Mentari kini tengah tersenyum sambil bersenandung mengikuti suara dari radio di mobil Arga. Saat ini mereka berdua tengah pergi menuju tempat yang katanya Arga akan menjadi tempat berlibur untuk mereka. Berhubung ujian nasional baru saja selesai dan Mentari sedang berulang tahun, maka Arga berinisiatif mengajak Mentari untuk berlibur. Kemana berliburnya? Mentari tidak tahu. Sebab Arga bilang itu rahasia.

  "Oh iya, Ga. Kok lo bisa tiba-tiba ada didepan kamar gue sih? Katanya lo sama Kak Angkasa gak bisa ke rumah?" tanya Mentari sambil menatap Arga yang kini tengah mengemudikan mobilnya.

Arga menoleh sebentar pada Mentari, kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya pada jalanan ibukota yang cukup padat.

"Tadinya emang gitu tapi berhubung Angkasa takut lo sedih gara-gara gak ada yang nemenin lo, jadinya dia sendiri yang bantu Langit dan gue nemenin lo." jelas Arga sambil mengemudikan mobilnya.

Mentari cemberut. Ia jadi teringat Langit. Cowok itu sedaritadi belum juga menghubunginya, padahal Mentari sudah mengirimkan pesan padanya agar segera menghubungi Mentari.

"Kenapa deh muka lo ditekuk gitu?" tanya Arga ketika lampu merah. Ia bingung melihat Mentari yang kini tengah murung entah karena apa.

Mentari menoleh. "Langit sibuk banget ya?"

Arga mengganguk. "Banget. Lo tau sendiri dia harus belajar sambil ngehandle perusahaan. Itu aja untung ada Saga yang bantuin, kalo enggak mah bisa keteteran dia."

Mentari menghela nafas lelah. Seharusnya ia mengerti, Langit bukan sedang ingin mengacuhkannya,justru cowok itu sedang berjuang untuknya. Untuk mereka berdua. Seharusnya ia lebih mengerti kondisi Langit. Harusnya ia tidak membesar-besarkan hal sepele seperti ulang tahunnya ini. Harusnya ia bersyukur, Langit masih bersamanya saja itu sudah suatu hal yang patut disyukuri oleh dirinya.

"Gue egois banget ya, Ga? Gue pengen Langit ada disini, disamping gue. Ngerayain ulang tahun gue bareng-bareng." ujar Mentari sambil menutup wajahnya dengan telapak tangannya. "G-ue egois. Gue harusnya bisa ngertiin keadaan dia, bukannya malah nuntut dia buat nurutin kemauan gue." Tambahnya sambil menghela nafas panjang.

Sementara itu Arga yang sedang menyetir, tersenyum melihat Mentari yang terlihat lesu.

  "Gak usah lebay deh. Ini hari ulang tahun lo, jadi hari ini lo harus happy terus. Gue gak mau nemenin kalo muka lo masih butek begitu." Kata Arga saat mereka berdua sudah sampai di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

  "Bodo amat."

Mentari yang tadi tertunduk lesu, langsung melongo begitu melihat suasana disekitar bandara.

  "Ga, ini ngapain kita ke bandara? Kita mau nyusul Langit ya?"

Arga tertawa pelan. Kemudian ia keluar dari mobil dan membuka bagasi mobilnya.

Sementara itu Mentari yang melihat Arga keluar dari mobil jadi semakin penasaran ketika Surya-Ayah Langit- tiba-tiba datang menghampiri mobil mereka.

Mentari buru-buru keluar dari mobil dan menghampiri Surya.

  "Loh Papa kok bisa ada disini?" Tanya Mentari setelah ia menyalami Surya. Semenjak berpacaran dengan Langit, Mentari memang menjadi akrab dengan kedua orang tua Langit, oleh sebab itulah ia memanggil Surya Papa, dan memanggil Mama untuk ibunya Langit.

Surya tersenyum teduh, persis seperti senyum Langit yang sangat Mentari rindukan.

  "Selamat ulang tahun ya. Semoga semua harapan Mentari terkabul semua. Papa doain semoga Mentari selalu bahagia..." Ujar Surya sambil mengelus puncak kepala Mentari.

  "Makasih ya Pa, Mentari sayang Papa." Mentari memeluk Surya layaknya seorang anak memeluk ayah kandungnya.

Kedekatan Mentari dengan keluarga Langit memang semakin erat semenjak Langit pergi ke Berlin. Semenjak Langit pergi, Mentari jadi semakin sering berkunjung ke rumah Langit. Ia sering mengunjungi kamar Langit yang kini ditinggal oleh pemiliknya. Bagi Mentari, berada dikamar Langit membuatnya merasa dekat dengan cowok itu. Semua yang ada di kamar itu membuatnya semakin merindukan cowok bermata teduh itu.

  "Kita mau kemana sih, Ga?" Tanya Mentari begitu Surya pamit setelah menyerahkan sebuah tiket pesawat pada Arga.

  "Nih, liat sendiri." Ujar Arga sambil menyerahkan tiket pesawat yang diberikan Surya.

Mentari menerima tiket berlogo salah satu penerbangan terkemuka itu, ia pun membaca tujuan pesawat itu yang tak lain adalah Berlin.

  "Ini seriusan? Kita mau ke Berlin?" Tanya Mentari tak percaya. Pasalnya sudah sejak seminggu yang lalu ia meminta di ijinkan untuk pergi ke Berlin, menemui Langit, namun papinya selalu melarangnya dengan alasan Langit pasti sedang sibuk mengurus perusahaan Opa Gusti yang ada disana.

Arga menggangguku sambil tersenyum. "Tapi jangan harap kita bisa nyamperin Langit ya. Langit lagi ada tugas ke Inggris."

  "Terus ngapain kita ke Berlin kalo Langit gak ada? Percuma dong!" Sungut Mentari kesal. Dia kira bisa bertemu Langit dan merayakan ulang tahunnya, tapi ternyata tidak.

Kenapa sih semesta selalu gak berpihak pada Mentari?

Arga membantu Mentari membawa koper milik perempuan itu. Sementara Mentari sedari tadi mencoba menghubungi Langit namun   selalu saja operator yang menjawab teleponnya.

  "Ga, balik aja yuk... Gua udah gak mood nih." Ajak Mentari begitu mereka sudah memasuki pesawat.

  "Belum pernah di tempong pake koper ya, Tar?" Ujar Arga kesal. Sudah susah payah meminta izin pada Ayahnya Mentari untuk pergi ke Berlin, eh dengan seenaknya Mentari malah ngajak pulang. Untung sayang, coba kalo enggak, udah Arga tinggalin nih si Mentari.

Mentari cemberut, membuat Arga ingin sekali mencubit pipi chubby Mentari.

  "Lagian ngapain coba kita ke Berlin kalo Langitnya gak ada? Percuma dong! Mending disini aja deh kalo gitu." Ujar Mentari.

"Udah sih nikmatin aja. Masih mending liburan gak sendirian." kata Arga. Memang benar, hari ini adalah hari terakhir masuk sekolah sebelum nantinya ujian nasional akan diadakan.

Arga merangkul Mentari, "Kalo lagi ultah tuh gak boleh banyak ngedumel. Nanti gak berkah umurnya."

  "Terserah..."

  "Udah ayo nanti kita ketinggalan pesawat." Ujar Arga masih sambil merangkul Mentari.

Mereka berdua terlihat seperti pasangan yang sangat serasi. Banyak orang yang kagum melihat mereka berdua, yang satu cantik, yang satu lagi tampan. Pasangan yang serasi. Begitulah pikir mereka.

Begitu sudah sampai di kursi pesawat, Mentari langsung memejamkan matanya karena kantuk. Sementara itu Arga justru tidak bisa berhenti memandangi Mentari.

"Kalau seandainya Langit gak kembali, apa bisa gue menggantikan dia, Tar?" Ujar Arga lirih.
.
.

End

.

.

.

.

.

.

.
Tapi boong:D

Maaf untuk update yang super duper ngaretttttttt. Dan maaf untuk part yang nanggung ini, but maafkan daku yang cuma bisa post segini dulu, bcz sekarang sudah gak bisa sebebas dulu untuk mengetik.

I hope u can understand guys😣😣

Sampai bertemu di part selanjutnya....

Sad or happy ending nih maunya?

My Possesive BadboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang